BAB I
PENDAHULUAN
Apakah filsafat itu? Pertanyaan ini telah diajukan sejak lebih dari 20 abad yang silam dan hingga kini tetap dipertanyakan banyak orang. Berbagai jawaban telah diberikan sebagai upaya untuk menjelaskan apakah sesungguhnya filsafat itu, namun tidak pernah ada jawaban yang dapat memuaskan semua orang. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa banyaknya jawaban yang diberikan justru semakin mengaburkan masalah yang hendak dijelaskan. Dengan demikian, persoalannya menjadi semakin rumit. Kenyataan sampai saat ini, masih banyak yag beranggapan bahwa filsafat adalah sesuatu yang serba rahasia, mistis, dan aneh. Adapula yang beranggapan bahwa filsafat adalah suatu kombbinasi antara astrologi, psikologi, dan teologi.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa filsafat adalah mater scientiarum atau induk ilmu pengetahuan. Filsafat disebut induk ilmu pengetahuan karena memang filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu pengetahuan yang ada. Jauh dari keinginan untuk mendewakan dan memulyakan filsafat, kehadiran yang terus menerus di sepanjang sejarah peradaban manusia sejak kelahiranyya sekitar 25 abad yang lalu telah memberi kesaksian yang meyakinkan tentang betapa pentingnya filsafat pada manusia.
Maka cukup banyak pula orang yang menganggap filsafat sabagai ilmu yang paling istimewa, ilmu yag menduduki tempat paling tinggi dari antara seluruh ilmu pengetahuan yang ada. Karena itu, filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang jenius. Sebaliknya, ada pula yang berpendapat bahwa filsafat itu tidak berharga untuk dipelajari. Filsafat tidak lebih dari sekedar lelucon yang tidak bermakna alias “omong kosong”.
Beberapa keslahpahaman dan kekeliruan tersebut justru menunjukkan ketidaktahuan tentang apa sesungguhnya filsafat. Memang pengamatan sekilas terhadap keberadaan filsafat dapat menyesatkan. Akan tetapi, apabila benar-benar disimak secara lebih serius dan lebih mendalam, filsafat akan semakin diminati, semakin menarik, semakin memikat, dan semakin memukau.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaiman pengertian Filsafat?
b. Bagaimana pembagian cabang-cabang filsafat?
c. Bagaimana ajaran Islam dalan berfilsafat?
d. Bagaimana hubungan antara ilmu, fulsafat dan agama?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian filsafat.
b. Untuk mengetahui pembagian cabang-cabang filsafat.
c. Untuk mengetahui bagaimana ajaran Islam dalam berfilsafat.
d. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara ilmu, filsafat dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata filsafat berasal dari kata arab yang berhubungan dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya ialah philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majmuk yang terdiri atasa philo dan sophia. Philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaituvingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu, sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi, menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandi, cita pada kebijakan.
Berdasarkan kutipan diatas, dapatlah diketahui bahwa dari segi bahasa filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang kuat untuk menjadi bijak. Melihat pengertian filsafat berdasarkan istilah, lalu kita melihat pengertian filsafat dari segi devinisi. Berikut ini dikutipkan beberapa definisi yang di kemukakan oleh beberapa pengarang, sesuai dengan konotasi filsafat yang ditangkap oleh mereka.
Poedjawijatna, mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran belaka.
Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat ialah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendlam, mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencpai pengetahuan itu. Plato, menyatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran
asli.
Phytagoras, orang yang mula-mula menggunakan kata filsafat, memberikan devinisi filsafat sebagai the love for wisdom. Menurut Phytagoras, manusia yang paling tinggi nilainya ialah manusia pencinta kebijakan (love for wisdom), sedangkan yang dimaksud olehnya dengan wisdom ialah kegiatan melakukan perenungan tentang Tuhan.
