Hutan Hujan Tropis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Hingga saat ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga saat ini -lepas dari tiga dekade kemudian- walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalisme semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan.

Di Indonesia, perhatian tentang lingkungan hidup telah muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah tentang lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama tentang lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia (Otto Soemarwoto, 2001: 1). Indonesia sendiri, dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung berbagai bencana. Bencana – bencana ini umumnya dikarenakan oleh ulah tangan manusia.

Kerusakan hutan hujan tropis termasuk ke dalam permasalahan lingkungan yang krusial. Lebih dari satu juta hektar hutan yang sebagian besar merupakan hutan tropis hancur setiap bulannya di dunia – setara dengan area hutan seluas satu lapangan sepakbola hancur setiap dua detik. Selain menyokong keanekaragaman hayati dan masyarakat yang bergantung pada hutan, hutan dan tanahnya menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar – hampir tiga ratus milyar ton karbon atau sekitar 40 kali jumlah emisi yang dilepaskan ke atmosfir.     
Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim. 

1.2 Rumusan Masalah
Untuk memahami betapa pentingnya anugerah dari Allah swt ini maka penulis menyusun makalah yang berjudul “Hutan Hujan Tropis”. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang karakteristik hutan hujan tropis, penyebab kerusakan dan dampaknya bagi kehidupan manusia serta bagaimana upaya konservasinya.

1.3 Tujuan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan informasi bagi penulis tentang urgensi pelestarian hutan hujan tropis sekaligus sebagai informasi tambahan dalam mata kuliah ilmu lingkungan dan ekologi.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik  dan Persebaran Hutan Hujan Tropis
Menurut Whitmore, istilah hutan hujan tropis mulai dipakai pada tahun 1898 dalam buku Plant Geography diperkenalkan oleh A. F. W. Schimper, dan istilah ini tetap dipakai sampai sekarang. Hutan hujan tropis merupakan hutan daun lebar yang selalu hijau dengan tingkat kerapatan pohon yang tinggi dan selalu basah atau lembap. Terdapat di wilayah tropis di sekitar garis khatulistiwa, di daerah 180 di sebelah atas khatulistiwa dan di daerah 180 di sebelah bawah khatulistiwa meliputi Amerika Selatan (Brasil, Peru, Bolivia, dll), Afrika (Tanzania, Kenya, dll) serta daerah Asia Pasific (Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea), Australia bagian utara.

Jumlah total area hutan Indonesia adalah 187,9 juta hektar. Jumlah ini menyusut menjadi 144 juta hektar pada akhir 1960. Pada tahun 1982 luas hutan Indonesia adalah 133.300.543,98 ha dan menyusut lagi menjadi 120,55 juta hektar di tahun 2005.

Ini mencakup kawasan suaka alam, hutan lindung, dan hutan produksi. Provinsi dengan luas hutan terbesar adalah gabungan provinsi Papua dan Papua Barat dengan 40,5 juta ha. Disusul oleh provinsi Kalimantan Tengah (15,3 juta ha), dan Kalimantan Timur (14,6 juta ha). Sedangkan provinsi di Indonesia dengan luas hutan tersempit adalah DKI Jakarta (475 ha). Data luas hutan Indonesia ini merupakan data SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan (Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2010; Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan; November 2010).  Berdasarkan literatur lain luas hutan hujan tropis Indonesia sekitar 109 juta hektar (WWF 2003), Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke-3 di dunia, setelah Brasil dan Kongo. Tapi dari luasan hutan yang tersisa itu, hampir setengahnya terdegradasi. Namun tak banyak yang menyadari bahwa kekayaan hutan Indonesia tidaklah sebatas kayu. Di dalamnya terdapat keanekaragaman flora fauna yang sangat bermanfaat, diantaranya bagi industri farmasi/kerajinan, pariwisata, dan ilmu pengetahuan. Disamping itu, hutan juga menjaga fungsi tata air, penyerap dan penyimpan karbondioksida, serta sumber air bagi kebutuhan makhluk hidup.

