Program Legislasi RUU Tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal

BAB I
PENDHAULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia modern, transaksi keuangan berkembang sangat pesat seiring dengan perubahan perdagangan dunia yang semakin mengglobal. Perkembangan transaksi keuangan tersebut terjadi, baik pada transaksi keuangan tunai maupun non tunai. Pada prinsipnya, terjadinya transaksi non tunai bertujuan untuk meminimalisasi resiko, mempermudah komunikasi atau melanggengkan hubungan bisnis antar para pihak yang telah terjalin cukup baik dan berlangsung lama.

Transaksi keuangan non tunai, yang biasanya dilakukan melalui lembaga keuangan seperti perbankan, membuat transaksi lebih cepat, mengurangi penggunaan uang kartal, dan memudahkan pelacakan kembali atas suatu transaksi untuk memperoleh akurasinya.
Dalam prakteknya, masyarakat Indonesia kerap menggunakan lembaga keuangan dalam transaksi perdagangannya, sebagai contoh penggunaan kartu kredit, anjungan tunai mandiri dan lainnya. Transaksi-transaksi perusahaan dalam jumlah besar atau banyak juga cenderung dilakukan melalui lembaga keuangan.

Mengingat manfaat transaksi keuangan non tunai sebagaimana dijelaskan di atas, utamanya dari segi keamanan transaksi sudah saatnya Indonesia menggalakkan penggunaan transaksi keuangan non tunai dalam perekonomiannya. Pengaturan mengenai transaksi melalui lembaga keuangan diperlukan untuk kepentingan kelancaran transaksi.

Selain manfaat yang bersifat ekonomis sebagaimana dijelaskan di atas, penggunaan transaksi keuangan non tunai melalui lembaga keuangan tersebut juga bermanfaat untuk membatasi transaksi tunai yang sering disalahgunakan oleh pelaku tindak pidana sebagai sarana pencucian uang (money laundering). Para pelaku tindak pidana, misalnya pelaku korupsi, penyalahgunaan narkoba, terorisme dan bisnis illegal lainnya, berupaya menghindari melakukan transaksi melalui lembaga keuangan karena kemudahan pelacakan kembali transaksi yang mereka lakukan. Perilaku tersebut disebabkan sifat dari pelaku tindak pidana yang tidak ingin diketahui tindak kejahatannya dan juga transaksinya. Hal ini dapat dideteksi dengan melihat trend peningkatan penggunaan transaksi tunai yang antara lain dilakukan dengan maksud untuk menyulitkan upaya penafsiran/pelacakan asal usul sumber dana, terutama dana-dana yang diduga berasal dari tindak pidana dan juga bertujuan untuk memutus palacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).

Kasus–kasus tindak pidana di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi banyak menggunakan transaksi keuangan tunai. Penggunaan transaksi tunai dalam kasus-kasus korupsi tersebut menjadi kendala baru bagi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melakukan pelacakan kembali aliran dananya dan membuat penyidik sulit menelusuri kembali transaksi tersebut karena tidak tercatat dalam sistem keuangan. Terungkapnya beberapa kasus korupsi dan kasus terorisme yang diduga dibiayai dari pihak dalam maupun luar negeri, menimbulkan kecurigaan bahwa kasus-kasus tersebut dilakukan dengan transaksi tunai dan tidak melalui sistem keuangan yang ada sehingga tidak terlacak.

Berdasarkan paparan di atas, muncul wacana pembatasan transaksi tunai. Meningkatnya penggunaan transaksi tunai dari tahun ke tahun menimbulkan dugaan bahwa pihak-pihak yang melakukan transaksi mencurigakan menggunakan sarana transaksi tunai untuk menghindari terlacaknya kegiatan yang dilakukan. Hasil analisis Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan PPATK mengindikasikan bahwa sumber dari transaksi mencurigakan itu terutama berasal dari transaksi Korupsi. Selain merupakan porsi paling besar, jumlahnya pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari 4.050 jumlah kumulatif kasus tindak pidana berdasarkan Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan (LTKM), 1.771 kasus di antaranya diindikasikan sebagai kasus korupsi, dengan jumlah yang meningkat pesat dari 144 kasus di tahun 2008 menjadi 493 kasus di tahun 2011. Selain jumlah transaksi yang meningkat jumlah pembawaan uang tunai yang keluar ataupun masuk ke Indonesia ternyata meningkat pula dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan ke PPATK, pembawaan uang tunai melebihi jumlah Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau setara, paling banyak terjadi di Jakarta yang diikuti dengan Batam.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai institusi yang mempunyai tugas menganalisis transaksi keuangan mengusulkan transaksi tunai dibatasi sampai jumlah tertentu. Pembatasan ini diperlukan agar upaya penyuapan yang mengarah pada tindak pidana khususnya korupsi dapat dicegah lebih dini, dapat mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam bertransaksi. Selain itu, aturan mengenai pembatasan transaksi tunai akan memberikan manfaat untuk Pemerintah, antara lain menghemat jumlah uang yang harus dicetak, menghemat bahan baku uang, menghemat biaya penyimpanan (fisik) uang di Bank Indonesia, mengurangi peredaran uang palsu, mendidik dan mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan dalam bertransaksi.