Perbedaan itu menurut Abu Bkar Atjeh disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai disini dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan deefinisi filsafat antara tokoh dengan tokoh lainnya disebabkanoleh berbedanya konotasi filsafat pada mereka msing-masing.
B. Pembagian Cabang-cabang Filsafat
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada tahap awal kelahiran filsafat yang disebut filsafat itu sesungguha mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Kemudian, filsafat itu berkembangsedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu-persatu memisahkan diri dari filsafat.
Pembagian bidang-bidang studi atau cabang-cabang filsafat, sejak kelahirannya hingga masa kini, tak pernah sama kendati itu tidak berarti sama sekali berbeda.jika disimak dengan cermat, sesungguhnya isi setiap cabang filsafat itu senantiasa memiliki kesamaan satu sama lain.
Saat ini, pada umumnya filsafat dibagi kedalam enam bidang studi atau cabang utama sebagai berikut:
1. Epistemologi
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Etimologis, istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). Jadi epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan dalam epistemologi ialah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan; serta validitas dan reliabilitas (reability) dan berbagai klaim tentang pengetahuan.
2. Metafisika
Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani meta physika (sesudah fisika). Kata metafisika itu saat ini memiliki berbagai arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan. Isitilah ini bisa berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang beradadiluar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada dibalik realitas. Akan tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa metafisika adalah suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika biasanya dibagi sebagi berikut,
a. Metafisika umum atau Ontologi
Metafisika umum, yang juga populer dengan nama ontologi, membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari penampakan atau penampilan eksistensi itu.
b. Metafisika khusus yang terdiri dari
• Kosmologi
Kosmologi berasal dari dua kata Yunani yaitu kosmos ( dunia atau ketertiban) dan logos (kata, percakapan atau ilmu). Jadi, kosmologi berarti percakapan tentang dunia atau alam dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas.
• Teologi Metafisik
Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Allah yang dibahas secara terlepas dari kepercayaan agama. Eksistensi Allah hendak dipahami secara rasional. Konsekuensinya, Allah menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila Allah dilepaskan dari kepercayaan agama, haasil analisis dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan berikut
- Allah tidak ada.
- Tidak dapat dipastikan apakah Allah ada atau tidak.
- Allah ada tapa dapat dibuktikan secara rasional.
- Allah ada dengan bukti rasional.
• Filsafat Antropologi
Filsafat antropogi adalah bagian metafisika khusus yang mempersalkan apakah manusia itu? Apakah hakikat manusia itu? Bagaimanakah hubungannya dengan alam dan sesamana? Dengan kata lain, filsafat antropologi berupaya menemukn jawaban atas ertanyaan-pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi, aksistensi, status, maupun relasi-relasinya.
3. Logika
Logika adalah istilah yang dibentuk dari kata Yunani “logikos” yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti sesuatu yang diutarakan, sesuatu pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa. Logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, menegenai sesuatu pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan, atau yang berkenaan dengan bahasa. Dengan demikian, secara etimologis, logika berarti suatu pertimbanga akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dapat dikatakan bahwa logika adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional.
4. Etika
Etika sering sekali disebut sebagai filsafat moral. Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani “ethos” dan “ethikos”. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik.dalam sejarah filsafat barat, etika adalah cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Sokrates (470-399 SM). Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
5. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah estetika berasal dari kata Yunani “aisthesis” yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berasal dari kata latin ars, yang berarti seni, ketrampilan, ilmu, atau kecakapan.
C. Islam Dalam Berfilsafat
KETUHANAN MENURUT IBN SINA DAN IBN RUSYDI
Ibn Sina dan Ibnu Rusydi, adalah dua orang filosof abadi dalam sejarah pemikiran Islam, menduduki tempat khusus dalam sejarah pemikiran dunia. Yang pertama filosof Islam di Timur, sedangkan yang kedua filosof Islam diBarat (maghribi). Dalam waktu yang relative lama, filsafat keduanya telah dikaji dengan mendalam di Eropa, sehingga melahirkan murid atau pengikut yang fanatic, membela pemikiran dan Mazhabnya.