Hutan Hujan Tropis

Formasi hutan ini dikenal sebagai lowland equatorial evergreen rainforest, tropical lowland evergreen rainforest, atau secara ringkas disebut tropical rainforest. Hutan hujan tropika merupakan rumah untuk setengah spesies flora dan fauna di seluruh dunia. Hutan hujan tropis juga dijuluki sebagai "farmasi terbesar dunia" karena hampir 1/4 obat modern berasal dari tumbuhan di hutan hujan ini.

Hutan ini terdapat pada daerah-daerah yang suhunya tinggi sepanjang tahun, dengan curah hujan yang tinggi sekurang-kurangnya 1800-2000 mm per tahun dan tersebar merata. Pada hutan hujan tropis dicirikan dengan adanya tingkat kelembaban yang selalu tinggi, biasanya 80% atau lebih. Struktur hutan hujan tropis terdiri dari tajuk yang berlapis-lapis. Lapis tajuk yang paling atas terdiri dari pohon-pohon yang muncul di antara lapis tajuk di bawahnya (kedua) dengan tinggi antara 45 – 60 m. Pohon pada lapis teratas umumnya mempunyai tajuk yang kecil dan tidak teratur dengan sedikit susunan cabang. Lapis tajuk kedua merupakan kanopi utama yang umumnya terdiri dari jenis-jenis pohon yang ramping dengan tinggi antara 30-40 m. Lapisan tajuk di bawahnya terdiri dari jenis-jenis pohon yang sangat toleran, dengan batang yang ramping, tinggi dan tajuk yang kecil, terdapat banyak epifit pada cabang yang tinggi. Pada lantai hutan banyak terdapat jenis-jenis tumbuhan bawah seperti palem kecil, jenis-jenis bambu, rotan, paku-pakuan dan jenis-jenis lainnya, atau mungkin hampir tanpa tumbuhan bawah.

Hutan hujan tropis dikenal juga mempunyai tingkat keranekaragaman yang tinggi, banyak jenis yang belum diketahui dan mempunyai nilai komersil. Apabila terjadi penebangan maka permudaan secara alami oleh jenis-jenis yang berbeda dengan jenis-jenis penyusun hutan asli.

Degradasi dan Deforestasi Hutan Hujan Tropis
Sejak tahun 1970 penggundulan hutan mulai marak di Indonesia. Dalam jangka waktu hanya 1-2 dekade, sifat dari perusakan hutan tropis telah berubah. Tidak lagi didominasi oleh petani desa, kini penggundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui pengumpulan kayu, penambangan minyak, pengembangan minyak dan gas, pertanian skala bear, dan perkebunan pepohonan eksotis yang menjadi sebab-sebab paling sering dari hilangnya hutanSaat ini diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28%. Jika tidak segera dihentikan, maka hutan yang tersisa akan segera musnah.

Angka resmi Depertemen Kehutanan mencatat laju kerusakan hutan 2,8 juta hektar per tahun, dengan laju penurunan tertinggi terjadi di Sumatera, diikuti oleh Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gambaran sederhananya, dalam sehari, 51 km persegi hutan dihancurkan. Ini rekor tercepat dalam hal penghancuran hutan.

Menurut data State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO), angka deforestasi Indonesia 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Sedangkan Brazil dalam kurun waktu yang sama 3,1 juta hektar/tahun dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan totalIndonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasiIndonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0.6%.
Tingginya angka deforestasi ini, juga terlihat di Jambi, berdasarkan analisis peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi dan Birdlife Indonesia, dalam kurun 10 tahun Jambi kehilangan 1 juta hektar hutannya. penyebabnya ketidak mampuan aparat penegah hukum untuk mengegakkan aturan untuk menghentikan aksi-aksi destruktive logging. Padahal segala dampak nyata akibat kerusakan hutan telah dirasakan, banjir, kekeringan, erosi, longsor, sedimentasi dan sebagainya.

