BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakat. Untuk membentuk suatu masyarakat yang terarah, tidak menyimpang dan sesuai dengan tatanan hidup yang sesuai dengan adat dan aturan yang berlaku, maka dalam beraktivitas manusia membutuhkan suatu aturan yang berisi nilai dan norma. Aturan, nilai dan norma-norma yang berada dalam masyarakat dan mengatur segala aktivitasnya disebut dengan lembaga kemasyarakatan (sosial).
Selain itu, salah satu unsur penting dari kajian tentang struktur sosial adalah lembaga kemasyarakatan, namun pembahasan tentang lembaga kemasyarakatan dalam bagian ini sifatnya tidak menyeluruh, tetapi hanya sekedar pengantar yang menyangkut hal-hal pokok saja, mengingat pada bagian berikutnya, kajian tentang lembaga kemasyarakatan ini akan dibahas secara terperinci; maksud penulisannya yaitu untuk menggambarkan satu bagian dari struktur sosial sehingga kajiannya menjadi utuh. Unsur penting lain dari struktur sosial adalah apa yang disebut sebagai lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan juga biasa disebut dengan institusi sosial sebagai pengertian dari konsep awal social institutions, yaitu sebagai himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat; Koentjaraningrat (1996) mengartikan social institutions ini sebagai pranata sosial, yaitu sebagai suatu sistem norma khusus yang menata serangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan yang khusus dalam kehidupan masyarakat. Dalam bahasa sehari-hari istilah institution sering dikacaukan dengan institute, dalam pengertian Koentjaraningrat di atas institution diartikannya sebagai pranata, sedangkan institute diartikan sebagai lembaga; namun dalam sosiologi, pengertian konsep itu tidak demikian walaupun substansinya sebenarnya sama. Soerjono Soekanto (1998) mengartikan institution sebagai lembaga dan institute sebagai asosiasi, untuk selanjutnya buku ini lebih mengacu terhadap apa yang dikemukakan oleh Soekanto di atas.
Lembaga kemasyarakatan ini selalu melekat dalam kehidupan masyarakat, tidak dipersoalkan apakah bentuk masyarakat itu masih sederhana ataupun telah maju; setiap masyarakat sudah tentu tidak akan terlepas dengan kompleks kebutuhan atau kepentingan pokok yang apabila di kelompok-kelompokan, terhimpun menjadi lembaga kemasyarakatan, dan wujud konkrit dari lembaga sosial disebut asosiasi. Sebagai contoh, Universitas merupakan lembaga kemasyarakatan, sedangkan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, atau Universitas Airlangga adalah contoh asosiasi. Selain kegunaan seperti di atas, lembaga kemasyarakatan memuat arti penting dalam masyarakat, yaitu mengkondisikan keteraturan dan menjaga integrasi dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud lembaga masyarakat?
2. Bagaimana tujuan lembaga kemasyarakatan?
3. Bagaimana proses pertumbuhan lembaga kemasyarakatan?
4. Bagaimana social control dalam masyarakat?
5. Apa ciri-ciri umum lembaga kemasyarakatan?
6. Apa tipe lembaga kemasyarakatan ?
7. Apa bentuk-bentuk umum lembaga kemasyarakatan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian lembaga masyarakat.
2. Menjelaskan tujuan lembaga kemasyarakatan.
3. Menjelaskan proses pertumbuhan lembaga kemasyarakatan.
4. Menjelaskan social control.
5. Menjelaskan ciri-ciri umum lembaga kemasyarakatan.
6. Menjelaskan tipe lembaga kemasyarakatan.
7. Menjelaskan bentuk-bentuk umum lembaga kemasyarakatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lembaga Masyarakat
Istilah lembaga kemasyarakatan dalam bahasa Inggris adalah social institution. Namun social institution juga diartikan sebagai pranata sosial. Hal ini dikarenakan mengatur perilaku para anggota masyarakat.
