BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah lepas dari hubungan dengan antar sesama makhluk-Nya. Manusia dibutuhkan dan membutuhkan makhluk yang lain dalam kehidupannya. Hubungan saling ketergantungan ini tentu disebabkan dan menyebabkan banyak hal, beberapa diantaranya adalah cinta kasih, penderitaan dan keadilan.
Manusia sebagai makhluk yang berfikir dibekali rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang mendorong untuk mengenal, memahami dan menjelaskan hal yang bersifat alamiah, sosial dan budaya serta manusia berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dari dorongan rasa ingin tahu dan usaha untuk memahami masalah menyebabkan manusia dapat mengumpulkan pengetahuan.
Kurangnya pengetahuan orang mengenai cinta kasih, penderitaan, keadilan, pandangan hidup dan keindahan membuat penulis ingin untuk menjelaskan kelima hal tersebut. Kelima hal tersebut merupakan hal-hal yang amat penting untuk diketahui. Mengapa? Karena hal-hal tersebut sangat berhubungan atau berkaitan dalam kehidupan seseorang dalam masyarakat. Dan apabila orang tidak mengetahui atau memahami kelima hal tersebut maka, akan menjadi sebuah permasalahan yang real dalam kehidupan seseorang dalam mengambil keputusan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hubungan antara Manusia dan Cinta Kasih?
2. Bagaimana hubungan antara Manusia dan Penderitaan?
3. Bagaimana hubungan antara Manusia dan Keadilan?
4. Bagaimana hubungan antara Manusia dan Pandangan Hidup?
5. Bagaimana hubungan antara Manusia dan Keindahan?
C. TUJUAN
Untuk mengetahui hubungan antara Manusia dan Cinta Kasih, Penderitaan, Keadilan, Pandangan Hidup dan Keindahan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Manusia dan Cinta Kasih
Cinta, pengertiannya sama dengan kasih sayang sehingga kalau seseorang mencintai orang lain, artinya orang tersebut berperasaan kasih sayang atau berperasaan suka terhadap orang lain tersebut. Cinta memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintah-Nya, dan berpegang teguh pada syariat-Nya.
Dalam kehidupan manusia, cinta menampakkan diri dalam berbagai bentuk, mulai dari seseorang yang mencintai dirinya, istrinya, anaknya, hartanya dan Tuhannya. Bentuk cinta ini melekat pada diri manusia yang kadarnya bisa berubah menurut situasi dan kondisi yang mempengaruhinya.[1]
Cinta tidak mudah diterangkan dan diilustrasikan dengan kata-kata. Ia memiliki daya luar biasa yang melekat dengan kuat pada diri manusia. Cinta dapat tak terduga muncul dan hilang begitu saja, atau terus tumbuh seperti cintanya orang tua terhadap anaknya sejak dilahirkan. Cinta dapat dilukiskan dengan memberi, bukan meminta sebagai aktualisasi cintanya terhadap orang lain. Berbagai bentuk cinta dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Cinta diri
Secara alamiah manusia mencintai dirinya sendiri. Sebaliknya, manusia membenci segala sesuatu yang mengganggu dirinya, mendatangkan penderitaan, rasa sakit, dan marabahaya lainnya. Cinta diri erat hubungannya dengan menjaga diri. Cinta kepada diri sendiri perlu diimbangi pula dengan cinta terhadap orang lain untuk berbuat baik. Inilah yang dimaksud dengan cinta diri yang ideal.[2]
b. Cinta kepada sesama manusia
Motivasi seseorang mencintai sesama manusia, menurut presepsi sosiologis disebabkan karena manusia itu merupakan makhluk sosial. Menurut presepsi agama, mencintai sesama manusia itu merupakan kewajiban. Demikian pula adanya perbedaan warna kulit, ras, etnis, atau perbedaan fisik manusia. Bahkan dalam agama, sesama manusia dianggap masih saudara (saudara seiman). Dalam pepatah sering dikatakan “tak kenal maka tak sayang”, makna kenal di sini dilanjutkan dengan saling menyayangi dan mencintai antar sesama umat manusia.