Pembatasan transaksi keuangan dalam jumlah tertentu sebenarnya bukan ketentuan yang sama sekali baru di Indonesia. Hal ini karena Indonesia pernah memiliki Undang-Undang No.18 Tahun 1946 tentang Kewajiban menyimpan Uang Dalam Bank. Esensi Undang-Undang tersebut adalah mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank.

Dengan demikian, pengaturan dalam undang-undang tersebut jelas memiliki kesesuaian dengan upaya membatasi transaksi tunai. Apabila ditinjau secara internasional, ketentuan untuk membatasi transaksi keuangan tunai juga terdapat di Negara-negara tertentu misalnya Prancis, Belgia dan Brazil. Di negara-negara tersebut, aturan pembatasan transaksi keuangan tunai digunakan sebagai salah satu sarana untuk menekan tingkat korupsi.

Berdasarkan uraian tersebut, sudah saatnya Pemerintah melakukan pembatasan transaksi keuangan tunai untuk mendorong masyarakat bertransaksi secara modern dan sekaligus untuk meminimalisasi tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Hal ini karena peraturan perundang-undangan yang ada saat belum mencakup upaya pencegahan tindak pidana melalui pembatasan transaksi tunai.

PPATK berharap ketentuan mengenai pembatasan transaksi tunai ini dapat tertuang dalam bentuk undang-undang. Alasannya adalah karena pembatasan transaksi tunai berkaitan dengan kepentingan banyak pihak, menyentuh kehidupan masyarakat, dan terkait dengan pembatasan hak setiap individu dalam kehidupan keperdataannya. Oleh karena itu, perlu disusun naskah akademik sebagai justifikasi ilmiah atau akademis pentingnya pengaturan tentang pembatasan transaksi keuangan tunai. Naskah akademik dalam proses penyusunan RUU merupakan potret ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan perundang-undangan yang hendak diterbitkan. Dari potret itu dapat ditentukan apakah peraturan tersebut akan melembagakan apa yang telah ada dan berjalan di masyarakat (formalizing) atau membuat aturan yang bertentangan sehingga dapat mengubah masyarakat (law as a tool for social engineering).

Pada Tahun Anggaran 2013 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI memandang perlu menyusun naskah akademik RUU tentang Transaksi Tunai karena telah dilakukan kajian atau penelitian cukup mendalam. Naskah Akademik ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur mengenai pembatasan transaksi keuangan (secara) tunai.

B. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang ingin dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan filosofis, sosiologis dan yuridis mengenai perlunya pengaturan pembatasan transaksi keuangan tunai?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan bersifat mendasar bagi pengambil kebijakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan Negara atau masyarakat yang memerlukan peraturan perundang-undangan. Landasan filosofis sangat penting guna mencegah terjadinya pertentangan antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan disusun dengan filsafat dan tujuan hidup bernegara sebagaimana dijabarkan dalam mukadimah atau pembukaan Konstitusi. Landasan filosofis peraturan perundang-undangan juga harus bersinergi dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat. Adanya landasan filosofis diharapkan dapat mencegah sedini mungkin suatu produk hukum khususnya undang-undang dari kemungkinan ”yudicial review” di Mahkamah Konstitusi, yang bertugas sebagai penjaga konstitusi (Constitutional Guard).

Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara, pada alenia ke IV-nya mengamanatkan bahwa pembentukan Pemerintahan Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, maka setiap undang-undang sebagai penjabaran lebih lanjut harus mencerminkan semangat untuk mewujudkan amanat tersebut. Pencapaian tujuan negara tersebut dilakukan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memerlukan kondisi yang mendukung aktivitas produktif masyarakat yang salah satunya diwujudkan dengan mendorong pejabat dan masyarakat melakukan kegiatan ekonomi yang efisien dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam melakukan transaksi, khususnya dibidang keuangan.

