Teori - Teori Kewarganegaraan

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam konsep kewarganegaraan merupakan salah satu bagian terpenting dalam tubuh kewarganegaraan tersebut, tidak hanya sebagai komunitas biasa yang hanya asal ada dan datang di tubuh masyarakat, komunitaspun mempunyai teori dan praktik untuk menjadi komunitas yang benar dan tertuntun dalam konsep kewarganegaraan.

Terjadi perbedaan pendapat mengenai konsep kewarganegaraan sesuai dengan perspektifnya para ahli masing-masing, diantaranya : 1) Pendapat Ronald Beiner dalam bukunya Theorizing Citizenship (1995), mengemukakan adanya tiga teori kewarganegaraan, yakni Liberal, Communitarian, dan Republican. 2) Herman Van Gunstreren dalam Sapriya (2006) mengemukakan ada tiga teori dasar kewarganegaraan yang berkembang dan menjadi kajian ilmiah, yakni Liberalsme, komunitarianisme dan republikanisme. 3) Derek Heater dalam bukunya A Brief History of Citizenship (2004) menyatakan bahwa berdasar sejarah perkembangannya, teori kewarganegaraan di bedakan antara  Tradisi Republikan (the civic tradition) dengan Tradisi Liberal (liberal tradition).

Sejalan dengan pendapat umum, maka dapat disimpulkan bahwa teori kewarganegaraan mencakup Liberal, Komunitarian, Republikan dan juga Demokrasi Radikal sebagai tambahan pemahaman mengenai teori kewarganegaraan. Maka dari itu dibuatnya makalah ini, agar supaya membuat pembaca maupun penulis lebih mengetahui tentang bagaimana cara berwarga dan bernegara yang baik dan benar, khususnya terkait beberapa teori kewarganegaraan yang menjadi pembahasan inti, juga mendalami supaya lebih tau terkait teori dan praktik kewarganegaraan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Warga Negara dan Kewarganegaraan?
2. Apa saja yang menjadi arena Kewarganegaraan?
3. Apa pengertian dari Pendidikan Kewarganegaraan?
4. Apa saja yang dimaksud dengan Teori-Teori Kewarganegaraan?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulis dalam penulisan makalah ini ialah
- Tujuan Umum : Sebagai media pembelajaran mahasiswa
- Tujuan Khusus :
1. Agar mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud dengan Warga Negara dan Kewarganegaraan.
2. Agar mahasiswa mengetahui apa saja yang yang menjadi arena Kewarganegaraan.
3. Agar mahasiswa mengetahui apa pengertian dari Pendidikan Kewarganegaraan.
4. Agar mahasiswa mengetahui apa saja yang dimaksud dengan Teori-Teori Kewarganegaraan.

D. MANFAAT PENULISAN
- Sarana membaca
- Media pembelajaran



BAB II
PEMBAHASAN

A. WARGA NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN
Pengertian warga negara adakalanya dicampuradukkan dengan penduduk, masyarakat dan rakyat sehigga menimbulkan kerancuan.  Dalam penempatannya, warga negara dikaitkan dengan kehidupan bernegara yang mempunyai peraturan perundangan tentang pengakuan terhadap kewarganegaraan seseorang.

Aristoteles menyatakan bahwa penentuan tentang siapakah warga negara itu lebih tepat didasarkan pada rezim konstitusi atau bentuk pemerintahannya. Jadi warga negara ditentukan oleh bentuk pemerintahan. Konstitusi menentukan siapa yang menjadi warganegara. Warganegara dalam oligarki belum tentu warganegara dalam demokrasi. Warga negara tidak ditentukan berdasar tempat atau ketaatan pada hukum. Yang benar adalah warganegara adalah mereka yang berperan dalam pemerintahan (share in the administration of justice and in the holding of office). Dalam pengertian yang lebih tegas warga negara adalah one who shares in making decisions and holding office. Hal ini khususnya yang berlaku dalam konstitusi dengansistem demokrasi. Orang – orang seperti inilah yang seharusnya disebut warga negara.