Seperti halnya filosof-filosof Islam yang lain, keduanya merasa mengusahakan pemaduan (taufiq) antara apa yang telah dikenal dalam filsafat Yunani dengan apa yang diajarkan dalam Islam: akidah dan syari’at yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Dari sisi ini, produk pemikiran Islam merupakan hasil paduan dari akidah Islam dan teori filsafat Yunani, dan ini merupakan suatu yang musykil, tapi juga asli dalam filsafat Islam.
Adalah hal wajar jika kita dapati kecenderungan pemaduan ini pada hamper seluruh filosof Islam, di TImur dan Barat, karena terdorong oleh berbagai factor, seperti yang dilakukan oleh para pendahulu mereka dalam kalangan pemikir Masehi dan Yahudi. Factor-faktor ini antara lain:
a. Lebarnya jurang perbedaan antar Islam yang berdasarkan wahyu, tanpa mengecilkan peranan akal, dengan filsafat Aristoteles yang berdasarkan akal semata-mata.
b. Kecaman yang dilakukan oleh kebanyakan pemuka agama terhadap pembahasan akali (rasional) yang tidak terkait kesimpulannya pada ketentuan aqidah yang telah di akui sebelumnya, sehingga mengakibatkan timbul penekanan dari para penguasa dan rakyat umum terhadap filosof.
c. Kegemaran para filosof yang cenderung menyendiri untuk hidup tenang agar dapat berpikir, bebas dari berbagai petaka dan kekacauan.
Ibnu Sina, yang di gelar dengan Al-Syekh Al-Rais, merasa perlu memadukan antara akidah Al-Qur’an dan filsafat yunani yang diketahuinya, untuk itu ia mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Jika ingin tetap dipandang sebagai seorang Muslim, baik oleh diri sendiri maupun orang lain, ia harus benar-benar memperhatiakn segi ini, selagi konsep Ilahiyyat (ketuhanan) dari filsafat guru pertama (Aristoteles) sangat bertentangan- pengertian, sifat dan fi’ilnya dengan konsepsi yang diajarkan Al-Qur’an tentang hal tersebut.
Dalam ajaran Islam, ALLAH adalah pencipta segala sesuatu; tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-NYA, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaannya. ALLAH mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekaliapun. Ia yang menciptakan Alam ini, dari tidak ada menjadi ada, tanpa perantara dari siapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang indah dan agung, seperti yang tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Tuhan yang seperti ini, sifat atau Fi’ilnya, sangat berbeda dan tidak mungkin akan sesuai dengan Tuhan Aristoteles yang disebut sebagai “penggerak pertama”, dan juga dengan konsep “yang Esa” (The one) seperti yang dikenal dalam New-Platonisme.
Oleh karena itu, para filosof Islam semuanya, baik yang sebelum maupun sesudah Ibnu Sina, mencurahkan semua tenaga dan usaha untuk memadukan ajaran Al-Qur’an dengan filsafat Yunani sperti yang mereka pahami. “ KeTuhanan dan penciptaan Alam” dalam konsepsi Ibn Sina dan Ibn Rusydi.
Adalah wajar jika pembahasan ini menarik kita pada reaksi Al-Ghazali yang demikian sengit dank keras terhadap para filosof, khususnya Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan reaksi Al-Rusydi terhadap Al-Ghazali, serta terhadap kitabnya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, sebagai upaya yang menjelaskan dalam masalah-masalah yang meruncingkan permusuhan.
