BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa disamping melalui organisasi politik, perjuangan ke arah kemerdekaan perlu dilakukan melalui jalur pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu muncul seorang tokoh muda Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ia bersama rekan-rekannya mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Di Indonesia, pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan telah menjadi citra tersendiri bagi sejarah pendidikan Indonesia. Ia adalah embrio model pendidikan klasik Indonesia yang dulu dipandang cocok dan ideal untuk mengembangkan dan mengaktualkan potensi-potensi generasi muda Indonesia (kognitif, afektif, psikomotorik, konatif) dan aspek-aspek personal lainnya seperti dimensi sosialitas dan spiritualitasnya. Refleksi dan evaluasi atas perkembangan pendidikan Indonesia,dengan segudang persoalannya dewasa ini, mestinya berangkat dari sana. Upaya demikian memang tidak mudah, sebab munculnya persoalan-persoalan pendidikan dewasa ini tidak terlepas dari kerangka upaya menanggapi tantangan zaman seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara tempo dulu. Tuntutan dunia pendidikan di Indonesia zaman sekarang juga lebih bervariasi daripada masa di mana Ki Hadjar Dewantara menggagas konsep pendidikannya yang boleh jadi memang sangat dibutuhkan pada zamannya kala itu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas pemakalah merumuskan masalah yaitu:
1. Bagaimana konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara?
2. Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh Ki Hajar Dewantara?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara lahir pada hari Kamis Legi tanggal 2 Puasa 1818 atau 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia adalah seorang pelopor Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Ibunya bernama R.A. Sandiah dan Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat,1 putra Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Hardjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III. Sri Paku Alam III sendiri menikahi Permaisurinya yang berasal dari kerabat Keraton Yogyakarta. Dengan demikian, Raden Mas Soewardi Surjaningrat (yang kelak berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara) tergolong berasal dari lingkungan kerabat kraton Yogyakarta juga. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, ia berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Sejak itu, ia tidak menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Ki Hadjar Dewantara menikah dengan R.A. Sutartinah, putri G.P.H. Sasraningrat, adik G.P.H. Surjaningrat (ayah Ki Hadjar). Dengan demikian, Ki Hadjar dan Nyi Hadjar adalah saudara sepupu. Baik Ki Hadjar maupun Nyi Hadjar, keduanya dianugerahi saudara yang banyak jumlahnya.
Ki Hadjar dan Nyi Hadjar dianugerahi enam orang putra-putri. Dua di antaranya lahir di tanah pengasingan, negeri Belanda. Nama yang diberikan kepada kedua anaknya adalah Asti Wandansari dan Subroto Ario Mataram (nama yang terakhir ini adalah pemberian Douwes Dekker). Empat orang lainnya, diantaranya terdapat seorang putri, adalah kelahiran Indonesia. Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1985 ), h. 49., 116
Kanjeng Gusti Hadipati Harjo Surjosasraningrat atau Sri Paku Alam III mempunyai tujuh orang putra, yakni:
1. K.P.H. Purwoseputro
2. B.R.M.H. Surjohudojo
3. K.P.H. Surjaningrat (ayah Ki Hadjar Dewantara)
4. B.R.M.H. Surjokusumo
5. B.R.Ayu Nototaruno
6. G.P.H. Sasraningrat(ayah Nyi Hadjar Dewantara)
7. G.B.R. Ayu Hadipati Paku Alam VI
Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat mempunyai sembilan orang anak, yakni:
1. R.M. Surjopranoto
2. R.M. Surjosisworo
3. R. Ayu Suwartijah Bintang
4. R. Ayu Suwardinah Surjopratiknjo
5. R.M. Suwardi (Ki Hadjar Dewantara)
6. R.M. Djoko Suwarto (K.R.T. Surjaningrat)
7. R.M. Suwarman Surjaningrat
8. R.M. Surtiman Surjodiputro
9. R.M. Harun Al Rasid
Gusti Pangeran Harjo Sasraningrat mempunyai 12 orang anak, yakni:
1. R.M. Prawiraningrat
2. R.M. Nataningrat Sutjipto
3. R.M. Suprapto
4. R. Ayu Martodirjo
5. R.M. Surojo Sasraningrat
6. R. Aj. Sutartinah (Nyi Hadjar Dewantara)
7. R. Aj. Sukapsilah
8. R.M. Sujatmo
9. R.M. Sudarto Sasraningrat
10. R. Aj. Sulastri – Sujadi Darmoseputro
11. R.M. Sancojo Sasraningrat
12. R. Aj. Sukirim Hardjodiningrat.
B. Pendidikan
Sejak kecil Ki Hadjar Dewantara sudah dididik dalam suasana religius dan dilatih untuk mendalami soal-soal kesasteraan dan kesenian Jawa. Sejak kecil pula dia dilatih untuk hidup sederhana. Keterbatasan materil yang dialami keluarganya, tidak menyurutkan semangat belajarnya. Meskipun ia hanya masuk ke Sekolah Dasar Belanda III (ELS), ia tetap bersemangat menuntut ilmu. Setelah Tamat Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar mengalami kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak hanya bingung karena masalah siapa yang membiayai sekolahnya, tapi juga kemana ia harus meneruskan sekolahnya. Maklum, keluarganya tidak cukup berada dibandingkan kerabat Pakualaman yang lain. Selain itu, ayah Ki Hadjar yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu alasan tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar memang sempat masuk sekolah guru di Yogyakarta, tapi tidak sampai tamat. Semasanya menempuh sekolah guru, datanglah tawaran sekolah (beasiswa) untuk menjadi dokter jawa dari dokter Wahidin Sudiro Husodo. Kala itu dokter Wahidin sengaja bertandang ke Pakualaman. Ia menanyakan siapa diantara putra-putra yang mau masuk sekolah dokter jawa. Kesempatan itu dengan segera diterima Ki Hadjar.
Ki Hadjar menempuh sekolah dokter jawa (STOVIA) selama kurang lebih lima tahun (1905-1910). Namun, ia tidak berhasil menamatkan sekolahnya lantaran sakit selama empat bulan. Selama sakit Ki Hadjar tentu tidak dapat belajar dengan baik sehingga ia tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswanya dicabut.
Keluarga Paku Alam termasuk maju dalam pendidikan. Seluruh putra-putra dalam lingkungan Pakualaman dikirim ke Sekolah Dasar Belanda I, kecuali Ki Hadja Dewantara. Ia dikirim ke Sekolah Dasar Belanda III. Hal itu bisa jadi berkaitan dengan kondisi ekonomi keluarganya yang memang kurang dibandingkan dengan keturunan Pakualaman yang lain mengingat kondisi hidup orang tuanya menderita sejak masa kecilnya.
Ia meninggalkan sekolahnya dengan terpaksa lantaran tidak mampu membiayainya. Kepandaiannya dalam bahasa Belanda mendorong Direktur Sekolahnya mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakatnya itu. Aktivitas Ki Hadjar setelah keluar dari sekolah Dokter Jawa, antara lain, terpancar dalam bidang jurnalisik, politik dan pendidikan. Dalam bidang jurnalistik, ia bergabung dengan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan- tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918.
Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman siswa (Perguruan Nasional Taman siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman siswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Setelah zaman kemerdekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
C. Pemikiran Tentang Pendidikan
Pendidikan adalah upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran (intelek), dan jasmani anak didik. Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Ki Hadjar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Manusia yang bermental dewasa mampu untuk konsisten menjadi pengabdi pada apa yang ia yakini benar dan adil.
Bagi Ki Hajar Dewantara, manusia yang bermental dewasa adalah manusia yang merdeka lahir dan batin, yaitu manusia yang mampu membina kehidupan pribadi yang selamat dan bahagia dan turut membina kehidupan masyarakat yang tertib dan damai. Gagasan ini kemudian dirumuskan dalam Panca Dharma, yang dijadikan dasar pendidikan Taman Siswa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini.
Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas. Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Dalam pemikiran ki hajar dewantara, metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi „kepala, hati dan panca indera‟ (educate the head, the heart, and the hand).
D. Tiga Fatwa Pendidikan
Pendidikan nasional menurut paham Ki Hadjar Dewantara, seperti yang diterapkannya dalam Taman Siswa, ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsa (kultur nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang bisa mengangkat derajat negara dan rakyat. Orientasi globalnya adalah agar rakyat Indonesia dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa-bangsa yang lain untuk kemuliaan manusia di seluruh dunia. Dalam rangka itu, Ki Hadjar Dewantara mengedepankan tiga ajaran tentang pendidikan (tiga fatwa), 14 yakni tetep, atep dan mantep, ngandel, kandel, kendel dan bandel, Neng, ning, nung dan nang.