Teori - Teori Kewarganegaraan

Selanjutnya mengenai gagasan tentang kewarganegaraan (citizenship) sesungguhnya dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan kewarganegaraan yang bersumber dari peradaban Yunani Kuno, republik Romawi sampai pada modernitas Barat. Pemikiran yang tumbuh di masa Yunani Kuno telah memberi pijakan kuat bagi teorisasi kewarganegaraan khususnya pada kewarganegaraan moderen. Salah satunya dari Aristoteles (384 -322 SM) seorang pemikir, ilmuwan, ahli logika dan sekaligus filosof terkenal saat itu. Karyanya yang berjudul Politics telah memberikan informasi penting mengenai Athena sebagai suatu negara kota (polis) di masa Yunani Kuno yang demokratis beserta keberadaan warganya di polis tersebut (polites/politai). Istilah polis, polites dan politeia (bahasa Greek) menjadi kata-kata kunci atau dikenal sebagai bagian dari Aristotle‟s term, yang nantinya diterjemahkan sebagai state, citizen dan constitution. (bahasa Inggris). Ketiga istilah tersebut tidak bisa dipisahkan dan untuk memahami satu hal, maka yang lain juga harus dipahami pula.

Kewarganegaraan(citizenship) adalah suatu bentuk dari identitas sosial politik (a form of social political identity) seseorang yang keberadaannya berkaitan dengan waktu yang berkembang (Derek Heater,2004).

Disisi lain, kewarganegaraan ternyata tidak hanya sebuah identitas, tetapi mencakup pula atribut rights, obligations, active in public affairs, dan an acceptance of societal values (JJ Cogan & Dericcot, 1998: 2-3). Oleh karena itu pula definisi kewarganegaraan termasuk pula definisi warga tidaklah sama, mencakup banyak dimensi.

Menurut Aristoteles, definisi tentang warga ditentukan oleh bentuk pemerintahan atau ia sebut bentuk konstitusinya. Pada buku Politics bagian III yang berbicara tentang The Teory of Citizenship dan Constitutions, Aristoteles mengulas secara panjang lebar mengenai kewarganegaraan, warga dan konstitusi. Sekali lagi bahwa ketiga konsep tersebut menurutnya tidak bisa dipisahkan. Bahwa untuk memahami apa itu konstitusi, kita mesti mengetahui apa itu negara dan untuk mengetahui negara sebagai tempat hidup warga kita perlu memperjelas apa itu kewarganegaraan.


B. TIGA ARENA KEWARGANEGARAAN
Prinsip dan konsep dasar kewarganegaraan dapat diterangkan dalam tiga arena yang luas, yakni:
1. Kewarganegaraan sebagai prinsip politik berdemokrasi.
2. Kewarganegaraan sebagai status yuridis individu sebagai subjek hukum artinya memberikan hak-hak serta kewajiban di dalamnya.
3. Kewarganegaraan sebagai bentuk keberanggotaan dalam suatu komunitas yang eksklusif dengan basis ikatan sosial yang khas.

Kewarganegaraan sebagai prinsip berdemokrasi dikemukakan pertama-tama oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh pemikir republikanisme J.G.A Pocock.  Dalam konsepsi ini, kewarganegaraan dikonstruksi sebagai aktivitas atau tindakan untuk terlibat dalam proses diperintah dan memerintah secara setara.  Warga aktif dalam kehidupan publik, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan serta yang utama, memperjuangkan keutamaan sebagai kerangka bersama.  Pandangan kewarganegaraan sebagai prinsip berdemmokrasi menekankan kesetaraan politik dan partisipasi sebagai pusat dan karakter dasar kewarganegaraan.

C. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pendidikan merupakan upaya sadar suatu masyarakat dan juga negara untuk menjadikan dirinya lebih berpengetahuan, lebih cakap dalam berketerampilan dan lebih beradab dalam tingkah laku.  Kewarganegaraan adalah segala hal yang menyangkut bangsa, negara dan hubungan antara negara dengan warganya.  Dengan demikian, Pendidikan Kewarganegaraan adalah upaya sadar bangsa dan negara untuk memberikan pengetahuan mengenai hubungan antara konsep-konsep dalam paradigma negara kepada seluruh warga negara.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, bermartabat dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