c. Cinta seksual
Cinta erat kaitannya dengan dorongan seksual, cinta seksual merupakan bagian dari kebutuhan manusia yang dapat melestarikan kasih sayang, keserasian, dan kerja sama antara suami dan istri. Seks merupakan faktor yang primer bagi kelangsungan hidup keluarga.
d. Cinta kebapakan
Cinta ibu kepada anaknya atau dorongan keibuan. Dorongan kebapakan tidak seperti dorongan keibuan, tetapi dorongan psikis. Hal ini tampak dalam cinta bapak terhadap anaknya karena ia merupakan sumber kesenangan dan kegembiraan dalam hidupnya, sumber kekuatan dan kebanggaan,dan merupakan faktor penting bagi kelangsungan peran bapak dalam kehidupan.
e. Cinta kepada Allah SWT
Puncak cinta manusia yang paling bening, jernih dan spiritual ialah cinta dan kerinduannya kepada Allah. Tidak hanya sholat, pujian dan doanya ditujukan kepada Allah, tetapi semua tindakan dan tingkah lakunya ditujukan kepada Allah dengan mengharapkan penerimaan ridla-Nya. Cinta seorang mukmin kepada Allah akan membuat seseorang menjadi mencintai sesama manusia, hewan, semua makhluk Allah, dan seluruh alam semesta. Hal ini terjadi karena semua yang wujud dipandang sebagai manifestasi Tuhannya.
f. Cinta kepada Rasul (Nabi Muhammad SAW)
Cinta kepada rasul merupakan peringkat kedua setelah cinta kepada Allah SWT. Hal ini disebabkan karena rasul bagi kaum muslimin merupakan contoh ideal yang sempurna baik dalam tingkah laku, moral, maupun berbagai sifat luhur lainnya dan juga merupakan suri teladan yang mengajarkan Al-Qur’an dan kebijaksanaan. Nabi Muhammad SAW telah menanggung derita dan berjuang dengan penuh tantangan sampai tegaknya agama Islam.
g. Cinta kepada orang tua
Cinta kepada ibu-bapak dalam ajaran agama Islam sangat mendasar, menentukan ridla tidaknya Tuhan kepada manusia. Khusus mengenai cinta kepada orang tua ini, Tuhan memperingatkan keras melalui ajaran akhlak mulia dan langsung dengan tata kramanya.[3]
2. Manusia dan Penderitaan
Kata penderitaan berasal dari kata “derita” (dhra dalam bahasa Sansekerta), artinya: menahan atau menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan, baik itu secara lahir maupun batin. Penderitaan tidak pernah dipisahkan dari kehidupan manusia, yang berupa keluh kesah, kesengsaraan, kelaparan, kepanasan, dan lain-lain. Penderitaan ini bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja. Penderitaan datang dan pergi tidak pandang bulu. Untuk itulah manusia harus bekerja keras agar terlepas dari penderitaan.[4]
a. Penderitaan sebagai fenomena universal
Penderitaan sebagai fenomena universal tidak mengenal ruang dan waktu, dapat terjadi pada kehidupan masa lalu, kini, dan masa yang akan datang. Selain itu juga dapat menimpa siapapun.
b. Penderitaan sebagai anak penguasaan
Penderitaan yang terjadi tidak jarang justru disebabkan oleh faktor manusia sendiri. Penderitaan manusia yang satu tidak bisa dilepaskan dari ulah manusia lainnya. Ini semua sulit terbantahkan, karena penderitaan itu pada dasarnya merupakan anak penguasaan.[5]
Berikut ini hal-hal yang berkaitan dengan penderitaan:
o Siksaan
Berbagai bentuk siksaan antara lain, yaitu bisa berupa siksaan di dunia dan siksaan setelah berada di alam baka. Adapun bentuk siksaan di dunia dapat berupa bencana alam, siksaan hati, siksaan badan, penyakit, dan lain-lain.
o Rasa Sakit
Rasa sakit adalah rasa yang tidak enak bagi si penderita. Penderitaan yang berupa rasa sakit dan siksaan merupakan satu rangkaian peristiwa yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Karena adanya siksaan dan rasa sakit membuat orang menjadi menderita. Dalam pengalaman sehari-hari manusia dikenal adanya tiga macam rasa sakit, yaitu sakit hati, syaraf atau jiwa, dan sakit fisik.