Dampak lainnya yang juga kini mengancam manusia akibat laju kerusakan hutan adalah berkembangnya berbagai virus yang mematikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Menurutnya perkembangan virus flu burung yang telah merenggut puluhan jiwa Orang Indonesia sejak dua tahun belakangan ini tidak lepas dari deforestasi yang tinggi di negeri ini.

Jumlah mikroba yang hidup di alam seimbang dengan ekosistemnya sehingga tidak sampai menyerang manusia. Manusialah yang merusak ekologi mikroba tersebut. Hasilnya, keseimbangan hidup mikroba pun berubah. Dan perubahan itu menyebabkan mikroba mengalami transformasi dalam kehidupannya. Mikroba transformatif itulah yang akhirnya menyerang manusia.

Flu burung merupakan penyakit yang menular lewat pernafasan. Berdasarkan penelitiannya di Cina, penyebab kedua penyakit tersebut adalah polusi udara dan penebangan hutan yang sewenang-wenang. Polusi udara di Cina saat ini sudah mencapai tahap yang sangat berbahaya. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan minimnya suplai oksigen (O2) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Seperti diketahui, suplai oksigen terbesar berasal dari hutan. Jika hutan itu rusak, maka suplai oksigen pun berkurang. Dampaknya luar biasa: mikroba akan tumbuh subur dan perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab, oksigen – yang bila terkena sinar ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon (O3) dan O nascend – adalah pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif.

Hilangnya hutan berkaitan erat juga dengan runtutan bencana yang terjadi. Kekeringan mata air, kabut asap, banjir dan longsor telah menyengsarakan masyarakat disertai dengan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Dari pembalakan liar saja negara dirugikan Rp. 30 triliun dengan total kayu curian 70 juta meter kubik per tahun. Pembalakan liar di hutan Indonesia memang sulit dikendalikan. Hal ini terkait dengan keterlibatan oknum instansi terkait seperti Departemen dan Dinas Kehutanan, Kepolisian, TNI, hakim dan jaksa. Pelaku yang dijerat masih pada level operator, sementara cukong-cukong besar bebas melenggang. Undang-undang dan Surat Keputusan yang mengatur Pengelolaan Hutan dan Tata Niaga Kayu belum sepenuhnya dapat menjerat pelaku di balik layar, terutama pemodal. Yang dijerat kebanyakan pelaku kelas teri seperti nahkoda kapal, supir truk atau penebang. Hukumannya pun ringan bahkan banyak yang divonis bebas. Berdasarkan data tahun 2005, kasus pene¬bangan liar di hutan konservasi berjumlah 276 kasus, namun hanya 15 kasus yang divonis. Keterlibatan oknum aparat dalam kegiatan kayu ilegal juga merambah sektor bisnis. Data dari Telapak Indonesia, 80% perusahaan kayu di Surabaya menampung kayu ilegal. Kabarnya, diantara perusahaan itu banyak yang dimodali Primkopad dan Primkopal.

Selain itu, pencurian kayu telah menjadi bagian dari jaringan sindikat internasional yang rapi dan solid. Vietnam, Malaysia, China, Hongkong dan Uni Eropa cenderung melegalkan perdagangan kayu ilegal dari hutan tropis. Sebagai contoh, di tahun 1999, Uni Eropa mengimpor 10 juta meter kubik kayu, dimana nyaris setengahnya berasal dari tiga negara – Indonesia, Brazil, dan Kamerun – yang disinyalir liar, senilai US$ 1,5 miliar per tahun. (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001). 