Menurut Koentjoroningrat, lembaga kemasyarakatan adalah suatu norma khusus yang menata suatu tindakan yang berpola untuk keperluan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain lembaga adalah proses yang terstruktur (tersusun) untuk melaksanakan berbagai kegiatan dengan norma tertentu. Serta menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma-norma untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut Paul Horton dan Chester L. Hunt, lembaga kemasyarakatan adalah sistem norma-norma sosial dan hubungan-hubungan yang menyatukan nilai-nilai dan prosedur-prosedur tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Menurut Peter L. Berger, lembaga kemasyarakatan adalah suatu prosedur yang menyebabkan perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan dipaksa bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan keinginan masyarakat.
Sehingga kesimpulannya, lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi, fungsi dan kegiatan untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang terdiri dari organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi sosial, organisasi politik, media massa, dan bentuk organisasi lainnya.
B. Tujuan Lembaga Kemasyarakatan
Tujuan lembaga kemasyarakatan adalah sebagai berikut.
1) Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam
masyarakat, yang terutama menyangkut kebutuhan pokok.
2) Menjaga kebutuhan masyarakat yang bersangkutan
3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control), artinya, sistem pengawasan dari masyarakat
terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
C. Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan
Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk secara tidak disengaja. Namun lama kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Misalnya, dahulu didalam jual-beli, seorang perantara tidak harus diberi bagian keuntungan. Akan tetapi, lama kelamaan terjadi kebiasaan bahwa perantara harus mendapat bagiannya, di mana sekaligus ditetapkan siapa yang menanggung itu, yaitu pembeli ataukah penjual. Norma-norma yang ada didalam masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat daya ikatnya. Menurut Maclver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Selanjutnya, dikatakan bahwa apabila kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara perilaku saja. Akan tetapi, bahkan diterima sebagai norma-norma pengatur, maka kebiasaan tadi disebutkan sebagai mores atau tata kelakuan.
Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan di suatu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Tata kelakuan sangat penting karena alasan-alasan berikut.
a. Tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu. Tata kelakuan juga merupakan alat yang memerintahkan dan sekaligus melarang seorang anggota masyarakat melakukan suatu perbuatan.
b. Tata kelakuan mengidentifikasi individu dengan kelompoknya. Di satu pihak tata kelakuan memaksa orang agar menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata kelakuan kemasyarakatan yang berlaku. Di lain pihak mengusahakan agar masyarakat menerima seseorang karena kesanggupannya untuk menyesuaikan diri.
c. Tata kelakuan menjaga solidaritas antaranggota masyarakat. Seperti telah diuraikan di atas, setiap masyarakat mempunyai tata kelakuan, misalnya perihal hubungan antara pria dengan wanita, yang berlaku bagi semua orang, dengan semua usia, untuk segala golongan masyarakat, dan selanjutnya. Tata kelakuan menjaga keutuhan dan kerja sama antara anggota-anggota masyarakat itu.
Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat. Anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat, akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan. Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization), yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Maksudnya ialah sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat adanya proses termaksud di atas, dibedakan antara lembaga kemasyarakatn sebagai peraturan (operative social institutions) dan yang sunguh-sungguh berlaku (operative social institutions).
Lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perilaku orang-orang, misalnya lembaga perkawinan mengatur hubungan antara wanita dengan pria. Lembaga kemasyarakatan dianggap sungguh-sungguh berlaku apabila norma-normanya sepenuhnya membantu pelaksanaan pola-pola kemasyarakatan. Perilaku perseorangan yang dianggap sebagai peraturan merupakan hal sekunder bagi lembaga kemasyarakatan.