o Neraka
Jika manusia mengingat akan dosa maka terbayanglah neraka, sehingga terlintas dalam alam pikiran manusia adanya siksaan, rasa sakit, dan penderitaan yang hebat. Hal ini menandakan bahwa antara neraka, siksaan, rasa sakit, dan penderitaan mempunyai hubungan sebab-akibat yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Manusia masuk neraka karena dosa, maka jika berbicara tentang dosa berarti berkaitan juga dengan kesalahan.[6]
3. Manusia dan Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan keawajiban. Berbicara tentang keadilan pada dasarnya tidak bisa terlepas dari kata “hak” dan “kewajiban”. Berdasarkan etis, manusia dituntut tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban. Karena jika manusia hanya menuntut akan hak, sikap dan tindakannya akan mengarah pada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya, jika manusia hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut haknya maka akan mudah diperbudak atau diperas orang lain. Dengan demikian, keadilan itu diperlukan untuk bisa membedakan mana yang hak dan mana yang kewajiban. Berdasarkan macamnya keadilan dapat dibedakan menjadi tiga macam:
a. Keadilan legal.
b. Keadilan distributif.
c. Keadilan komunikatif.
Dalam islam keharusan untuk menjaga kebenaran dan keadilan telah diperintah oleh Allah dalam al-Quran, surat an-Nisaa’ yang artinya: “sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.
Dalam ajaran Konghucu disebutkan bahwa keadilan dapat terwujud jika setiap anggota masyarakat bisa menjalankan fungsi dan peranannya masing-masing.
Tokoh-tokoh filsafat seperti Plato dan Aristoteles juga tidak mau ketinggalan melontarkan konsep keadilan tersebut. Plato pernah mengatakan bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Sedangkan, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama pula (justice is done when equals are treated equally).[7]
Berikut ini hal-hal yang berkaitan dengan Keadilan:
a. Kejujuran
Jujur atau kejujuran berarti apa yang dikatakan seseorang akan sesuai dengan hati nuraninya. Jujur dapat pula diartikan seseorang yang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Orang yang menepati janji atau menepati kesanggupan, baik yang telah terlahir dalam kata-kata maupun yang masih dalam hati (niat) dapat pula dikatakan jujur. Sedangkan, bagi orang yang tidak menepati niatnya berarti mendustai dirinya sendiri. Maka niat yang telah terlahir dalam kata-kata jika tidak ditepati dapat disebut kebohongan.
Setiap orang hendaknya bisa belajar bersikap jujur karena kejujuran mendatangkan ketentraman hati, menghilangkan rasa takut, membuat orang tegas, dan yang paling penting mendatangkan keadilan.
b. Kecurangan
Kecurangan artinya apa yang dikatakan tidak sesuai dengan hati nurani. Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, dan senang apabila masyarakat di sekelilingnya hidup menderita.
Ada beberapa sebab mengapa orang itu melakukan kecurangan-kecurangan. Jika dilihat dari hubungan manusia dengan alam sekitar, maka ada empat aspek yang menyebabkan manusia berbuat curang, antara lain: aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban, dan aspek teknik.
Keempat aspek tersebut harus dilaksanakan secara wajar agar berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum.
c. Keutamaan Nama Baik
Nama baik berhubungan dengan perilaku baik, yang identik dengan kebenaran dan terpuji, sehingga tidak tercela semasa hidupnya. Tingkah laku atau perbuatan baik dengan nama baik pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu:
a. Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk bermoral;
b. Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Nama baik ini harus dipertahankan, sehingga jika terjadi pencemaran nama baik maka perlu pemulihan nama baik.
Pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa yang diperbuatnya selama ini tidak sesuai dengan akhlak. Untuk memulihkan nama baiknya, seseorang harus bertaubat dan meminta maaf. Taubat atau permintaan maaf yang dilakukan tidak hanya sampai di bibir, melainkan harus diyakini dalam hati dan mewujudkannya dengan tindakan nyata. Ia harus memperbaiki budi pekertinya. Budi pekerti yang baik dapat diwujudkan dengan sikap ikhlas, tawakal, sabar, jujur, adil, dan budi luhur suka berderma atau menolong kepada siapapun.[8]
d. Pembalasan
Pembalasan adalah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa. Pembalasan bisa bersifat positif atau negatif. Dalam pergaulan bisa terjadi pembalasan, pergaulan yang bersahabat akan mendapatkan balasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat.[9]
4. Manusia dan Pandangan Hidup
Pandangan hidup banyak sekali macamnya. Akan tetapi pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu terdiri dari 3 macam :
a. Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya;
b. Pandangan hidup yang berupa ideologi yang di sesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada negara tersebut;
c. Pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.[10]
Langkah-Langkah Berpandang Hidup yang Baik
a. Mengenal
Mengenal ini merupakan suatu kodrat bagi manusia yaitu merupakan tahap pertama dari setiap aktivitas hidupnya yang dalam hal ini mengenal apa itu pandangan hidup. Tentunya kita yakin dan sadar bahwa setiap manusia itu pasti mempunyai pandangan hidup, maka kita dapat memastikan bahwa pandangan hidup itu ada sejak manusia itu ada.
b. Mengerti
Tahap kedua adalah mengerti, maksudnya mengerti terhadap pandangan hidup itu sendiri. Mengerti di sini memegang peranan penting. Karena dengan mengerti, ada kecenderungan untuk tunduk pada pandangan hidup itu dan cenderung mengikuti apa yang terdapat dalam pandangan hidup itu.
c. Menghayati
Menghayati di sini adalah menghayati nilai-nilai yang tergantung di dalamnya, yaitu dengan memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai pandangan hidup itu sendiri. Langkah-langkah yang dapat di tempuh dalam rangka menghayati ini adalah dengan menganalisa hal-hal yang berhubungan dengan pandangan hidup, bertanya kepada orang yang di anggap lebih tahu dan lebih berpengalaman mengenai isi pandangan hidup itu.
d. Meyakini
Dengan yakin (meyakini) berarti secara langsung ada penerimaan yang ikhlas terhadap pandangan hidup. Adanya sikap menerima secara ikhlas ini maka ada kecenderungan untuk selalu berpedoman kepadanya dalam segala tingkah laku dan tindakannya atau setidak-tidaknya tingkah laku dan tindak tanduknya selalu di pengaruhi oleh pandangan hidup yang di yakininya.
e. Mengabdi
Pengabdian merupakan suatu hal penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu yang telah di benarkan dan diterima baik oleh dirinya lebih-lebih orang lain. Dengan mengabdi maka kita akan merasakan manfaatnya.
f. Mengamankan
Mungkin sudah merupakan sifat manusia bila sudah mengabdi diri pada suatu pandangan hidup lalu ada orang lain yang mengganggu dan menyalahkan tentu tidak menerima dan bahkan cenderung untuk mengadakan perlawanan. Proses mengamankan ini merupakan langkah trakhir. Tidak mungkin atau sedikit kemungkinan bila belum mendalami langkah sebelumnya lalu akan ada proses mengamankan ini.[11]
Cita-Cita dan Pandangan Hidup
Dalam menghadapi berbagai masalah, hambatan, tantangan, dan gangguan itu manusia perlu mempunyai suatu pelindung dirinya yaitu pandangan hidup yang teguh. Pandangan hidup ini merupakan pegangannya, sebab dengan memegang teguh pada pandangan hidup yang di yakininya, maka ia tidak akan bertindak sesuka hatinya. Bila ia menghadapi masalah, hambatan, tantangan, dan gangguan serta kesulitan yang menghantuinya, ia tidak akan bertindak sembrono karena ia mempunyai pandangan hidup yang di pakai ssebagai pedomannya dalam menyelesaikannya. Disamping itu juga pandangan hidup yang teguh ini akan mampu memperbaiki segala tingkah lakunya, baik dalam bermasyarakat maupun dalam menyelesaikan segala masalah, hambatan, gangguan, dan tantangan sehingga nantinya akan terwujud cita-cita yang didambakannya.[12]
5. Manusia dan Keindahan
Keindahan dari kata “indah”, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Kawasan keindahan manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya. Keindahan merupakan bagian kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun.