Program Legislasi RUU Tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal

Perkonomian moderen menghendaki transaksi keuangan dilakukan secara cepat, tepat dan dapat tercatat dalam sistem keuangan. Pemanfaatan  ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang perbankan sangat mendukung hal tersebut. Transaksi keuangan tunai kurang memenuhi persyaratan untuk memenuhi kriteria tersebut. Transaksi tunai yang selama ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat cenderung sangat riskan dari kemungkinan sebagai korban tindak kriminal karena membawa uang dalam jumlah besar. Transaksi tunai juga menyebabkan tingginya biaya pencetakan mata uang dan cenderung dapat disalahgunakan oleh pelaku tindak pidana sebagai sarana pencucian uang.

Dengan demikian sudah saatnya masyarakat Indonesia diarahkan agar beralih dari transaksi secara tunai kepada transaksi secara non tunai karena lebih efisien. Oleh karena itu sudah waktunya masyarakat didorong melakukan transaksi bisnis secara non tunai agar lebih efisien.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki pertumbuhan cukup baik dalam suasana perekonomian dunia yang masih belum stabil. Pembatasan transaksi tunai dan non tunai masih relative seimbang, sehingga upaya mengarahkan keseimbangan menjadi transaksi melalui sistem perbankan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan resistensi dari asyarakat yang justru dapat mengganggu perkembangan ekonomi nasional.

Momentum tersebut harus dijaga karena berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Negara harus berusaha memberikan perlindungan kepada rakyat agar pertumbuhan ekonomi yang cukup baik mampu berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Permasalahan yang menyebabkan terkuranginya kesejahteraan masyarakat harus diminimalisasi antara lain penyalahgunaan uang tunai untuk menutupi hasil tindak pidana, karena tidak mudah dilakukan pelacakannya. Upaya pencucian uang hasil kejahatan, antara lain korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan kegiatan illegal lainnya, selama ini banyak dilakukan dengan menggunakan transaksi tunai. Oleh karena itu pembatasan transaksi tunai yang bertujuan untuk merekayasa masyarakat agar dapat bertransaksi lebih efisien dan modern serta meminimalisasi penggunaan transaksi tunai dalam pencucian uang hasil tindak pidana dapat dibenarkan karena bertujuan melindungi masyarakat, sehingga tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

B. Pandangan Sosiologis
Landasan sosiologis ialah mengkaji realitas masyarakat yang meliputi aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, kebiasaan dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Kajian sosiologis bertujuan menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar sosialnya di masyarakat. Kecenderungan peraturan perundang-undangan setelah diundangkan kemudian ditolak oleh masyarakat dan tidak dapat diimplementasikan, merupakan cerminan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tidak memiliki akar sosial yang kuat.

Dengan demikian dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan tidak boleh dilakukan secara pragmatis semata atau bersifat reaktif dengan langsung menuju pada penyusunan pasal demi pasal tanpa kajian atau penelitian yang mendalam. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk tanpa pengkajian teoritis dan sosiologis yang mendalam akan cenderung mewakili kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu saja. Kajian sosiologis diharapkan dapat membantu ketika suatu ketentuan baru diterapkan di dalam masyarakat tidak terjadi penolakan-penolakan atau sulit diimplementasikan.

Adanya UU pembatasan transaksi keuangan tunai sangat didukung oleh sebagian besar masyarakat, yang menghendaki kepastian hukum. Masyarakat bisnis dengan transaksi keuangan cukup besar dan sering (intensif cash business) tidak akan terganggu dengan ketentuan pembatasan tersebut, sehingga dapat dikecualikan.

Oleh karena itu diperlukan adanya kesiapan infrastruktur yang semakin memudahkan masyarakat dalam transaksi non tunai. Insentif agar masyarakat mau beralih dari kecenderungan transaksi tunai menuju transaksi melalui sistem keuangan yang tercatat harus dilakukan secara terus menerus sebelum dan sesudah ketentuan pembatasan transaksi tunai diberlakukan.