Norma-norma tertentu sudah mulai melembaga apabila diketahui, namun taraf pelembagaan rendah. Misalnya, apabila seorang pasien sudah mengetahui mengenai norma-norma yang merupakan patokan perilaku di dalam hubungannya dengan seorang dokter, norma tersebut sudah mulai melembaga pada taraf terendah. Taraf pelembagaan akan meningkat apabila suatu norma dimengerti oleh manusia yang perilakunya diatur oleh norma tersebut. Dengan sendirinya di samping mengetahui, maka seharusnya manusia juga memahami mengapa ada norma-norma tertentu yang mengatur kehidupan bersamanya dengan orang lain.
Apabila manusia memahami norma-norma yang mengatur kehidupan bersamanya, maka akan timbul kecenderungan untuk menaati norma-norma tersebut. pentataan tersebut merupakan perkembangan selanjutnya dari proses pelembagaan norma-norma yang bersangkutan. Apabila norma tersebut diketahui, dimengerti, dan ditaati, maka tidak mustahil bahwa norma tersebut kemudian dihargai. Penghargaan tersebut merupakan kelanjutan proses pelembagaan pada taraf yang lebih tinggi lagi.
Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya menjadi institutionalized dalam masyarakat, tetapi menjadi internalized. Maksudnya adalah suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan dengan perilaku yang memang sebenarnya mematuhi kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, norma-norma tadi telah mendarah daging (internalized). Kadang-kadang dibedakan antara norma atau kaidah-kaidah yang mengatur pribadi manusia dan hubungan antar pribadi. Kaidah-kaidah pribadi mencakup norma kepercayaan yang bertujuan agar manusia beriman, dan norma kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih. Kaidah antar pribadi mencakup kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar manusia bertingkah laku dengan baik di dalam pergaulan hidup. Norma hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
D. Sistem Pengendalian Sosial (Sosial Control)
Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya seorang ibu mendidik anak-anaknya untuk menyesuaikan diri pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku) atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial (umpamanya, seorang dosen pada perguruan tinggi memimpin beberapa orang mahasiswa di dalam kuliah-kuliah kerja). Seterusnya pengendalian sosial dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompoklainnya, atau oleh suatu kelompok terhadap individu. Itu semuanya merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau sering kali manusia tidak menyadari.
Dengan demikian, pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan.
Dari sudut sifatnya dapatlah dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif, atau bahkan kedua-duanya. Prevensi merupakan suatu usaha pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Sementara itu, usaha-usaha yang represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. Usaha-usaha preventif, misalnya dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal, dan informal. Sementara itu, represif berwujud penjatuhan sanksi terhadap para warga masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Cara yang sebaiknya diterapkan di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berbeda dalam keadaan tentram, cara-cara persuasive mungkin akan lebih efektif daripada penggunaan paksaan karena di dalam masyarakat yang tentram, sebagian kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau bahkan mendarah daging di dalam diri para warga masyarakat. Keadaan demikian bukanlah dengan sendirinya berarti bahwa paksaan sama sekali tidak diperlukan.
Paksaan lebih sering diperlukan di dalam masyarakat yang berubah karena di dalam keadaan seperti itu pengendalian sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah baru yang menggantikan kaidah-kaidah lama yang telah goyah. Namun demikian, cara-cara kekerasan ada pula batas-batasnya dan tidak selalu dapat diterapkan karena biasanya kekerasan atau paksaan akan melahirkan reaksi negatif, setidak-tidaknya secara potensial. Reaksi yang negatif selalu akan mencari kesempatan dan menunggu saat di mana agent of social control berada di dalam keadaan lengah. Bila setiap kali paksaan diterapkan, hasilnya bukan pengendalian sosial yang akan melembaga, tetapi cara paksaanlah yang akan mendarah daging serta berakar kuat.
Di samping cara-cara tersebut di atas, dikenal pula teknik-teknik seperti complution dan pervation. Di dalam compultion, diciptakan situasi sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat atau mengubah sikapnya, yang menghasilkan kepatuhan secara tidak langsung. Pada pervasion, penyampaian norma atau nilai yang ada diulang-ulang sedemikian rupa dengan harapan hal tersebut masuk dalam aspek bawah sadar seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya sehingga serasi dengan hal-hal yang diulang-ulang penyampaiannya itu.
Pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, merupakan salah satu alat pengendalian sosial yang telah melembaga baik pada masyarakat bersahaja maupun yang sudah kompleks. Hukum di dalam arti luas juga merupakan pengendalian sosial yang biasanya dianggap paling ampuh karena lazimnya disertai dengan sanksi tegas yang berwujud penderitaan dan dianggap sebagai sarana formal.
Perwujudan pengendalian sosial mungkin adalah pemidanaan, kompensasi, terapi ataupun konsiliasi. Standar atau patokan pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan seluruh kelompok masyarakat dilanggar sehingga inisiatif datang dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada pihak-pihak tertentu).
Pada kompensasi, standar atau patokannya adalah kewajiban, di mana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi karena pihak lawan melakukan cedera janji. Di sini ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang sehingga halnya dengan pemidanaan, sifatnya adalah akusator.
Berbeda dengan kedua hal tersebut di atas, terapi maupun konsiliasi sifatnya remedial, artinya bertujuan mengembalikan situasi pada keadaan semula (yakni sebelum terjadinya perkara atau sengketa). Hal yang pokok bukanlah siapa yang menang atau siapa yang kalah, tetapi yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak (yang berarti adanya gangguan). Dengan demikian, pada terapi dan konsiliasi, standarnya adalah normalitas dan keserasian atau harmoni. Pada terapi, korban mengambil inisiatif sendiri untuk memperbaiki dirinya dengan bantuan pihak-pihak tertentu, misalnya, pada kasus penyalahgunaan obat bius, di mana korban kemudian sadar dengan sendirinya. Pada konsiliasi, masing-masing pihak yang bersengketa mencari upaya untuk menyelesaikannya, baik secara kompromistis ataupun dengan mengundang pihak ketiga.
Dengan adanya norma-norma tersebut, di dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control. Lazimnya yang diterapkan terlebih dahulu adalah pengendalian sosial yang dianggap paling lunak, misalnya, nasihat-nasihat yang tidak mengikat. Taraf selanjutnya adalah menerapkan pengendalian sosial yang keras. Di dalam proses tersebut, norma hukum sebaiknya diterapkan pada tahap terakhir apabila sarana-sarana lain tidak menghasilkan tujuan yang ingin dicapai. Sudah tentu bahwa di dalam penerapannya senantiasa harus diadakan telaah terhadap masyarakat atau bagian masyarakat yang dihadapi.
E. Ciri-ciri Umum Lembaga Kemasyarakatan
Gillin di dalam karyanya yang berhudul General Features of Social Institution, telah menguraikan beberapa ciri umum lembaga kemasyarakatan yaitu sebagai berikut :
1.Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari adat istiadatnya, tata kelakuan, kebiasaan, serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.
2.Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu relatif lama. Misalnya, suatu sistem pendidikan tertentu baru akan dapat diterapkan seluruhnya setelah mengalami suatu masa percobaan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan biasanya juga berumur lama karena pada umumnya orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat yang sudah sewajarnya harus dipelihara.
3.Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Mungkin tujuan-tujuan tersebut tidak sesuai atau sejalan dengan fungsi lembaga yang bersangkutan apabila dipandang dari sudut kebudayaan secara keseluruhan. Pembedaan antara tujuan dengan fungsi sangat penting karena tujuan suatu lembaga merupakan tujuan pula bagi golongan masyarakat tertentu dan golongan masyarakat bersangkutan pasti akan berpegang teguh padanya. Sebaliknya, fungsi solsial lembaga tersebut, yaitu peranan lembaga tadi dalam sistem sosial dan kebudayaan masyarakat mungkin tak diketahui atau disadari setelah diwujudkan, yang kemudian ternyata berbeda dengan tujuannya. Umpamanya lembaga perbudakan, yang bertujuan untuk mendapatkan tenaga buruh yang semurah-murahnya, tetapi di dalam pelaksanaan ternyata sangat mahal.