Ibn Rusydi (520-592 H.) berpendapat Aristoteles adalah seorang “pemikir agung” yang sangat mendalami masalah-masalah falsafi, seperti masalah tersebut dan lain-lain sebagainya. Ia adalah seorang yang benar dan tidak pernah salah dari segi apapun. Ia adalah citra tertinggi (al-Surah al-Ulya) dari akal Insani, sehingga ia di gelar sebagai “filosof Ilahi.” Dan dia pula diantara orang-orang yang di isyaratkan dalam firman-Nya (al-Baqarah(2):269):
Artinya:
“Diberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberikan hikmah, maka ia telah diberikan banyak kebikan.”
Dan untuk semua itu, Ibn Rusydi telah menyediakan diri untuk membuat komentar dan kesimpulan filsafat Aristoteles, ehingga ia berhak di sebut sebagai al-Syarih (komentator). Guru pertama, yakni; Aristoteles. Oleh karena itu, dan dia telah mengangkat dirinya sebagai pembela filsafat dan para filosof serta usahanya mencungkil kitab Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali, dari akarnya, kita mengamati dua corak pendiriannya dalm masalah ini:
a. Ia berdiri di pihak Ibn Sina, versus Al-Ghazali, jika pendapatnya sesuai dengan pikirannya, atau dengan kata lain, jika ia melihat pendapatnya berasal dari Aristoteles. Dalam hal ini, ia menambahkan sandaran atau alasan baru kepada mazhabnya atau menjelaskan dengan terperinci.
b. Dari sisi lain, jika ia melihat Ibnu Sina menyalahi “Guru Pertama”, sehingga ia mengadakan apa yang tidak dikatakannya, maka kita melihat Ibn Rusydi meremehkan serta mengumpatnya dengan keras sekali, seraya menjelaskan bahwa Ibn Sina telah memberikan kesempatan bagi Al-Ghazali untuk menyerang filsafat dan para filosof umumnya, sementara Ibn Sina atau juga bersama Al-Farabi, adalah yang berhak menjawab sendiri serangan tersebut.
Jadi, tidak mengherankan jika kita melihat kritik pedas yang ditujukan oleh filosof kordova terhadap Ibn Sina dalam berbagai masalah falsafi, karena tujuan yang ingin di capai dari apa yang di tulisnya adalah menjelaskan kebenaran, baik kebenaran itu di pihak Ibn Sina atau di pihak hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.
1. Wujud Allah
Aristoteles berpendapat, pengakuan adanya “ Penggerak Pertama” sudah cukup untuk menjadi dasar penafsiran alam ini: gerak, kejadian dan hancurnya, sehingga ia menjadikan-Nya sebagai titik terakhir dimana berakhir segala silsilah gerak. Dia sendiri yang tetap, tidak bergerak, dan tanpa Dia, gerak alam tidak dapat di tafsirkan secara akali.
“Penggerak Pertama” ini, atau dengan kata lain, “ Yang Terakhir” dari silsilah gerak, menurut Aristoteles, adalah Tuhan. Akan tetapi apa pengaruh-Nya terhadap alam Ini? Apakah Ia menggerakannya sebagai pencipta? Disini terdapat berbagai kesukaran, sehingga ia mengatakan, gerak alam dari Tuhan dapat dipandang sebagai sebab tujuan (‘illah gha’iyyah), yakni Tuhan menjadi tujuan arah gerak alam. Oleh karena itu, alam di sebut alam menjadi dan menghancur (Al-Kaun Wa’l-Fasad), yakni tidak kekal.
Akan tetapi peranan yang diberikan oleh Aristoteles kepada “Penggerak Pertama” sebagai Tuhan, tidak membuatnya benar, terutama dari sudut pandang agama, baik Islam atau lainnya, karena Tuhan dalam pengertian ini, bukan sebagai pencipta atau pembuat alam ini, sedanngkan Al-Qur’an menyatakan tegas bahwa ALLAH adalah pencipta segala sesuatu. Pencipta yang absolut dalam arti yang sebenarnya.