C. Pandangan Yuridis
Landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis terdiri dari landasan yuridis formil dan landasan yuridis materiil. Landasan yuridis formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain yang memberi kewenangan bagi suatu lembaga/instansi untuk membuat aturan hukum tertentu, sedangkan landasan yuridis materiil yaitu dasar hukum yang mengatur permasalahan (obyek) yang akan diatur. Adanya landasan yuridis menjadi sangat penting untuk memberikan arah pengaturan dari suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Di samping itu landasan yuridis dimaksudkan untuk mencegah terjadinya peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sejajar dan menghindari terjadinya ketidakharmonisan dan inkonsistensi antara suatu peraturan dengan peraturan lainnya yang terkait. Ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan akan mengurangi efektivitas peraturan perundang undangan yang bersangkutan dan akan menyulitkan implementasinya di lapangan.

Transaksi pada dasarnya adalah suatu kegiatan privat yang diatur melalui hukum perdata, kegiatan transaksi baik tunai maupun non-tunai adalah kegiatan yang dilandasi oleh hak-hak keperdataan seseorang menyangkut dengan benda (uang) yang merupakan hak milik (eigendom) dari orang yang menguasainya. Pengertian transaksi sendiri berdasarkan KBBI adalah “persetujuan jual beli dalam perdagangan antara pihak pembeli dan penjual”, sehingga dapat disimpulkan bahwa transaksi didasari oleh adanya suatu perikatan, baik melalui perjanjian maupun tidak.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sesungguhnya kegiatan transaksi yang dilakukan oleh masyarakat masuk ke dalam ranah hukum perdata, namun seiring dengan maraknya praktek TPPU dan penyalahgunaan transaksi tunai diperlukan suatu aturan hukum yang bersifat mengikat umum dan memiliki kemampuan untuk mengatur dan memberikan sanksi (to regulate and the power to impose sanction) terhadap transaksi yang dilakukan dengan niat untuk mencuci uang, yang mana tidak dimiliki oleh instrumen-instrumen hukum perdata.

Hukum administrasi negara menurut P. De Haan dalam bukunya “Bestuursrecht in de Sosiale Rechtsstaat” didefinisikan memiliki tiga fungsi: norma, instrumen dan jaminan (Het bestuurect vervult dus een diredelige functie: norm, instrument, en waarborg). Sedangkan menurut Van Vollenhoven hukum administrasi dipandang sebagai keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik tinggi maupun rendah, setelah alat-alat itu akan menggunakan kewenangan-kewenangan ketatanegaraan.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat norma yang bertujuan untuk mengatur kewenangan pemerintah dan bagaimana seharusnya kewenangan itu dijalankan beserta dengan resiko yang mungkin terjadi atas pemenuhan kewenangan pemerintah tersebut. Kaidah atau norma berperan sebagai landasan yuridis pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya, norma inilah yang kemudian dijadikan acuan dalam membentuk suatu instrumen pelaksana, dimana nantinya diharapkan dengan dipenuhinya pelaksanaan kewenangan oleh instrumen pemerintah sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku maka akan timbul jaminan perlindungan hukum baik secara keadilan, kepastian, dan manfaatnya terhadap masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah sebagai penguasa.

Kegiatan Transaksi memang merupakan hak privat setiap warga negara, namun dalam rangka untuk membentuk masyarakat yang lebih aman dan sejahtera bebas dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang pemerintah sebagai penguasa memiliki kewenangan untuk mengatur cara pelaksanaan transaksi. Hak warga negara untuk melakukan transaksi tidak dilanggar oleh negara, melainkan negara memberikan suatu aturan, suatu sarana untuk melakukan transaksi dengan syarat-syarat tertentu demi terciptanya lalu lintas keuangan yang bersih, jujur, dan beritikad baik berdasarkan perjanjian yang sah sesuai dengan pasal 1320 KUHPer.

Secara yuridis pengaturan mengenai pembatasan transaksi tunai pernah diberlakukan di Indonesia melalui UU No.18 tahun 1946 tentang kewajiban Menyimpan Uang Dalam Bank. Ketentuan tersebut memang secara tidak langsung membatasi transaksi tunai, tetapi dalam ketentuannya memberikan batasan uang yang boleh digunakan dalam transaksi tunai. Di samping itu Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan (ad interim) Mohammad Hatta pada 30 Oktober 1948 menetapkan UU No 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank.

Kemudian diumumkan Sekneg kala itu, AG Pringgodigdo pada hari sama. Beberapa peraturan perundang-undangan terbaru juga terdapat beberapa batasan bagi transaksi, sebagai contoh pengaturan mengenai pembawaan uang lintas Negara dan kewajiban melaporkan transaksi diatas Rp. 500.000.000,00. Pembatasan transaksi tunai juga masuk dalam Inpres No 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.\

Pembatasan pembawaan uang tunai di Indonesia bukanlah hal baru karena UU TPPU yang dikeluarkan jauh telah menetapkan suatu ketentuan mengenai kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan pembawaan uang tunai rupiah sebesar Rp.100 juta atau lebih, atau dalam mata uang asing yang nilainya setara Rp 100 juta untuk melaporkannya kepada Ditjen Bea dan Cukai berikut dengan sanksi pidananya. Selanjutnya, oleh Ditjen Bea dan Cukai laporan tersebut diteruskan ke PPATK untuk dijadikan bahan analisis.

Dari keseluruhan pengaturan pembawaan uang tunai, ketentuan mengenai pemidanaan karena pencucian uang secara tegas diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f UU TPPU. Ketentuan pidana ini mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun pihak lain, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usulnya, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 milyar.

Berbagai ketentuan tersebut jelas menunjukkan bahwa upaya membatasi transaksi tunai sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, pengaturan tersebut belum memberikan batasan tegas transaksi tunai, hanya membatasi pembawaan uang tunai.
Pengaturan pembatasan tunai diharapkan mampu mendorong agar masyarakat beralih secara bertahap menuju transaksi non tunai. Pengaturan pembatasan transaksi tunai harus mencerminkan keadilan dan kepastian hukum serta diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ketiganya harus dapat tercermin dalam pengaturan pembatasan transaksi tunai.

Dengan kepastian yang adil, keadilan yang pasti dan kebergunaan itulah hukum dapat menjamin kebebasan yang teratur dalam dinamika perekonomian, sehingga pada gilirannya dapat membawa kesejahteraan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa kepastian hukum (certainty), perekonomian tidak dapat berkembang secara teratur, tanpa keadilan (justice), perekonomian tidak akan menumbuhkan kebebasan yang sehat dan berkeadilan, dan tanpa kebergunaan (utility), perekonomian tidak akan membawa kesejahteraan dan kedamaian. Karena pada akhirnya hukum itu sendiri haruslah membawa kehidupan bersama kepada kesejahteraan dan kedaaian hidup bersama.16

D. Pelaksanaan Pembatasan Transaksi Keuangan Tunai
1. Telah Ada Ketentuan Sebelumnya
Upaya membatasi pelaksanaan transaksi keuangan tunai pernah dilakukan di Indonesia. Pelaksanaan tersebut terjadi pada saat Indonesia baru memproklamasikan kemerdekaannya. Berdasarkan UU No.18 Tahun 1946 tentang kewajiban Menyimpan Uang Dalam Bank, dilakukan pembatasan oleh Pemerintah dengan mewajibkan kepada setiap warga Negara Indonesia untuk menyimpan uangnya di bank.

Kewajiban tersebut berkaitan dengan kebutuhan negara Indonesia yang baru merdeka terhadap transaksi keuangan. Dengan adanya sejumlah uang berada di perbankan, maka pemerintah akan dapat mendayagunakan uang yang berada di perbankan untuk kebutuhan pembangunan. UU No. 18 tahun 1946 membedakan kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan dan perseorangan. Selain itu, undang- undang juga mengatur beberapa pihak yang dikecualikan dari ketentuan tersebut yaitu pegawai negeri, pegawai pemda dan pegawai bank yang bersangkutan.

Negara-negara seperti Bulgaria, Perancis, Italia, India, Ukraina, Belgia dan beberapa negara lainnya memberlakukan pembatasan transaksi tunai dengan beberapa latar belakang, antara lain untuk menghindari adanya tax evasion, pencucian uang, serta untuk kepentingan investasi suatu negara. Indonesia perlu menetapkan apa yang menjadi sasaran dari diaturnya pembatasan transaksi tunai.

2. Pentingnya Sosialisasi Kebijakan Pembatasan Transaksi Tunai
Kebijakan pembatasan transaksi tunai adalah kebijakan baru yang jika tidak disosialisasikan secara baik kepada masyarakat luas, dapat menyebabkan pemahaman yang tidak tepat misalnya adanya anggapan kebijakan ini akan menyulitkan kegiatan ekonomi masyarakat yang inginnya selalu praktis dan ekonomis. Penerapan besarnya jumlah transaksi tunai sebaiknya dilakukan secara bertahap (step by step) agar tidak menimbulkan penolakan ditengah-tengah masyarakat. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan sasaran, sektor dan juga nominal yang akan dibatasi.