Pertama, tetep, antep, bahwa pendidikan itu harus membentuk ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam prinsip hidup. Istilah tetep di sini dapat dimaknai dalam kerangka yang prinsipil, yakni memiliki ketetapan pikiran (untuk berkomitmen) yang selaras dengan nilai-nilai sosial. Pendidikan membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis dan memiliki ketetapan pikiran dalam khasanah nilai-nilai. Artinya, pikirannya tidak gampang terombang-ambingkan oleh tawaran-tawaran hidup yang tidak selaras dengan nilai-nilai. Istilah antep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk memiliki “kepercayaan diri” dan keuletan diri untuk maju terus dalam mengatasi segala tantangan kehidupan secara kesatria (bersahaja).
Dalam praksis kehidupan, orang yang antep adalah yang memiliki keteguhan hati ke arah kualitas dirisebagai manusia personal dan anggota komunitas sosial. Sementara istilah mantep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk berkanjang dalam kemajuan diri, memiliki orientasi yang jelas untuk menuju tujuan yang pasti, yakni kemerdekaan diri sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga dunia.Jadi, landasan operasinalpendidikan adalah upaya membentuk kualitas pribadi peserta didik sampai pada tingkat yang maksimal. Kira-kira begitulah makna interpretatif dari fatwa pertama Ki Hadjar tentang pendidikan (Tetep, antep dan mantep).
Kedua, ngandel, kandel, kendel dan bandel. Ngandel adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya “berpendirian tegak”. Pendidikan itu harus menghantar orang pada kondisi diri yang ngandel(berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak adalah yang berprinsip dalam hidup. Kendel adalah istilah yang menunjukkan keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang berani, berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah orang yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan, matang dan dewasa dalam menghadapi segala cobaan. Sementara istilah bandelmenunjukkan bahwa orang yang terdidik adalah yang “tahan uji”. Segala cobaan hidup dan dalam segala situasi hidup dihadapinya dengan sikap tawakal, tidak lekas ketakutan dan hilang nyali.
Ketiga, neng, ning, nung dan nang. Artinya bahwa pendidikan pada tataran terdalam bercorak religius. Pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan (neng), keheningan (ning), ketenangan(nang), dan renungan (nung). Dalam dan melalui pindidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin. Menurut Ki Hadjar, kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah mengalami kesucian pikiran, ketenangan batin dan hati.
Ketiga fatwa pendidikan Ki Hadjar di atas tetap penting sebab ia memiliki kandungan makna yang berkualitas kemanusiawian, suatu kualitas yang merupakan bagian mendasar dari idealisme pendidikan sejak masa Yunani klasik. Bila ketiga fatwa itu dikritis, ia tampak tetap memiliki relevansi untuk konteks pendidikan Indonesia kini terutama manakala penerapannya dimaksudkan untuk membangun jiwa kepemimpinan dalam diri anak-anak diIndonesia. Harapan ke depan mereka kelak mampu menjadi pemimpin Indonesia yang benar-benar “meng-Indonesia”. Artinya, menjadi pemimpin yang memiliki ketetapan pikiran dan batin, memiliki kepercayaan diri dan pendirian yang teguh, memiliki pikiran yang suci, batin yang tenang dan hati yang senang. Kondisi demikian menjadi jaminan ke arah terciptanya kepemimpinan yang memerdekakan kemanusiaan setiap pribadi di Indonesia secara utuh dan penuh.
E. Asas-asas Pendidikan
Tujuan ketiga ajaran (fatwa) pendidikan Ki Hadjar di atas berkaitan erat dengan upaya membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang manusiawi. Citra manusia manusiawi dalam konteks dan perspektif pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah kedewasaan, kearifan, dan kesehatan secara jasmani dan rohani.
Pendidikan terlaksana secara koheren dalam ranah kognitif, afektif, spiritual, sosial dan psikologis. Kedewasaan peserta didik dalam ranah-ranah tersebut merupakan jaminan bagi aspek psikomotoriknya, menjadi modal bagi peserta didik untuk siap menjalani kehidupan bermasyarakat secara bertanggungjawab. Terkait dengan upaya mengimplementasikan ketiga fatwa tentang pendidikan itu, Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan sebutan pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan).
Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan dapatlah kita pandang sebagai terapan operatif dari kelima asas tersebut. Berikut adalah penalaran atas kelima asas tersebut. Pertama, asas kodrat alam. Asas ini mengandung arti bahwa hakikat manusia adalah bagian dari alam semesta. Asas ini juga menegaskan bahwa setiap pribadi peserta didik di satu sisi tunduk pada hukum alam, tapi di sisi lain dikaruniai akal budi yang potensial baginya untuk mengelola kehidupannya.