Oleh karena itu, Ibn Sina dengan sadar menempuh jalan lain dari jalan Aristoteles dalam menetapkan wujud ALLAH, Karena jalan yang ini tidak membenarkan ALLAh sebagai “Sebab Pencipta“ (‘illah Fa’iliyyah) bagi alam. Ia menempuh jalan lain yang bisa memadukan konsepsi Aristoteles dengan ajaran Al-Qur’an dalam masalah ini.
Jalan yang disenangi Ibn Sina bukanlah jalannya para Mutakallim, berdalil dengan alam ini terhadap adanya ALLAH, berdalil dengan makhluk terhadap adanya Khalik. Menurut Ibn Sina dalil ini, hanya sesuai bagi kebanyakan orang awam, dank arena itu ia memilih dalil yang didasarkan pada perbedaan wajib dan mungkin, tanpa adanya suatu pertimbangan yang lain selain wujud itu sendiri. Ia berdalil dengan “ kemungkinan segala yang mungkin” (imkan Al-Mumkinat) terhadap wujud yang wajib (Tuhan). Pemikiaran ini di ungkapkan sebagai berikut:
Renungkan! Betapa keterangan kami dalam menetapkan yang Pertama (al-Awwal), keEsaan-Nya dan bersih-Nya dari tanda-tanda (bara’atuhu ‘ani’s-simat) tidak memerlukan renungan kepada selain wujud itu sendiri, tidak memerlukan kepada pertimbangan penciptaan dan perbuatan-Nya. Namun, hal ini lebih terpercaya dan mulia, yakni bila kita melihat keadaan wujud, maka terlihatlah wujud dari segi wujudnya (min haitsu huwa wujud) dan sesudah itu ia menyaksikan (menjadi dhalil) akan yang lain-lain dalam wujud ini. Kepada yang seperti ini terdapat isyarat dalam kitab Ilahi: (al-Qur’an, 41: 53): “akan kami perilhatkan kepada mereka tanda-tanda (wujud) kami di ufuk dan dalam diri mereka, sehingga jelas baginya bahwa Ia adalah benar (adanya).” Saya katakan: “ ini adalah ketentuan (hukmun) bagi semua golongan.” Kemudian Ia (Allah) berkata: “Tidaklah Tuhanmu cukup menjadi saksi (bukti) atas segala sesuatu.” Saya katakan: sesungguhny inilah tentuan bagi orang-orang yang benar (siddiqin) yang dengan-Nya bukan atas-Nya, mereka beldalil ( Yatasyhiduna bihi la’alaihi).
Jadi yang di gemari oleh Ibnu Sina ialah dalil yang terpusat pada pembedaan wajib dan mungkin, tapi apa yang di maksud dengan kedua istilah ini? Dalam kitab al-Najah, Ibn Sina menyatakan, wajib Al-Wujud ( yang wajib ada) adalah suatu maujud yang jika di andaikan tidak ada, maka timbullah mustahil. Sedangkan mumkin al-Wujud (yang mungkin ada) ialah jika di andaikan ada atau tidak ada, maka tidak menimbulkan mustahil. Dengan kata lain, wajib al-wujud adalah yang mesti adanya, dan mumkin al-wujud ialah yang tidak ada kemestian, baik adanya maupun tidak adanya.
D. Ilmu, Filsafat, Agama
Ilmu atau sains mempunyai makna “keyakinan tertentu yang sesuai dengan kenyataan, lawan dari kebodohan sederhana atau muroab meskipun ia digunakan dalam satu proposi.”
filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang kuat utuk menjadi bijak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
a. Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai segi-segi oersamaan, disamping segi perbedaannya. Sistem berfikir ilmu juga sistematik dan radikal, tetapi tidak universal. Ia membatasi dirinya pada bidang tertentu, memencilkan (isolasi) bidang itu daripada yang lain-lain. Selain dari pada berfikir bebas, ia berkehendak kepada data, yang dihasilkan oleh riset dan/atau eksperimen. Ilmu dapat melakukan riset karena masalah yang dihadapi afalah konkrit, berada dalam medan empiri manusia. Tidak demikian filsafat. Ia tidak membicarakan yang ada, itu diserahkan kepada ilmu. Tetapi yang dimasalahkanadalah tentang perkara dibalik atau di beakang yang ada, yang tidak terjangkau oleh empiri manusia. Karena itu riset dan eksperimen tidak mungkin dilakukan.