D. TEORI TEORI KEWARGANEGARAAN
1. Teori Kewarganegaraan Liberal
a) Pengertian Teori Kewarganegaraan Liberal
Teori Kewarganegaraan liberal memandang kebebasan individual yang memuat di dalamnya sejumlah hak-hak dasar sebagai prinsip utama, seperti: hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Tokoh utama konsepsi kewarganegaraan liberalialah John Locke dan John Stuart Mill (Schuck,2002:132-13).

b) Dasar Teori Kewarganegaraan Liberal
Teori ini bersumber dari ideologi individualisme yang berpahamkan kebebasan individu terutama kebebasan dari campur tangan negara dan masyarakat. Teori ini juga  berpendapat bahwa  warganegara sebagai  pemegang otoritas untuk menentukan  pilihan  dan hak. Berdasarkan aksioma teori ini memandang warganegara  secara individual memaksimalkan keuntungan yang dimilikinya, yakni menentukan pilihan tindakan yang akan mengantarkan pada hasil tertinggi dikalikan peluang situasi yang akan terjadi. Perspektif ini bercirikan penekanan pada individu, dan kapasitas individu untuk mengubah identitas kelompok atau kolektif, untuk menghancurkan belenggu identitas pasti (status sosial, hirarkis, peran tradisional), untukmenentukan ulang tujuan seseorang. Teori kewarganegaraan liberal  menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak.

Teori ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Teori kewarganegaraan liberal menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak. Peter H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002) menyatakan bahwa pengaruh besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara sistematis melalui John Locke dan J.S Mill. Menurut Locke individu dianugerahi dan dihiasi oleh Tuhan dengan hukum alam dan berupa hak-hak alamiah.  Teori Locke tentang kepemilikian (Locke’s  theory of property) menyebutkan ada tiga elemen sentral bagi  kewarganegaraan liberal. Pertama,individu dapat menciptakan kekayaan atau kepemilikan dan menambah dominasi kepemilikan itu melalui kerja. Kedua, perlidungan terhadap kepemilikanmerupakan fungsi utama hukum dan pemerintahan dan Ketiga, pelaksanaan yang sah menurut hukum atas hak-hak kepemilikan secara alamiah mengasilkan ketidakmerataan yang adil.

Teori kewarganegaraan liberal muncul  pada  abad 17 dan 18 serta berkembang kuat pada abad 19 dan 20. Teori ini tentang kewarganegaraan dimulai dari pandangan yang bersifat individualistis. Teori ini bersumber dari ideologi individualisme yang berpahamkan kebebasan individu terutama kebebasan dari campur tangan negara dan masyarakat. Teori ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Berdasarkan aksioma teori ini memandang warganegara secara individual memaksimalkan keuntungan yang dimilikinya, yakni menentukan pilihan tindakan yang akan mengantarkan pada hasil tertinggi dikalikan peluang situasi yang akan terjadi.

Menurut  Peter H Suchuk ada 5 Prinsip Dasar Teori Liberal Klasik. Pertama, mengutamakan kebebasan individu yang dipahami sebagai kebebasan dari campur tangan negara. Kedua, proteksi yang  luas  terhadap kebebasan berpikir, berbicara dan beribadah. Ketiga, kecurigaan yang dalam terhadap kekuasaan negara dalam mengatasi individu. Keempat, pembatasan kekuasaan negara pada bidang atau aktivitas individu dalam berhubungan dengan yang lain, serta Kelima, anggapan yang kuat dapat dibantah mengenai kebaikan hati dalam hal masalah pribadi seta bentuk lain yang mendukung pribadi.

Sedangkan salah satu Teori Liberal Modern, adalah yang dikemukakan oleh TH Marshall dalam bukunya Citizenship and Social Class (1950), menurutnya kewarganegaraan diartikan sebagai status yang dianugerahkan bagi mereka sebagai anggota komunitas yang mencakup hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Jadi kewarganegaraan di dasarkan atas elemen hak dan berdasar ini terdapat bentuk kewarganegaraan sipil, kewarganegaraan politik dan kewarganegaraan sosial. Kewarganegaraan sosial muncul di abad 19, misal hak mendapat kesejahteraan dan keamanan. Hak sosial menjadi unsur yang penting  untuk menggerakan hak sipil dan politik bagi mereka yang dimarjinalkan dan dalam situasi yang tidak beruntung. Menurut dia hak merupakan hal yang penting dan ketiadaan hak menjadikan warganegara  tidak  dapat berperan aktif secara efektif. Baginya kewarganegaraan (hak) dapat memperbaiki konflik dalam kelas di masyarakat.