Berdasarkan konsep asas kodrat alam ini, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pelaksanaan pendidikan berasaskan akal-pikiran manusia yang berkembang dan dapat dikembangkan. Secara kodrati, akal-pikiran manusia itu dapat berkembang. Namun, sesuai dengan kodrat alam juga akal pikiran manusia itu dapat dikembangkan melalui perencanaan yang disengaja sedemikian rupa sistematik. Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara disengaja itulah yang dipahami dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Sesuai dengan kodrat alam, pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir.
Kedua, asas kemerdekaan. Asas ini mengandung arti bahwa kehidupan hendaknya sarat dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam khasanah pemikiran Ki Hadjar Dewantara asas kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kebebasan yang bertanggungjawab sehingga menciptakan keselarasan dengan masyarakat. Asas ini bersandar pada keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi sebagai andalan dasar untuk menggapai kebebasan yang mengarah kepada “kemerdekaan”.
Pencapaian ke arah pribadi yang mredeka itu ditempuh melalui proses panjang yang disebut belajar. Proses ini berjenjang dari tingkat yang paling dasar sampai pada tingkat yang tertinggi. Namun, perhatian kita hendaknya jangan difokuskan pada tingkatan-tingkatannya semata, tapi juga pada proses kegiatan pendidikan yang memerdekakan peserta didik. Dalam pengertian itu, pendidikan berarti memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan dan keahlian profesional (wengaktus atau mewujud) yang diemban dan dihayatinya dengan penuh tanggungjawab. Oleh karena itu, praksis pendidikan harus “luas dan luwes”. Luas berarti memberikan kesempatan yang selebar-lebarnya kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya seoptimal mungkin, sementara luwes berarti tidak kaku dalam pelaksanaan metode dan strategi pendidikan.
Ketiga, asas kebudayaan. Asas ini bersandar pada keyakinan kodrati bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami dinamika evolutif dalam khasanah pembentukan diri menjadi pribadi yang berbudi pekerti. Dalam konteks itu pula, pendidikan perlu dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai budaya sebab kebudayaan merupakan ciri khas manusia. Kebudayaan berasal dari bahasa latin Culture yang berarti “mengusahakan”, mengusahakan untuk mendapatkan kemajuan kehidupan. 16Inti dari kebudayaan adalah manusia. Dengan kata lain kebudayaan adalah khas insani. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya. Pendidikan dan Kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan, begitu juga praksis pendidikan tidaklah stagnan, melainkan selalu berkembang dengan lingkup kebudayaan. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis globalisasi maka tugas tersebut menjadi tugas pembangunan kebudayaan kita.
Bagi Ki Hadjar, kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran yang statis. Kemanusiaan merupakan suatu konsep yang dinamis, evolutif, organis. Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara memahami kebudayaan selain sebagai buah budi manusia, juga sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Namun selaras dengan keyakinan atas manusia sebagai makhluk dinamis, kebudayaan juga demikian. Kebudayaan selalu berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan hidup manusia. Maka, menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan itu tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus-menerus berganti- ganti wujudnya; ini disebabkan karena berganti-gantinya alam dan zaman. Kebudayaan yang dalam zaman lampau menggampangkan dan menguntungkan hidup, boleh jadi dalam zaman sekarang menyukarkan dan merugikan hidup kita. Itulah sebabnya kita harus senantiasa menyesuaikan kebudayaan kita dengan tuntutan alam dan zaman baru. Ditopang oleh pemikiran mengenai kebudayaan sebagai perkembangan kemanusiaan itu, maka Ki Hadjar Dewantara melihat secara jernih posisinya kebudayaan bangsa Indonesia di tengah-tengah kebudayaan bangsa bangsa lain di dunia ini, yakni sebagai penunjuk arah dan pedoman untuk mencapai keharmonisan sosial di Indonesia. Pemikiran Ki Hadjar mengenai kebudayaan ini kemudian secara konstitusional dimaktubkan dalam Pasal 32 UUD 1945. Dalam konteks itu pula, asas ini menekankan perlunya memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional.
Keempat, asas kebangsaan. Asas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang amat fundamental sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan. Asas ini hendak menegaskan bahwa seseorang harus merasa satu dengan bangsanya dan di dalam rasa kesatuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Dalam konteks itu pula, asas ini diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan atau pun keagamaan. Bagi Ki Hadjar kebangsaan tidaklah mempunyai konotasi, rasial biologis, status sosial ataupun keagamaan. Rasa kebangsaan adalah sebagaian dari rasa kebatinan kita manusia, yang hidup dalam jiwa kita dengan disengaja. Asal mulanya rasa kebangsaan itu timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan kita, lalu menjalar menjadi Rasa Keluarga; Rasa ini terus jadi Rasa Hidup bersama (rasa sosial). Wujudnya rasa kebangsaan itu umumnya ialah dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan kepentingan diri sendiri; kehormatan bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah seterusnya.