Dari negara anggota Uni Eropa, Inggris merupakan pengimpor kayu liar terbesar ( 1,6 juta meter di tahun 1999 ), 60 persen kayu yang diimpor ke Inggris merupakan kayu liar senilai US$ 200 juta. Pengimpor terbesar berikutnya adalah Perancis, Belgia, Jerman, dan Belanda. Konsumsi kayu Uni Eropa yang tak mengindahkan asal-usul kayu membuat mereka secara langsung ikut bertanggung jawab atas kerusakan hutan di negara-negara tropis. Sampai saat ini belum ada payung hukum yang melarang negara anggota Uni Eropa untuk mengkonsumsi kayu ilegal yang jauh lebih murah dari harga pasar internasional. Konsumsi kayu tropis Uni Eropa setara dengan penebangan hutan seluas 700 ribu hektar setiap tahunnya.(Lisa Suroso/SUARA BARU).

Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan tertanggal 4 Februari 2008, mengindikasikan bahwa akan banyak lagi kawasan hutan yang hanya akan tinggal nama. Secara sederhana, PP tersebut mengizinkan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan tambang, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol. Tarif sewanya tidak kira-kira, Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun.

Hutan seakan diobral untuk kepentingan pasar semata. Padahal jika dihitung-hitung, negara malah mengalami kerugian akibat kehilangan fungsi hutan lindung. Nominal sebesar Rp. 70 triliun per tahun lenyap dengan kerugian akibat hilangnya fungsi hutan lindung. Jika angka ini dibandingkan dengan potensi pajak yang masuk, maka akan memunculkan ketimpangan yang sungguh nyata. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya sebesar Rp. 2,78 triliun yang diperoleh melalui PP tersebut. Jadi, negara masih harus menanggung rugi akibat penyewaan hutan tersebut sekira lebih dari Rp. 60 triliun. Hal tersebut baru seputar kerugian nominal.

Kemudian, pembukaan tambang di hutan jelas akan menimbukan kerusakan permanen. Aktivitas pertambangan membuat sekira dua juta hektare lahan hutan Indonesia dalam kondisi kritis. Areal bekas tambang yang tidak diikuti usaha rehabilitasi akan menjadi lahan yang tidak produktif, kesuburan dan produktivitas akan terus menurun dan pada akhirnya sama sekali tidak produktif. Untuk itu, perlu peyelamatan lingkungan dari berbagai pihak, khususnya perusahaan tambang bersama masyarakat. Perusahaan yang melakukan usahanya di kawasan hutan harus dapat memulihkan kembali lahan yang mereka gunakan. Caranya bisa melalui penanaman pohon kembali dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem.

Pada dasarnya adanya pembalakan liar (illegal loging) adalah karena permintaan pasar (market demand). Artinya adalah bahwa ada semacam tuntutan pasar akan kebutuhan hasil hutan. Seperti diketahui bahwa manfaat dari kayu sangatlah banyak, sedangkan bahan produksi serba terbatas. Hal tersebut akan memicu perusahaan atau pihak-pihak yang bergulat dalam bidang pengelolaan hasil hutan untuk terus memproduksi tanpa berpikir bagaimana cara mendapatkan bahan untuk produksi. Pola seperti itu, jika terjadi terus menerus, pada akhirnya akan membentuk perilaku untuk membalak (illegal loging).
Harus proporsionalnya pembagian antara hutan sebagai komoditas pasar (Hutan Tanaman Industri) dengan hutan sebagai tempat hidup (HPH) adalah solusi pemecahannya. Jika porsinya tidak seimbang (hutan hanya dipandang sebagai pasar), maka keanekaragaman hayati atau bahkan kehidupan manusia akan gampang musnah. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor akan dating menghantui ketika bumi tidak lagi hijau. Selain itu, pembagian lahan untuk HTI dan HPH pun harus dilakukan dengan teliti. Pertimbangan aspek kebersihan, kesehatan lingkungan, serta kehidupan masyarakat setempat harus menjadi prioritas utamanya.