2. Teori Kewarganegaraan Komunitarian
a) Pengertian Teori Kewarganegaraan Komunitarian
Komunitarian adalah Teori Kewarganegaraan yang Menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal.

Teori kewarganegaraan Komunitarian sangat menekankan pada fakta bahwa setiap orang, warganegara perlu memiliki sejarah perkembangan masyarakat.  Individualitas yang dimiliki warganegara berasal dan dibatasi oleh masyarakat (Sapriya, 2007).  Hal itu berdasar keyakinan teori ini bahwa individu dibentuk oleh masyarakat.  Di masyarakat ada norma yang disepakati sebagai code of conduct yang harus dipenuhi anggota karena dengan cara inilah eksistensi dan keberlangsungan masyarakat terjamin.

Perspektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan yang mengakar pada masyarakat liberal (Ronald Beiner, 1995).  Dikatakan bahwa  Kommunitarian menekankan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan komunitas sebagai kesatuan dan bahwa individu terbentuk dari budaya dan nilai-nilai komunitas.

Ciri-ciri Utama Teori Kewarganegaraan ini adalah Individu dibentuk oleh masyarakat, karena di masyarakat terdapat sistem norma yang disepakati sebagai rule of conduct., Tindakan individu harus sesuai dengan batas-batas yang diterima masyarakat., Identitas dan stabilitas individu WN akan terbentuk dengan baik ketika didukung oleh masyarakat., Masyarakat merupakan hal sangat vital bagi adanya kewarganegaraan (tiada kewarganegaraan tanpa masyarakat).

b) Dasar Teori Kewarganegaraan Komunitarian
Teori kewarganegaraan komunitarian muncul dan berkembang pada abad-20 sebagai reaksi atas teori kewarganegaraan liberal.  Berbeda dengan liberalisme klasik, yang memahami bahwa komunitias berasal dari tindakan sukarela individu-individu dari masa pra-komunitas, komunitarianisme menekankan peranan komunitas dalam mendefinisikan dan membentuk individu.  Kaum komuitarian percaya bahwa nilai komunitas tidak cukup diakui dalam teori-teori liberal tentang keadilan.  Selain itu kemunculan teori ini berlandaskan pandangan bahwa identitas dan karakter pribadi tidak mungkin terbentuk tanpa dukungan lingkungan masyarakat.  Berbeda dengan teori kewarganegaraan liberal dimana masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan bebas individu, teori ini berpendapat justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai dan keyakinan-keyakinannya.

Komunitarian menekankan pentingnya komunitas dan nilai sosial bersama. Negara yang menganut teori kewarganegaraan ini dalam prakteknya memiliki Pokok-pokok ajaran  komunitarianisme  antara  lain,  adalah  sebagai berikut: 
- Komunitas adalah abtirer dalam kehidupan bersama
- Nilai-nilai sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama
- Nilai-nilai sosial tersebut pada gilirannya merupakan croos societal moral dialoge.
Adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara.

Dapat dikatakan bahwa Teori Kewarganegaraan ini termasuk sebagai keberanggotaan dalam suatu komunitas memberikan dimensi eksklusif bagi konsep mengenai warga.  Dalam perspektif ini, kewarganegaraan membentuk identitas dan ikatan khusus yang bersifat lebih tertutup dalam suatu kelompok tertentu yang mana itu semua dipengaruhi oleh etnis, sejarah dan kebudayaan yang sama.