Keduanya mencari kebenaran, tapi falsafat mencari kebenara yang universal, sedangkan ilmu kebenaran yang berkeping-keping. Kebenaran ilmu dapat dibuktikan. Karena kebenaran itu diperolehnya daripada riset dan eksperimen, dengan sistem itu pula dapat diuji kebenaran yang ditemukannya. Kebenaran filsafat tidak mungkin dibuktikan, karena tidak ada fakta yang mengujinya. Ia adalah hasil pemikiran berdasarkan bahan-bahan yang diberikan ilmu. Maka pemikiran pula yang akan membenarkan atau menyalahkannya.
Batas ilmu filsafat: dimana ilmu berhenti, disitu filsafat mulai. Apabila ilmu tidak mampu menjawab suatu masalah, karena tidak dapat dilakukan riset dan eksperimen atas masalah itu, maka ia minta tolong pada filsafat.
Ada dua tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh ilmu, karena itu menjadi tugas filsafat:
1. Refleksi terhadap dunia menyeluruh, khususnya terhadap makna, tujuan dan nilai.
2. Menguji pengertian-pengertian, baik yang dipakai oleh ilmu atau oleh anggapan umum secara kritis.
b. Filsafat dan Agama
Filsafat dan agamapun mempunyai segi perbedaan disamping segi persamaannya. Dalam hubungan dengan kebenaran keduanya mempunyai segi persamaan. Perbedaannya ialah posisi masing-masing terhadap kebenaran. Filsafat mencari kebenaran dengan melalui pemikiran. Sedangkan agama memberikan kebenaran, kalau agama itu agama langit. Filsafat mencari kebenaran berpangkal tolak dari kesangsian. Kesangsian itu berakhir dengan ditemukannya kebenaran. Agama memberikan kebenaran untuk menuntut keyakinan.
BAB III
PENUTUP
• Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majmuk yang terdiri atasa philo dan sophia. Philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu, sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi, Filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang kuat utuk menjadi bijak.
• Pada umumnya filsafat dibagi menjadi seperti berikut:
1. Epistemologi
2. Metafisika:
- Ontologi
- Kosmologi
- Teologi metafisik
- Antropogi
3. Logika
4. Etika
5. Estetika
• Ilmu adalah keyakinan tertentu yang sesuai dengan kenyataan.
• Filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang kuat utuk menjadi bijak.
• Agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
• Antara ilmu, filsafat dan agama itu saling berhubungan, memilki persamaan tetapi juga memiliki perbedaan.
B. Saran
Saran untuk setiap pembaca agar dapat memahami apa itu filsafat. Yang biasanya filsafat dianggap ilmu yang terlalu rumit dan takut untuk dipelajari. Dengan ini filsafat menjadi mudah untuk dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, DR. Ahmad.1990.FILSAFAT UMUM.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah.2003.BUKU DARAS FILSAFAT ISLAM.Bandung:Mizan Media Utama.
Ridwanullah.Makalah SKI “Batas-Batas Agama.Yogyakarta.
Gazalba, Drs. Sidi.1978.ASAS KEBUDAYAAN ISLAM.Jakarta: Bulan Bintang.
Sina, Ibnu.al-Isyarat wa’l Tanbihat, bagian III: metafisika.
Ibn Sina al-Najah , kairo,
*Sumber: https://www.academia.edu/29714249/pengertian_filsafat
Tag :
Filsafat
0 Komentar untuk "Pengertian, Arti dan Tujuan Filsafat"