Selain itu juga, dilakukannya pembagian secara adil kawasan hutan tersebut adalah dalam upayanya mencoba membatasi illega lloging yang semakin marak akhir-akhir ini. Tak dapat dipungkiri, pembalakan liar kini bukan hanya dilakukan oleh para bandar besar, masyarakat kecil pun ikut latah terjun dalam mencuri hutan. Sekali lagi, hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya arti hutan bagi kehidupan. Untuk itu, perlu juga pemerintah memberikan kehidupan yang layak kepada rakyatnya. Jangan salah bahwa kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM juga dapat menjadi pemicu perilaku membalak. Sebagai contoh, masyarakat di Kalimantan Timur untuk memenuhi kebutuhan energinya sebagian warga terpaksa menggunakan kayu-kayu bekas atau tak jarang memotong pepohonan demi memenuhi energi untuk memasak (Tribun Kaltim, 2007). Tidak ada minyak, kayu pun jadi.

2. Upaya Konservasi Hutan Hujan Tropis
Kehidupan di bumi sebagai bagian dari keteraturan alam jagad raya dengan hukumnya yang ajeg. Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan kehidupan di bumi dengan segala keanekaragaman hayati, Tuhan menfasilitasi bumi ini dengan sirkulasi musim, hujan, gumpalan awan berarak dan angin secara apik (QS. al-Fathir: 9,27-28, Yasin: 33-34, Rum: 48, Qaf: 9). Semua itu hanyalah diperuntukkan bagi kenikmatan manusia di bumi. Namun harus diingat oleh manusia bahwa daya dukung alam juga ada batasnya. Karena itu manusia harus memperlakukan alam ini dengan baik dan benar. Hal ini menyangkut etika dengan lingkungan alam salah satunya. Bagaimana manusia membangun sikap proporsional ketika berhadapan dengan lingkungan. Sehingga lingkungan dapat terpelihara dan terjaga kelestariannya sepanjang generasi umat manusia. Kerusakan hutan itu bukan hanya tanggungjawab individu tetapi merupakan tanggungjawab kita bersama masyarakat, pengusaha, legislatif dan pemerintah. 

Menurut Prof.DR. Mujiyono Abdillah, MA Direktur LPER (Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, 2006), kerusakan hutan itu penyebabnya macama-macam, tapi satu diantaranya yang paling serius adalah karena masalah ekonomi. Ekonomi disini bisa jadi karena adanya faktor kemiskinan, jadi siapapun atau masyarakat bahwa merusak hutan itu karena terdesak oleh kondisi ekonomi yang miskin, istilah lainnya adalah merusak lingkungan itu karena faktor perut. Dalam keadaan darurat lebih penting lingkungannya atau lebih penting perutnya, kita tahu bahwa di Indonesia ini justru mayoritas masyarakatnya miskin jadi perusakan lingkungan ini bisa jadi karena faktor kemiskinan. Misalnya masyarakat petani yang memiliki lahan yang sangat terbatas otomatis mereka kemudian menggunakan lahan yang terbatas itu secara maksimal, kalau mereka tinggal di daerah pegunungan, maka hutan lindung yang mengitarinya bisa dipastikan dibabat habis untuk kepentingan lahan pertanian, tepian sungai yang seharusnya tidak boleh ditanami dengan tanaman-tanaman semusim, mereka terpaksa menggarap lahan-lahan tepi sungai itu. Maka solusinya dengan pemberdayaan ekonomi oleh pemerintah kepada mereka supaya tidak miskin dan tidak merusak lingkungan.

Salah satu masalah yang akut, khususnya menyangkut lingkungan hidup di Indonesia adalah ketidak-pastian hukum. Kenyataannya, sering orang mangadu tentang oknum pelaku pembalakan hutan baik melalui HPH aspal dan serupa, maupun para oknum bos pabrik yang memalsukan surat Amdal dan lainnya divonis bersalah oleh hukum “yang tidak pasti itu” dan dijebloskan ke dalam penjara. Sedang aktivitasnya bebas berkeliaran dan meneruskan pengrusakan lingkungan seenaknya. Jadi, kalau aparat penegak hukum masih bisa dibeli dengan uang receh hasil perusakan lingkungan semacam itu, maka jangan pernah bermimpi lingkungan hidup -terutama hutan tropis Indonesia yang menjadi paru-paru dunia, akan lestari.