Kaum komunitarian menolak negara netral. Mereka percaya bahwa negara netral seharusnya ditinggalkan demi ’politik kebaikan bersama’ (the politics of common good).Pembedaan antara ‘politik netralitas’ dan ’politik kebaikan bersama’ dari komunitarianisme ini dapat menyesatkan. Ada ’kebaikan bersama’ yang juga nampak dalam politik liberal, karena berbagai kebijaksanaan negara liberal ditujukan untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan berbagai anggota masyarakat. Proses-proses politik dan ekonomi yang dengan ini berbagai preferensi individu dipadukan dalam sebuah fungsi pilihan sosial merupakan cara kaum liberal menentukan kebaikan bersama. Karena itu, menegaskan netralitas negara bukanlah menolak gagasan tentang kebaikan bersama, melainkan memberikan sebuah interpretasi mengenainya. Dalam sebuah masyarakat liberal, kebaikan bersama merupakan hasil dari sebuah proses memadukan berbagai preferensi, yang semuanya dihitung secara sama (jika konsisten dengan prinsip-prinsip keadilan).

Semua preferensi memiliki bobot pengaruh yang sama ’bukan dalam arti bahwa terdapat sebuah ukuran yang disepakati publik atas nilai intrinsik yang membuat semua konsepsi ini menjadi sama, melainkan dalam arti bahwa berbagai preferensi itu sama sekali tidak dievaluasi dari sudut pandang publik. Seperti yang sudah kita saksikan, penegasan anti-perfeksionis pada netralitas negara ini mencerminkan kepercayaan bahwa kepentingan orang dalam membawakan sebuah kehidupan yang baik tidak meningkat ketika masyarakat melakukan diskriminasi terhadap proyek-proyek yang mereka percayai sebagai paling berharga bagi mereka. Maka, kebaikan bersama dalam sebuah masyarakat liberal diatur agar sesuai dengan pola berbagai preferensi dan konsepsi tentang kebaikan yang dipegang oleh individu.

Akan tetapi, dalam sebuah masyarakat komunitarian, kebaikan bersama diterima sebagai sebuah konsepsi mendasar tentang kehidupan yang baik yang menentukan ’pandangan hidup’ komunitas. Kebaikan bersama ini, alih-alih menyesuaikan dirinya sendiri pada pola preferensi orang, menyediakan ukuran untuk mengevaluasi berbagai preferensi itu. Pandangan hidup masyarakat membentuk dasar bagi tata jenjang (rangking) publik mengenai berbagai konsepsi tentang yang baik, dan bobot yang diberikan pada preferensi individu bergantung pada seberapa besar ia menyesuikan dengan dan memberikan sumbangan pada kebaikan bersama ini. Pencarian publik akan tujuan-tujuan yang dirasakan bersama yang menentukan pandangan hidup  komunitas, karena itu, tidak terhambat oleh persyaratan netralitas. Ia berada mendahului klaim individu-individu terhadap sumberdaya dan kebebasan diperlukan untuk mengejar konsepsi-konsepsi mereka sendiri akan kebaikan. Sebuah negara komunitarian dapat dan seharusnya mendorong orang untuk menerima konsepsi-konsepsi tentang kebaikan yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat, sementara mencegah berbagai konsepsi tentang kebaikan yang bertentangan dengan pandangan hidup komunitas ini. Sebuah negara komunitarian, karena itu, merupakan negara perfeksionis, karena melibatkan penjenjangan nilai publik  dari berbagai pandangan hidup yang berbeda. Namun, walaupun erfeksionis Marxis merangking pandangan hidup menurut  penilaian trans-historis atas kebaikan manusia, komunitarianism merangking pandangan hidup itu menurut kesesuaiannya dengan praktek-praktek yang ada.

3. Teori Kewarganegaraan Republikan
a) Pengertian Teori Kewarganegaraan Republikan
Kewarganegaraan republikan menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic bonds) suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan individual (tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian). Teori kewarganegaraan republikan baik yang klasik maupun yang humanis merupakan paham pemikiran kewarganegaraan yang berpendapat, bahwa bentuk ideal dari suatu negara didasarkan atas dua dukungan, yakni civic virtue wargannya dan pemerintahan yang republik karena ini  merupakan hak yang esensial, sehingga disebut civic republic. Jadi kewarganegaraan ini menekankan pentingnya kewajiban (duty), tanggun  jawab (responsibility) dan civic virtue (keutamaan kewarganegaraan) dari warganegaranya. Civic virtue dalam republic Romawi berarti kesediaan  mendahulukan kepentingan publik.

b) Dasar Teori Kewarganegaraan Republikan
Teori Kewarganegaraan Republikan berpendirian bahwa kebebasan individual hanya mungkin ada dalam suatu jaminan keamanan negara yang berada dibawah rule of law dan kebajikan warga negara (civic Virtues) untuk berpartisipasi didalamnya. Dari perspektif republikan, kewarganegaraan memiliki dimensi etis dan legal (hukum). Status Hukum warganegara akan berkaitan erat dengan kepemilikan privileges) yang memuat hak-hak dan kewajiban terhadap kepentingan publik. Kewarganegaraan republikan memerlukan komitmen aktif dalam urusan-urusan publik. (Dagger, 2002:147-149).