Kelima, asas kemanusiaan. Asas ini hendak menegaskan pentingnya persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Dalam konteks Ki Hadjar sebagai tokoh di Indonesia, asas ini hendak menegaskan bahwa manusia di Indonesia tidak boleh bermusuhan dengan bangsa-bangsa lain. Manusia di Indonesia hendaknya menampilkan diri sebagai makhluk bermartabat luhur dan berdasarkan kesadaran itu pula ia berani menjalin dan memperlakukan sesama manusia dari bangsa mana pun dalam rasa cinta kasih yang mendalam. Maka asas ini boleh dipandang sebagai asas yang radikal, dalam arti konsep kemanusiaan itu merupakan akar yang menjadi titik temu asasi yang mendamaikan hidup, kehidupan maupun penghidupan umat manusia yang telah menjadi kompleks, multiplikatif, dan sarat dengan permasalahan. Manusia merupakan suatu sifat dasar, kodrat alam, yang diciptakan oleh Tuhan, dan berevolusi disepanjang keadaan alam dan zaman, yang terungkap di dalam sifat, bentuk, isi dan irama yang berubah-ubah. Dari manusia inilah tumbuh dan berkembang kebudayaan, terutama karena manusia itu adalah makhluk yang istimewa, yaitu makhluk yang memiliki akal budi. Apa yang dinamakan adab kemanusiaan di dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara merupakan acuan yang amat mendasar, dalam pengertian bahwa apa pun yang dikembangkan oleh manusia dalam bidang apa pun juga harus selalu sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
F. Semboyan Dan Metode
Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di barat, dia tidak mau menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan ketertiban yang bersifat paksaan. Pendidikan model ini, menurut Ki Hadjar Dewantara, merupakan upaya sistematik dalam perkosaan terhadap kehidupan batin anak-anak. Hal itu jelas berbahaya bagi perkembangan budi pekerti anak- anak sebab pendidikan demikian tidak membangun budi pekerti anak-anak, melainkan merusaknya. Menurut Ki Hadjar, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki “kepribadian”. Paksaan dan hukuman dalam proses pendidikan yang kadangkala tidak setimpal dengan kesalahan anak didik bukannya memperkuat mentalitas anak-anak, melainkan memperlemahnya di kemudian hari. Anak tidak menjadi pribadi yang mandiri, tidak memiliki inisiatif, tidak kreatif. Dalam kehidupan nyata ia tidak dapat bekerja kalau tidak dipaksa dan diperintah. Jadi, produk pendidikan barat, di hadapan Ki Hadjar Dewantara, adalah manusia-manusia pasif yang dangkal kesadarannya untuk berkreasi secara mandiri.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. 20 Nilai-nilai itu disemai dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu, pendidik menempatkan peserta didik sebagai subyek, bukan obyek pendidikan. Artinya, peserta didik diberi ruang yang seluasnya untuk melakukan eksplorasi potensi-potensi dirinya dan kemudian berekspresi secara kreatif, mandiri dan bertanggungjawab. Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional itu, Ki Hadjar Dewantara yakin pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai Indonesia juga. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni:
Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ide-idemereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arahyang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.
Senada dengan semboyan pendidikan di atas adalah metode pendidikan yang dikembangkan, yang sepadan dengan makna “paedagogik”, yakni Momong, Among dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai. Praksis pendidikan dalam perspektif ini memang mementingkan ketertiban, tapi pelaksanaannya bertolak dari upaya membangun kesadaran, bukan berdasarkan paksaan yang bersifat “hukuman”. Maka, pembagian usia 0-7, 7-14, dan 14-21 dalam proses pendidikan yang digagas Ki HadjarDewantara bukan tanpa landasanpedagogik. Pembagian demikian berdasarkan fase-fasedimana masing-masing menuntut peran pendidikdengan isi dan nilai yang berbeda-beda.Metode Ngemong, Momong, Among dan semboyan Ing ngarso sung tulodho, Ing Madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani bukan berasal dari sebuah pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terpisah. Pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun isi(kognisi)namun juga pekerti (afeksi) anak-anak Indonesia, yang tentunnya diharapkan “meng-Indonesia”agar mereka kelak mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang “meng-Indonesia” (memiliki kekhasan Indonesia).