4.Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin, dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Misalnya, gergaji jepang dibuat sedemikian rupa sehingga alat tersebut akan memotong apabila ditarik. Sebaliknya gerjagi Indonesia baru memotong apabila didorong.
5.Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri khas lembaga kemasyarakatan. Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. Sebagai contoh, masing-masing kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata, mempunyai panji-panji; perguruan-perguruan tinggi seperti universitas, institut, dan lain-lainnya mempunyai lambang-lambangnya dan lain-lain lagi. Kadang-kadang lambang tersebut berwujud tulisan-tulisan atau slogan-slogan.
6. Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis ataupun yang tak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku, dan lain-lain. Tradisi tersebut merupakan dasar bagi lembaga itu di dalam pekerjaannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, di mana lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi bagiannya.
E. Tipe Lembaga Kemasyarakatan
Tipe-tipe lembaga kemasyarakatan dapat diklasifikasikan dari pelbagai sudut.
Menurut Gillin dan Gillin:
1) Dari sudut perkembangannya :
a. Crescive Institutions Bahan Ajar Pengantar Sosiologi
Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom Lembaga-lembaga yang secara tidak sengaja tumbuh dari adat-istiadat masyarakat. Contoh : hak milik, perkawinan, agama, dsb.
b. Enacted Institution
Dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya lembaga utang-piutang, lembaga perdagangan, dan lembaga-lembaga pendidikan, yang kesemuanya berakar pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
2) Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat:
a. Basic Institutions
Lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan
mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia,
misalnya keluarga, sekolah-sekolah, segara, dsb.
b. Subsidiary Institutions
Dianggap kurang penting. Misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi.
3) Dari sudut penerimaan masyarakat:
a. Approved-Socially Sanctioned Institutions
Lembaga-lembaga yang diterima masyarakat, seperti sekolah, lembaga
perdagangan, dsb.
b. Unsanctioned Institutions
Lembaga-lembaga yang ditolak masyarakat, walau masyarakat kadang-kadang tidak berhasil memberantasnya. Misalnya kelompok penjahat, pemeras pencoleng, dsb.
4) Dari sudut penyebarannya :
a. General Institutions
Contoh : Agama merupakan suatu General Institutions, karena dikenal oleh hampir semua masyarakat dunia.
b. Restricted Institutions
Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu, merupakan Restricted Institutions, karena dianut oleh masyarakat tertentu di dunia ini.
5) Dari sudut fungsinya :
a. Operative Institutions Bahan Ajar Pengantar Sosiologi
Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom Berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
b. Restricted Regulative
Bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata kelakukan yang tidak menjadi bagian mutlak lembaga itu sendiri
G. Bentuk-bentuk Umum Lembaga Kemasyarakatan
Dari sudut pandang kompleks atau sederhananya suatu lembaga kemasyarakat atau menentukan berapa banyak atau besar lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam satu masyarakat, sebenarnya sukar untuk diukur, karena hal ini tergantung dari sifat kompleks atau sederhananya kebudayaan suatu masyarakat. Makin besar dan kompleks perkembangan suatu masyarakat, makin banyak pula jumlah lembaga kemasyarakatan yang ada. Namun untuk menentukan lembaga–lembaga kemasyarakatan yang pokok, sekurangnya setiap masyarakat memiliki delapan buah lembaga kemasyarakatan berdasarkan fungsi untuk memenuhi keperluan hidupnya, yaitu yang menyangkut lembaga :
1. kekerabatan yang disebut juga sebagai kinship institutions, antara lain mencakup lembaga perkawinan, tolong menolong antar kerabat, pengasuhan anak, sopan santun pergaulan antar kerabat, dan lain-lain,
2. ekonomi (produksi, mengumpulkan dan mendistribusikan hasil produksi, dan lain-lain), antara lain mencakup pertanian, peternakan, berburu, industri, perbankan, koperasi, dan sebagainya,
3. pendidikan, yaitu yang menyangkut pengasuhan anak, berbagai jenjang pendidikan,
pemberantasan buta huruf, perpustakaan umum, pers, dan sebagainya,
4. Ilmu pengetahuan, meliputi pendidikan, penelitian, metodologi ilmiah, dan
Sebagainya,
5. Keindahan dan rekreasi, menyangkut berbagai cabang kesenian, olah raga, kesusateraan, dan sebagainya,
6. Agama, menyangkut peribadatan, upacara, semedi, penyiaran agama, doa, kenduri, ilmu gaib, ilmu dukun, dan sebagainya,
7. Kekuasaan, menyangkut pemerintahan, kepartaian, demokrasi, ketentaraan dan sebagainya,
8. Kesehatan atau kenyamanan, menyangkut kecantikan dan kesehatan, kedokteran,
pengobatan tradisional, dan sebagainya.
Penggolongan tersebut di atas tentu belum lengkap, karena di dalamnya belum
tercakup semua jenis lembaga kemasyarakatan yang mungkin terdapat dalam suatu
masyarakat. Hal-hal seperti kejahatan, prostitusi, banditisme, dan lain-lain, juga merupakan lembaga kemasyarakatan. Disamping itu juga ada lembaga kemasyarakatan yang memiliki sangat banyak aspek, sehingga mereka juga dapat ditempatkan di dalam lebih dari satu golongan.
Feodalisme, yang menciptakan suatu sistem hubungan antara pemilik tanah dan penggarap, yang sebenarnya menyebabkan terjadinya produksi dari hasil bumi, dapat dianggap sebagai lembaga ekonomi; tetapi sebagai suatu sistem hubungan antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai, feodalisme dapat dianggap sebagai lembaga politik. Selain itu dalam suatu masyarakat terdapat banyak lembaga yang tidak secara khusus tumbuh dari dalam adat-istiadat masyarakat yang bersangkutan, melainkan yang secara tidak disadari ataupun secara terencana diambil dari masyarakat lain, seperti misalnya demokrasi parlementer, sistem kepartaian, koperasi, perguruan tinggi, dan lainnya. Lembaga asing itu pada umumnya hanya dapat bertahan apabila lembaga-lembaga itu dapat diselaraskan dengan lembaga-lembaga yang ada, kecuali apabila kegunaannya dapat disadari dan dipahami sepenuhnya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi, fungsi dan kegiatan untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang terdiri dari organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi sosial, organisasi politik, media massa, dan bentuk organisasi lainnya.
Lembaga kemasyarakatan berasal dari istilah asing “social-institution” atau pranata-sosial yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam suatu masyarakat.
B. Saran
Untuk tercapainya tujuan lembaga kemasyarakatan, masyarakat harus saling bekerja sama dan saling mengawasi terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. Social control memang sangat diperlukan dalam hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Haviland, William A. 1988. Antropologi, terj. Jakarta: Erlangga.
Horton, Paul dan Hunt, Chester L. 1992. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, terj. Jilid 1 – 2. Jakarta:PT Gramedia Indonesia.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Merton, Robert K. 1967. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press.
Nasikun. 1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sanderson. 2000. Sosiologi Macro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1998. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Sturktur Sosial. Jakarta: CV Rajawali.
Soemardjan. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 1982. Pengantar Sosiologi (edisi terbaru). Jakarta: Rajawali Press.
Zaka. 2014. Pengertian Lembaga Sosial Menurut Para Ahli. (online), (http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-lembaga-sosial-menurut-ahli.html. Diakses tanggal 28 Maret 2014).
*Sumber: https://www.academia.edu/6922941/Makalah_lembaga_kemasyarakatan
0 Komentar untuk "Pengertian dan Tujuan Lembaga Kemasyarakatan"