Teori ini berpendapat bahwa masyarakat sebagai komunitas politik adalah pusat kehidupan politik (sapriya, 2006). Kewarganegaraan republikan menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic bonds) suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan individual (tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian). Sementara kewarganegaraan liberal lebih menekankan pada hak (right), sedangkan kewarganegaraan republikan menekankan pada kewajiban (duty) warganegara.

Kewarganegaraan Republikan merupakan bentuk kewarganegaraan yang paling tua dari pada komunitarian, yang menyatakan pentingnya partisipasi warga dalam pengambilan keputusan di wilayah republik, bukan hanya sebagai hak dan kewajiban tetapi sebagai esensi dari adanya ikatan sipil. Ia menempatkan tanggung jawab sosial pada masyarakat daripada negara, percaya bahwa tradisi budaya bukan negara yang dapat menguatkan civil society. Dalam tradisi Yunani dan Romawi, masyarakat adalah negar itu sendiri sebagai lembaga publik. Warganegara akan mempunyai arti jika mereka terlibat dalam kehidupan publik, kehidupan politik atau kehidupan bernegara.

Teori kewarganegaraan republikan baik  yang klasik maupun yang humanis merupakan paham pemikiran kewarganegaraan yang berpendapat, bahwa bentuk ideal dari suatu negara didasarkan atas dua dukungan, yakni civic virtue wargannya dan pemerintahan yang republic karena ini merupakan hak yang esensial, sehingga disebut civic republic. Jadi kewarganegaraan ini menekankan pentingnya kewajiban (duty), tanggung jawab (responsibility) dan civic virtue (keutamaan kewarganegaraan) dari warganegaranya. Civic virtue dalam republik Romawi berarti kesediaan mendahulukan kepentingan publik. Warganegara yang baik menurut Republik Klasik (Teori  JJ  Rousseau) adalah yang mendahulukan kepentingan umum, jika ada warganegara yang mendahulukan kepentingan pribadinya diatas kepentingan umum (publik) berarti dia melakukan korupsi. Kepentingan umum (publik) itu diformulasikan melalui apa yang yang dinamakan general will/volonte generale (kehendak umum).

Negara yang ideal adalah negara yang warganya tidak mementingkan dirinya sendiri, negara yang diatur oleh general will/volonte generale. Di dalam kewarganegaraan republikan memiliki karakteristik etis demikian juga status legal/hukum. Warganegara dalam suatu republik tidak hanya dilindungi oleh hukum, tetapi juga tunduk pada hukum. Kewarganegaraan mempunyai dimensi etis yang dimunculkan dalam dua cara. Pertama, bahwa warganegara yang baik adalah yang memiliki semangat publik (public spirit), yaitu menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.

Kedua komitmen pada masalah publik yang dimanivestasikan sebagai suatu komitmen keterlibatan sipil. Warganegara yang baik akan mengambil tanggungjawab publik ketika muncul tanpa harus menunggu yang lainnya, bahkan ia akan mengambil bagian yang aktif didalam masalah publik. Warganegara republikan dapat mengambil bagian dengan berbagai bentuk dalam masalah publik maupun untuk kepentingan umum. Secara nyata dapat melalui pengorbanan/loyalitas warganegara, misalnya ikut serta dalam pembelaan negara (perang), membayar pajak serta mentaati hukum yang berlaku.