G. Karya-karya
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini.
Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak muda menjadi penulis dan wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni ‟‟Pendidikan dan Pengajaran Nasional‟‟ yang disampaikan sebagai prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, hubungan dan penghargaan kita. Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas manusia dan bangsa.
Manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki kekuatan batin dan berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra manusia di Indonesia menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Dalam tataran praksis kehidupan, manusia di Indonesia menyadari tanggung jawabnya untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspersi kebenaran itu terpancarkan secara indah dalam dan melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap lingkungan alam, dirinya sendiri dan sesamanya manusia. Jadi, budi pekerti adalah istilah yang memayungi perkataan, sikap dan tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Maksud dari kontek diatas yang hendak ditekankan Ki Hadjar Dewantara adalah bahwa aktivitas pengajaran itu berupa tindakan informatif tetapi sekaligus formatif. Pada tataran informatif pengajaran adalah aktivitas membangun otonomi intelektual secara disengaja, yang dampaknya adalah mencerdaskan kognisi seseorang sehingga ia terbebaskan dari belenggu “kebodohan” kognisi. Sementara pada tataran formatif, ia membangun otonomi eksistensial dalam arti membangun kesadaran akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat luhur.
Kita dapat menangkap pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan, yakni upaya konkret untuk memerdekakan manusia secara utuh dan penuh.
Baginya, pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan lahiriah dan batiniah manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai anggota masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian, pendidikan menjadi wadah untuk membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial. Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di Indonesia mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual, social sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.
Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di barat, dia tidak mau menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan ketertiban yang bersifat paksaan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni : Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ide- ide mereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.
Senada dengan semboyan pendidikan maka metode pendidikan yang dikembangkan, yang sepadan dengan makna “paedagogik”, yakni Momong, Among dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai. Ki Hadjar Dewantara bukan tanpa landasan. Berikut Pembagian demikian berdasarkan fasefase di mana masing-masing menuntut peran pendidik dengan isi dan nilai yang berbeda-beda. Metode Ngemong, Momong, Among dan semboyan Ing ngarso sung tulodho, Ing Madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani.
Pendidikan berdasarkan metode Ki Hadjar Dewantara menempatkan guru sebagai pengasuh yang matang dalam penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai kultural yang khas Indonesia. Maka pendidikan pada dasarnya adalah proses mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang dalam potensi-potensi diri. Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan, tapi memberi pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sosialnya. Guru boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh menurut kodratnya.
Melalui konsep, asas-asas, fatwa, semboyan dan metode pendidikan yang kontennya adalah “meng-Indonesia” di atas, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa rakyat yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya akan menjadi kenyataan di Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang anak manusia hidup dalam kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi hidup mandiri, memiliki kebebasan dan hak-hak dasar yang patut dihargai. Artinya, lahirnya tiada diperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, tidaklah berlebihan kalau Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai pejuang kemanusiaan diIndonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia dengan konsep, landasan, semboyan dan metode yang menampilkan kekhasan kultural Indonesia. Semuanya itu dilakukannya demi mewujudkan idealisme terdalamnya, yakni membangun kesadaran manusia di Indonesia akan hak-haknya. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai- nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid- murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).
B. Saran
Dalam sistem pendidikan di Indonesia masih banyak yang harus di perbaiki termasuk pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Salah satunya yakni pendidikan di Indonesia sudah mulai melenceng dari kebudayaan dan karakter bangsa Indonesia. Sistem pendidikan Indonesia harus kembali ke sistem pendidikan pada masa Ki Hadjar Dewantara. Dimana tujuannya untuk membentuk pemimpin yang “meng- indonesia”.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. 1988. Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset.
Dewantara, K.H. 2004. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Cet .ke-3, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Dewantara, K.H. 1994. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan, Cet.ke-2, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, K.H. 1962. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa
Jalaludin, H. Abdullah. 2012. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Muslich Mansur. 2015. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Nata, Abuddin. 2003. Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rahardjo, S. 2009. Ki Hadjar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959, Yogyakarta: Garasi
Sumaatmadja, Nursid. 2002. Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung: ALFABETA.
Peranginangin, M dkk. 2007. Buku Pintar Pahlawan Nasional, Batam: Scientific Press.
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tilaar, H.A.R. 2002. Pendididkan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.
*Sumber: https://www.academia.edu/35555337/MAKALAH_SEJARAH_PEMIKIRAN
0 Komentar untuk "Sejarah Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara"