Efek Penggunaan Obat

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Efek obat atau Interaksi obat adalah Perubahan Efek obat ketika di konsumsi bersamaam dengan obat lain atau dengan makanan dan minuman tertentu. Interaksi obat dapat menyebabkan obat menjadi kurang efektif, meningkatkan reaksi kandungan obat, atau menyebabkan efek samping yang tidak terduga. Pada keadaan tertentu, efek interaksi obat bahkan dapat membahayakan nyawa.

kejadian efek samping obat ini pada seorang pasien tidak dengan mudah dikenali, kecuali kalau efek samping yang terjadi adalah bentuk yang berat dan menyolok. Mahasiswa perlu mengenali bentuk bentuk efek samping obat, faktor-faktor penyebab atau yang mendorong terjadinya, upaya pencegahan dan penanganannya.



BAB II
PEMBAHASAN

I. EFEK SAMPING OBAT
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologi tubuh.

Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.

Efek Penggunaan Obat

Beberapa contoh efek samping misalnya:
reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik),
hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan),
osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama),
hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat - withdrawal syndrome),
fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), dan sebagainya.
Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
Kegagalan pengobatan,
Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien,
Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).
Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat.

Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.

II. PEMBAGIAN EFEK SAMPING OBAT
Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dsb. Namun mungkin pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah pembagian seperti pada Tabel 1 berikut.

Jenis-jenis efek samping obat
Efek samping yang dapat  diperkirakan:
- aksi farmakologik yang  berlebihan
- respons karena penghentian  obat
- efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek samping yang dapat  diperkirakan:
- reaksi alergi
- reaksi karena faktor genetik
- reaksi idiosinkratik


Efek farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif yang  terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien.

Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat,obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika. Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:
- Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin. Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.
- Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.
- Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.
- Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.
- Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin.

Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan.

Gejala penghentian obat
Gejala penghentian obat (= gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya:
agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol,
krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,
hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin,
gejala putus obat karena narkotika

Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan.

Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama
Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas (lihat bagian IV).

Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:
Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dll.
Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabuk perjalanan (motion sickness).
Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.
Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.
Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb.


Efek samping yang tidak dapat diperkirakan
Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
- gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya,
- seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek,
- reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat,
- reaksi hilang bila obat dihentikan,
- keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash (=ruam) di kulit,
serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.

Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:
Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil dengann obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium.

Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll.

Tipe III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara  antibodi  IgG  dengan  antigen  dalam  sirkulasi,  kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).

Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.

Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan meliputi:
1. Demam.
Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
2. Ruam kulit (skin rashes).
Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dll.
3. Penyakit jaringan ikat.
Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat (lihat II.2.b.).
4. Gangguan sistem darah.
Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
5. Gangguan pernafasan:
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.

Reaksi karena faktor genetik
Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:
- Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan.
- Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin.

Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling populer adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat (asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya:
neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat,
sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.

Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi Klinik.

Reaksi idiosinkratik
Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya:
Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.
Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen sama sekali.
Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.
Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan.
Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.



BAB III
PENUTUP

Efek penggunaan obat perlu di perhatikan, dampak dari interaksi atau Efek obat bisa ringan, bisa juga serius. Jadi, perlu berhati-hati saat mengkonsumsi obat. Gunakan obat sesuai petunjuk dalam kemasan dan sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengkonsumsi obat apapun apalagi memiliki diagnosa medis atau penyakit tertentu.



DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/41666061/MAKALAH_EFEK_PENGGUNAAN_OBAT




*Sumber: https://www.academia.edu/41666061/MAKALAH_EFEK_PENGGUNAAN_OBAT


Tag : Farmasi, Kesehatan, Lainnya
0 Komentar untuk "Efek Penggunaan Obat"

Back To Top