4. Teori Kewarganegaraan Demokrasi Radikal
a) Pengertian Teori Kewarganegaraan Demokrasi Radikal
- Kewarganegaraan itu  merupakan keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu (secara khususnya ialah negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara (sesuai dengan Pasal 26 UUD 1945).
- Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak. Karena perkataan demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos/cratein(pemerintahan). Maka, demokrasi itu secara harafiah berarti pemerintahan rakyat. Dan yang seperti dikemukakan oleh Abraham Lincoln, bahwa demokrasi itu adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.”
- Radikal itu merupakan pemikiran yang keras atau pemikiran yang sangat mendasar. Radikal bisa diorientasikan pada pemikiran, sudut pandang atau paham tertentu tanpa berpijak pada aturan yang berlaku di Negara Indonesia. Radikal itu juga hampir mengenai ke konsep keotoriteran karena sifatnya yang keras, terlalu kaku dan tidak ada toleransi terhadap orang lain sehingga tidak dapat menyesuaikan dengan kehidupan berdemokrasi saat ini.
Berdasarkan pengertian di atas, jelaslah bahwa konsep demokrasi dan radikal itu sangat berbenturan, apalagi jika dikaitkan dengan kewarganegaraan. Karena secara singkatnya, kewarganegaraan itu menitikberatkan pada konsep kewargaan, demokrasi itu menitikberatkan pada konsep kebebasan untuk kepentingan rakyat, sedangkan radikal itu lebih menitikberatkan pada konsep keras sehingga kemajuannya terhambat.

Secara teoritis, kewarganegaraan demokrasi radikal ini hanyalah merupakan pemahaman. Karena jika konsep radikal ini diterapkan dalam kehidupan berdemokrasi seperti sekarang ini, maka demokrasi yang ada akan kacau balau karena demokrasi tidak pernah sejalan dengan konsep radikal.

Secara teori, bisa saja konsep demokrasi dan konsep radikal digabungkan karena kita berbicara pada konsep teoritisnya. Namun, tidak begitu dengan prakteknya. Artinya, bahwa secara praktek, konsep demokrasi dan konsep radikal jelas tidak bisa digabungkan karena memang kedua konsep ini sungguh tidak sejalan dan sangat berbenturan.
Konsep demokrasi radikal ini memang banyak negara yang memahaminya (lebih kepada tokoh-tokoh politik dalam negara itu), namun bukan berarti konsep demokrasi radikal ini dianut oleh negara-negara itu (dalam hal penerapannya). Hanya saja konsep ini pernah terjadi di Indonesia sewaktu kepemimpinan Soeharto, dimana kita dapat melihat kepemimpinan Presiden Soeharto sangat cenderung ke arah otoriter dan keras.
Dalam chapter 11 Handbook of Citizenship oleh Claire Rasmussen and Michael Brown Studies dijelaskan bahwa teori demokrasi radikal ini ada untuk menghidupkan kembali teori politik. Dimana teori demokrasi radikal merupakan sebuah istilah yang diperoleh melalui kerja Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, mencoba untuk menghidupkan sentralitas kewarganegaraan, sebuah identitas yang dipercaya dapat melemahkan atau menghilangkan teori Liberal dan Marxis lewat membatasi hubungan politik dengan bidang negara atau ekonomi.

Untuk mengembangkan pentingnya kewagarnegaraan, demokrasi radikal menurut chapter 11 Handbook of Citizenship oleh Claire Rasmussen and Michael Brown Studies maju sebagai konsepsi demokrasi yang merupakan pandangan hidup, sebuah perjanjian yang berkesinambungan bukan untuk komunitas ataupun negara tetapi lebih kepada pemikiran mengenai politik sebagai sebuah tantangan yang tetap pada batasan politik itu sendiri. Jelaslah, bahwa fokus utama demokrasi radikal terlihat dalam batasan praktek memperjuangkan politik secara berkelanjutan. Dalam hal ini, kewarganegaraan dipahami sebagai perjuangan atau perebutan untuk memperluas daerah kekuasaan  politik dan berkemungkinan pula untuk dapat berdemokrasi.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Adapun beberapa teori-teori  kewarganegaraan ialah
1. Teori Kewaganegaraan liberal 
Teori ini berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Teori kewarganegaraan liberal menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak. Peter H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002) menyatakan bahwa pengaruh besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara sistematis melalui John Locke dan J.S Mill. 