Paling sedikit ada tiga kebijakan yang harus diperhatikan:
Pertama, memilih sasaran atau subjek yang akan dibatasi kegiatan transaksinya. Pemilihan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebijakan ini akan diterapkan ke semua masyarakat. Mengingat secara demografi, masyarakat perkotaan berbeda dengan masyarakat pedesaan yang masih awam dengan dunia perbankan. Mengingat pembatasan transaksi ini erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang maka sasarannya tentu lebih tepat kepada mereka yang tergolong politically exposed person seperti pejabat negara atau PNS.

Namun demikian, kebijakan pembatasan transaksi tunai bukan tidak mungkin diterapkan kepada semua lapisan masyarakat. Sebagaimana kebijakan konversi minyak tanah ke gas yang pada awalnya sulit untuk diterapkan, namun dengan  adanya konsistensi dan juga sosialisasi yang luas terkait dengan penghematan energi, lambat laun minyak tanah dapat dikurangi pemakaiannya di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula dengan kebijakan pembatasan transaksi tunai ini. Jika pemerintah konsisten untuk membatasi transaksi tunai dan juga dengan sosialiasi yang luas dan terus menerus, lambat laun pasti akan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kedua, pemilihan sektor usaha. Pada tahap awal, pembatasan transaksi tunai sebaiknya tidak langsung diterapkan di semua sektor usaha namun hanya pada sektor usaha tertentu saja. Pemilihan sektor usaha harus dikaitkan dengan sasaran dari kebijakan ini yang dimulai tidak untuk semua masyarakat. Lembaga yang paling mungkin untuk memulai kebijakan ini adalah sektor perbankan, karena sektor perbankan sangat berperan menyiapkan infrastruktur dalam transaksi non tunai.

Ketiga, dari sisi nominal transaksi yang dibatasi. Seperti yang telah dijelaskan sejak awal, mengingat kompleksitas kondisi di Indonesia, maka perlu tahapan terkait dengan pengenaan nilai transaksi yang mesti dibatasi. Agar tidak dianggap menghambat aktivitas perekonomian diusulkan, untuk pertama kali, jumlah uang tunai dibatasi dengan kisaran Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), kemudian berangsur-angsur diturunkan menjadi Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Bahkan diharapkan bisa dibatasi sampai Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) juta rupiah.

Dengan demikian harapan menuju masyarakat Indonesia yang mampu bertransaksi secara modern dan efisien dengan bercirikan less cash society bisa terwujud dikemudian hari. Ada tiga manfaat dari less cash society. Pertama, transaksi non tunai lebih efisien karena setiap orang tidak perlu repot membawa uang tunai kemana-mana untuk melakukan transaksi bisnis. Kedua, transaksi non tunai relatif tidak berbiaya mahal. Ketiga, transaksi non tunai lebih memudahkan untuk dilacak apabila terjadi tindak pidana.

3. Jenis Transaksi Keuangan Tunai Yang Dibatasi
Perlu adanya kejelasan mengenai jenis-jenis transaksi keuangan tunai yang dibatasi. Transaksi keuangan tunai yang dibatasi tidak hanya transaksi yang dilakukan melalui penyedia jasa keuangan dan/atau penyedia barang dan/atau jasa lain baik orang perorangan atau badan hukum tetapi juga termasuk transaksi keuangan tunai yang dilakukan antar orang perorangan. Adapun usulan jenis-jenis transaksi keuangan tunai yang perlu dibatasi, antara lain:
a. seluruh transaksi pembayaran atau pembelian rumah, mobil, perhiasan, logam mulia, batu berharga (precious stone), barang antik, dan lukisan;
b. seluruh transaksi setoran tunai dan penarikan tunai di penyedia jasa keuangan termasuk pada kegiatan usaha pengiriman dana (transfer dana), pencairan cheque;
c. seluruh transaksi pencairan dana kredit atau pembiayaan secara tunai;
Badan hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai badan (perkumpulan dsb) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum (perseroan, yayasan, lembaga, dsb). Dengan demikian badan hukum dapat diartikan sebagai organisasi atau perkumpulan yang didirikan dengan akta yang otentik dan dalam hukum diperlakukan sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban atau disebut juga dengan subyek hukum. Subyek hukum dalam ilmu hukum ada dua yakni, orang dan badan hukum. Disebut sebagai subyek hukum oleh karena orang dan badan hukum menyandang hak dan kewajiban hukum sebagai subyek hukum, badan hukum juga memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana subyek hukum orang atau individu. Namun, oleh karena bentuk badan hukum merupakan himpunan atau kumpulan dari orang-orang, maka dalam pelaksanaan perbuatan hukum tersebut, suatu badan hukum diwakili oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya sebagai subyek hukum, maka badan hukum juga dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum.