a. Nilai Estetik
Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik. Unsur-unsur yang berada di dalam hasil suatu karya turut menentukan kadar estetika yang ditampilkan. Sebagai contoh dapat dilihat perbedaan bentuk antara puisi Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, maupun Angkatan ’66. Masing-masing angkatan memiliki unsur-unsur yang khas dan turut membentuk bangunan puisi itu menjadi sebuah spesifikasi, baik itu dipandang dari diksi, gaya bahasa, rima, irama, dan persajakannya. Semua ciri-ciri tersebut memperlihatkan karakteristik dari masing-masing angkatan, yang sekaligus akan dapat menentukan kadar estetika yang dimilikinya.[13]
b. Makna Keindahan
Berikut beberapa persepsi tentang keindahan:
a. Keindahan adalah sesuatu yang mendatangkan rasa menyenangkan bagi yang melihat. (Tolstoy)
b. Keindahan adalah keseluruhan yang merupakan susunan yang teratur dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, atau dengan keseluruhan itu sendiri. Atau “beauty is an order of parts in their manual relation and in their relation to the whole. (Baumgarden)
c. Yang indah hanyalah yang baik. Jika belum baik, ciptaan itu belum indah. Keindahan harus dapat memupuk perasaan moral. Jadi ciptaan-ciptaan yang amoral tidak bisa dikatakan indah, karena tidak dapat digunakan untuk memupuk moral. (Sulzer)
d. Keindahan dapat terlepas sama sekali dari kebaikan. (Winchelman)
e. Yang indah adalah yang memiliki proporsi yang harmonis. Karena proporsi yang harmonis itu nyata, maka keindahan itu dapat disamakan dengan kebaikan. Jadi, yang indah adalah nyata dan yang nyata adalah yang baik. (Shaftesbury)
f. Keindahan adalah sesuatu yang dapat mendatangkan rasa senang. (Hume)
g. Yang indah adalah yang paling banyak mendatangkan rasa senang, dan itu adalah yang dalam waktu sesingkat-singkatnya paling banyak memberikan pengalaman yang menyenangkan. (Hamsterhuis)
h. Menurut Emmanuel Kant, keindahan itu bisa dilihat dari dua segi, yaitu:
1) Dari segi arti yang subyektif, keindahan dikatakan sebagai sesuatu yang tanpa harus direnungkan ataupun disangkut-pautkan dengan kegunaan-kegunaan praktis sudah bisa mendapatkan rasa senang pada diri si penghayat.
2) Dari segi arti yang obyektif, keindahan bisa diartikan sebagai keserasian yang dikandung obyek sejauh obyek tersebut tidak ditinjau dari segi gunanya.[14]
Bertolak dari berbagai pendapat tersebut sebenarnya kita dapat menempatkan pada kelompok-kelompok tersendiri sesuai dengan berbagai pendapat yang ada, yaitu sebagai berikut:
a. Pengelompokan pengertian keindahan berdasar pada titik pijak atau landasannya
Dalam hal ini ada 2 pengertian keindahan, yaitu:
1) Keindahan yang obyektif, adalah keindahan yang memang ada pada obyeknya sementara kita sebagai pengamat harus menerima sebagaimana mestinya.
2) Keindahan subyektif, adalah keindahan yang biasanya ditinjau dari segi subyek yang melihat dan menghayatinya.
b. Pengelompokan pengertian keindahan dengan berdasar pada cakupannya
Bertitik tolak dari landasan ini kita bisa membedakan antara keindahan sebagai kualitas abstrak (beauty) dan keindahan sebagai sebuah benda tertentu yang memang indah (the beautiful).