2. Teori Kewarganegaraan komunitarian
Fokus utama komunitarianisme dalam kajian kewarganegaraan ialah peran serta warga negara dalam komunitas. Komunitarianisme bukanlah merupakan reaksi terhadap liberalism Klasik, namun kepada kewarganegaraan yang berdasarkan Dimensi sosial, kewarganegaraan (civic) dan politik dari komunitas Politik. Perspektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantaranya orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan teratomisasi oleh kecenderungan yang mengakar pada masyarakat liberal. Teori kewarganegaraan komunitarian sebagai reaksi dari teori kewarganegaraan liberal, kalau teori kewarganegaraan liberal yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan bebas individu, sedangkan teori ini berpendapat justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai  keyakinan-keyakinannya. Komunitarianisme menekankan pentingnya komunitas dan nilai sosial bersama.

3. Teori Kewarganegaraan Republikan
Kewarganegaraan republikan menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic bonds) suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan individual (tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian). Teori kewarganegaraan republikan baik yang klasik maupun yang humanis merupakan paham pemikiran kewarganegaraan yang berpendapat, bahwa bentuk ideal dari suatu negara didasarkan atas dua dukungan, yakni civic virtue wargannya dan pemerintahan yang republik karena ini  merupakan hak yang esensial, sehingga disebut civic republic. Jadi kewarganegaraan ini menekankan pentingnya kewajiban (duty), tanggun  jawab (responsibility) dan civic virtue (keutamaan kewarganegaraan) dari warganegaranya. Civic virtue dalam republic Romawi berarti kesediaan  mendahulukan kepentingan publik. 

4. Teori Kewarganegaraan demokrasi radikal
Teori demokrasi radikal, berusaha untuk menghidupkan kembali sentralitas kewarganegaraan: sebuah identitas diyakini enervated atau dihilangkan di liberal dan Marxis teori dengan membatasi hubungan politik dengan ranah negara atau perekonomian, akhirnya mengurangi kewarganegaraan untuk tidak efisien bendera melambaikan, radikal demokrasi berusaha mengedepankan konsepsi demokrasi sebagai jalan hidup, sebuah komitmen terus menerus untuk tidak komunitas atau negara tapi ke politik dipahami sebagai tantangan konstan untuk batas politik. Teori demokrasi radikal demokrasi untuk merangkul komitmen untuk kesetaraan dan partisipasi tetapi mencakup radikalisasi politik melalui komitmen untuk perubahan sosial yang konstan - dan tindakan seperti tampilan selimut melakukan mengubah keadaan.

Dengan demikian, dalam apa yang berikut radikal demokrasi ditempatkan baik dari segi nya dasar-dasar teoritis dan empiris melalui praktek. Untuk memahami kedua commonalties dan perbedaan antara radikal bentuk demokratis dan lainnya kewarganegaraan, kita menelusuri sejarah dari tahap awal di mana ia berusaha untuk mendefinisikan kembali kategori dari 'politik' untuk mendemokratisasikan kategori dari 'kewarganegaraan.'

B. SARAN
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan, penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, penulis memohon maaf dan harap pembaca untuk memaklumi hal tersebut. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
Sutoyo. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Winarno. (2015). “Dasar dan Konsep Pendidikan Kewarganegaraan Teori-Teori Kewarganegaraan”. Pemikiran Aristoteles Tentang Kewarganegaraan dan Konstitusi. HUMANIKA Vol. 21 No. 1 (2015) ISSN 1412-9418.
file:///F:/2.%20KULIAH/1.%20Mata%20Kuliah/SEMESTER%202/Dasar%20&%20Konsep%20PKn/Bab%205.%20Teori-Teori%20Kewarganegaraan/bahan/ipi364010_2.pdf
http://ahadhie.blogspot.co.id/2016/01/teori-kewarganegaraan-liberal-dan.html
http://riniismanan.blogspot.co.id/2015/11/teori-kewaganegaraan-liberal.html
http://wiwidariswoyo03.blogspot.co.id/2014/03/kewargaan-demokrasi-radikal.html



*Sumber: https://www.academia.edu/36350040/MAKALAH_TEORI_TEORI_KEWARGANEGARAAN


Tag : Lainnya, Pendidikan, PKn
0 Komentar untuk "Teori - Teori Kewarganegaraan"

Back To Top