Hal itu sesuai dengan pendapat R. Subekti yang menyatakan bahwa Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak atau melakukan perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan sendiri.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pandangan secara Filosofis pembatasan transaksi tunai penting untuk mendorong efisiensi dan efektivitas transaksi kearah transaksi yang lebih modern dan tercatat dalam sistem keuangan; secara sosiologis masyarakat akan lebih aman  dengan menggunakan transaksi non tunai dan ketentuan ini telah pual diberlakukan di banyak Negara yang pengaturannya merupakan kebutuhan Negara dan masyarakat untuk mencegah transaksi tunai digunakan sebagai sarana transaksi illegal (pencucian uang, khususnya tindak pidana korupsi secara yuridis tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sebelumnya pernah ada pengaturan yang serupa yaitu ketentuan untuk menyimpan uang di bank, suatu aturan yang tidak sama persis tetapi esensinya adalah masyarakat diarahkan untuk tidak menyimpan uang tunai.

Walaupun ada dampak sosial diterapkannya ketentuan pembatasan transaksi tunai adalah mengubah masyarakat kearah transaksi yang lebih efisien, lebih menguntungkan secara ekonomi karena mempunyai multiflier efek terhadap resiko dan jumlah pencetakan dan penyimpan uang, dan diharapkan mampu membudayakan masyarakat untuk menyimpan uangnya di lembaga perbankan. Namun demikian, agar ketentuan ini dapat berjalan dengan baik, pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur dan melakukan sosialisasi yang baik. Pada dasarnya  sasaran utama dalam penerapan ketentuan pembatasan transaksi tunai terutama mengubah cara transaksi keuangan masyarakat dari transaksi tradisional kearah transaksi modern yang tercatat dalam sistem; arah ketentuan ini adalah penguatan kerangka hukum dan peningkatan pengawasan disektor keuangan, untuk mewujudkan efisiensi transaksi serta membangun rezim anti pencucian uang yang efektif; sedangkan jangkauan ketentuan ini adalah seluruh transaksi keuangan di Indonesia baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:
Ali, Chidir. 1987. Badan Hukum. Cetakan Pertama. P.T Alumni.
Bandung.
Gunawan, Andri, Erwin Nastosmal Oemar, dan Refki Saputra, Editor:  Paku Utama. 2013. Membatasi Transaksi Tunai; Peluang dan Tantangan. Indonesian Legal Roundtable. Jakarta.
Jeremy Bentham. 2000. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Batoche Books: Kitchener. ON Canada.
Joseph Raz. 1997. The Concept of A Legal System: An Introduction to the Theory of Legal System, Clarendon Press. Oxford.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2012.
Kajian Pembatasan Transaksi Tunai, Badan Kebijakan Fiskal. Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Cetakan Kedua.
Kencana. Jakarta.
Pound, Roscoe. 1920. Outlines of Lectures on Jurisprudence,.
Cambridge University Press. Cambridge.
Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. LaksBang PRESSindo. Yogyakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang tentang Kewajiban Menyimpan Uang Dalam Bank, Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1946.
Undang-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182
Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Undang- undang Nomor 24 Tahun 1999
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Nomor
15 Tahun 2002, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4191, sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang tentang Surat Utang Negara, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002
Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
Undang-Undang tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47
Undang-Undang tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 93
Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867Undang- Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang,
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
Undang-Undang tentang Transfer Dana. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tahun 2011 Nomor 39,
Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Undang-Undang tentang Mata Uang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64
Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011



*Sumber: https://www.academia.edu/39008273/MAKALAH_POLITIK_HUKUM_PROGRAM_LEGISLASI_RUU_TENTANG_PEMBATASAN_TRANSAKSI_UANG_KARTAL


Tag : Ekonomi, Lainnya, PKn, Politik
0 Komentar untuk "Program Legislasi RUU Tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal"

Back To Top