Suatu keniscayaan, hukum itu harus mendapatkan supremasinya di Indonesia dan diperlakukan sama terhadap semua orang. Siapapun yang merusak lingkungan, misalnya, pelaku ilegal logging harus ditindak sesuai hukum secara adil, pasti dan transparan tanpa pertimbangan siapa, darimana, dan apa posisi sipelaku itu. Jika hukum tidak bisa ditegakkan, maka jangan pernah salahkan Tuhan kalau musibah demi musibah, bencana demi bencana akan menimpa kita. Karenanya bila bencana itu ditimpakan, tidak akan mengenal siapa yang bersalah telah merusak lingkungan (alam) atau siapa yang tidak. Tragedi banjir bandang Krueng Seuruwei, Aceh Tamiang (tahun 2006), di Bahorok (tahun 2001), di Aceh Tenggara, dan lainnya, begitu banyak menelan korban. Ironisnya rakyat kecil dan miskin terus menjadi tumbal. Padahal mereka tidak bersalah dan tidak menerima apa-apa dari exploitasi alam di sekitar mereka itu.

Bila ditelaah atas kenyataan alam tersebut, perlu adanya sanksi tegas bagi para perusak hutan berupa denda, hukuman (hukum perdata dan pidana) seperti dicambuk, dipermalukan di depan umum, dipenjara dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hutan hujan tropis merupakan nikmat dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang harus disyukuri. Kalau kita bersyukur maka Ia akan menambahkan nikmat-Nya namun jika kita tidak bersyukur maka Ia akan mengganti kenikmatan tersebut dengan malapetaka yang mengancam kehidupan kita di dunia ini. Kekayaan flora dan fauna serta barang tambang yang terkandung di dalamnya dikelola untuk kebutuhan masyarakat, bukan untuk kepentingan para pengusaha yang memperkaya dirinya sendiri apalagi untuk kepentingan asing. Betapa makmur dan sejahteranya rakyat di Indonesia jika kekayaan alamnya dapat dikelola dengan sebaik-baiknya. Hasil dari pengelolaan sumber hutan hujan tropis Indonesia akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, dan berbagai problematika masyarakat lainnya. Inilah esensi penciptaan alam yang sebenarnya, tercantum di dalam Kitab Suci Al Qur’an bahwa alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20). Kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi, mekanistik, dan materialistik diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic). Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini. Bagi para pelanggar diberika sanksi yang tegas.




DAFTAR PUSTAKA

http://alamendah.org/2011/01/05/luas-hutan-indonesia-di-tiap-provinsi/
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/fiqih-lingkungan/
http://basecamppetualang.blogspot.com/2013/03/papua-benteng-terakhir-hutan-tropis_11.html
http://klosetide.wordpress.com/2011/01/16/mengembalikan-potensi-hutan-negeri/
http://lisasuroso.wordpress.com/2007/12/04/hutan-hilang-bencana-datang/65/
http://ridhanu.wordpress.com/2010/08/02/foto-terbaru-hutan-tropis-indonesia/
http://syafieh.blogspot.com/2013/03/islam-dan-kelestarian-lingkungan-studi.html#ixzz3DD9wTcc8
http://www.greenpeace.org/seasia/id/Global/seasia/report/2010/4/hutan-tropis-indonesia-krisi-iklim.pdf
http://www.mongabay.co.id/2012/08/30/deforestasi-melambat-tapi-hutan-tropis-sumatera-kini-telanjur-musnah/
http://www.wwf.or.id/?10741/Deforestasi







*Sumber: https://www.academia.edu/8327154/Makalah_Hutan_Hujan_Tropis

Tag : Geografi, Lainnya
0 Komentar untuk "Hutan Hujan Tropis"

Back To Top