c. Pengelompokan pengertian keindahan berdasar luas-sempitnya
Dalam pengelompokan ini kita bisa membedakan antara pengertian keindahan dalam arti luas, dalam arti estetik murni, dan dalam arti yang terbatas. Keindahan dalam arti luas menurut The Liang Gie, mengandung gagasan tentang kebaikan. Sementara itu, keindahan dalam arti estetik murni menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Adapun keindahan dalam arti terbatas mempunyai arti yang lebih sempit lagi, yaitu hanya menyangkut benda-benda yang dapat diserap melalui penglihatan, atau hanya berupa keindahan bentuk dan warna.[15]
Persepsi manusia terhadap keindahan tidaklah sama. Sebab persepsi manusia terhadap keindahan sangat ditentukan oleh daya penggerak yang menjadi sumber timbulnya kehendak, atau keinginan terhadap keindahan itu sendiri. keindahan yang sebenarnya adalah keindahan yang muncul dari persepsi akal dan budi.[16]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
· Cinta-kasih mencakup seluruh obyek, tanpa mengenal agama, bangsa, dan suku, oleh karena itu cinta-kasih bersifat abadi. Cinta-kasih didasarkan oleh rasa tanggung-jawab, bukan rasa ingin memiliki; sehingga cinta-kasih tidak mengenal rasa cemburu, dengki dan iri.
· Penderitaan disebabkan oleh rasa kurang dan rasa takut terhadap sesuatu. Penderitaan termasuk penyakit batin manusia. Oleh karena itu, cara mengatasi penderitaan adalah dengan menumbuhkan kesadaran diri terhadap eksistensi Tuhan. Setiap orang akan mendapatkan penderitaan yang bentuk dan sifatnya berbeda, maka dalam kehidupan kita apabila siap menerima cinta harus siap pula menerima penderitaan yang mungkin saja akan terjadi.
· Keadilan sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Yang menjadi ukuran dalam keadilan adalah hak dan kewajiban. Hak adalah bayaran atas pemenuhan kewajiban, sementara kewajiban adalah hal yang harus diselesaikan sebagai tanggung jawab atas jabatan atau peran seseorang. Keadilan pada umumnya sulit diperoleh. Dalam hal ini setiap manusia dalam memperoleh keadilan biasanya memerlukan pihak-pihak terkait atau pihak ketiga sebagai penengah dengan harapan pihak tersebut dapat bertindak adil terhadap pihak-pihak yang berselisih.
· Dalam menghadapi berbagai masalah, hambatan, tantangan, dan gangguan itu manusia perlu mempunyai suatu pelindung dirinya yaitu pandangan hidup yang teguh. Pandangan hidup ini merupakan pegangannya, sebab dengan memegang teguh pada pandangan hidup yang di yakininya, maka ia tidak akan bertindak sesuka hatinya.
· Persepsi manusia terhadap keindahan tidaklah sama. Sebab persepsi manusia terhadap keindahan sangat ditentukan oleh daya penggerak yang menjadi sumber timbulnya kehendak, atau keinginan terhadap keindahan itu sendiri. keindahan yang sebenarnya adalah keindahan yang muncul dari persepsi akal dan budi.
B. SARAN
Dengan diselesaikannya makalah ini penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Selanjutnya penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna peningkatan kualitas dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Haricahyono, Cheppy. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional. 1987.
Mawardi. IAD-ISD-IBD. Bandung: Pustaka Setia. 2000.
Mustopo, M. Habib. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional. 1983.
Sujarwa. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Sulaeman, Munandar. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama. 1998.
[1]Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: Refika Aditama, 1998), 49.
[2] Ibid., 50.
[3] Ibid., 57-59.
[4] Sujarwa, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 78.
[5] Ibid., 80-81.
[6] Mawardi, IAD-ISD-IBD (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 170-171.
[7] Sujarwa, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 59-63.
[8] Ibid., 64-74.
[9] Ibid., 75.
[10] M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), 173.
[11] Ibid., 174-179.
[12] Ibid., 180.
[13] Ibid., 113-119.
[14] Cheppy Haricahyono, Ilmu Budaya Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), 208-209.
[15] Ibid., 210-211
[16] Sujarwa, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 124.
Tag :
IAD IBD ISD
0 Komentar untuk "Manusia dan Cinta Kasih, Penderitaan dan Keadilan"