Globalisasi Serta Tantangan dan Ancamannya Bagi Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Memahami globalisasi, globalisasi adalah sebuah konsep yang licin dan  tidak mudah dipahami. Meskipun terdapat peningkatan keterkaitan pada fenomena globalisasi sejak 1980-an, istilah tersebut masih digunakan untuk menunjuk, secara beragam, pada sebuah proses, sebuah kebijakan, sebuah strategi pemasaran, sebuah bahaya, atau  bahkan sebuah ideologi. Problem dengan globalisasi adalah bahwa ia bukan sebuah proses tunggal, tetapi sebuah jalinan yang rumit dari proses-proses, terkadang saling tumpang-tindih dan saling terkait, tetapi juga terkadang, saling kontradiktif dan saling berlawanan.

Karenanya sulit untuk  menyempitkan globalisasi menjadi sebuah tema tunggal. Barang kali usaha terbaik untuk  mendefenisikan  ini adalah ide dari Kenichi Ohmae (1989) tentang sebuah ‘dunia tanpa batas. Ini tidak hanya menunjukan pada kecenderungan dimana batas-batas politik tradisional, yang berdasarkan pada batas-batas wilayah nasional dan negara, semakin menjadi lunak; ia juga mengimplikasikan bahwa pembagian-pembagian masyarakat yang sebelumnya dipisahkan oleh waktu dan  ruang telah semakin kurang signifikan dan terkadang menjadi tidak  relevan. Scholte (2005) karenanya berpendapat bahwa globalisasi  terkait dengan pertumbuhan hubungan-hubungan ‘suprateritorial’ (sebuah kondisi dimana kehidupan sosial telah melampaui batas teritorial dengan semakin meningkatnya komunikasi dan interaksi ‘lintas-batas’ dan ‘lintas-global’ ) antara masyarakat-masyarakat diseluruh dunia. Misalnya, aliran-aliran uang elektronik sekarang dapat melintasi  seluruh penjuru dunia dalam sekali ketukan pada tombol sebuah komputer yang memastikan mata uang dan pasar-pasar finansial yang lain bereaksi hampir seketika terhadap peristiwa—peristiwa ekonomi dimanapun didunia.


Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep modernisasi di Indonesia?
Bagaimanakah sebuah globalisasi mempengaruhi kebudayaan?
Apa yang dimaksud globalisasi politik ?
Apa yang dimaksud globalisasi ekonomi?
Mengapa globalisasi merupakan sebuah ancaman?
Bagaimanakah proses bangkitnya globalisasi neoliberal?
Bagaimanakah modernisasi dan konsekuensi-konsekuensinya menurut Anthony Giddens?




BAB II
PEMBAHASAN



2.1. Modernisasi di indonesia

Konsep Modernisasi
Modernisasi dimulai di italia abad ke-15 dan tersebar ke sebagian besar dunia barat dalam lima abad berikutnya. Kini gejala modernisasi telah menjalar pengaruhnya ke seluruh dunia. Manifesto proses modernisasi pertama kali terlihat di Inggris dengan meletusnya revolusi industri pada abad ke-18, yang mengubah cara  produksi tradisional ke modern.

Modernisasi masyarakat adalah suatu proses transformasi yang mengubah:

Dibidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar, dimana produksi barang konsumsi dan sarana dibuat secara massal.
Dibidang politik, dikatakan bahwa  ekonomi yang modern memerlukan ada masyarakat nasional dengan integrasi yang baik.

Modernisasi menimbulkan pembaharuan dalam kehidupan. Modernisasi sangat diharapkan berlangsungnya oleh masyarakat. Bahkan  bagi pemerintah merupakan suatu proses yang sedang diusahakan secara terarah. Modernisasi menurut Cyril Edwin Black (1991) adalah rangkaian perubahan cara hidup manusia yang kompleks dan saling berhubungan, merupakan bagian pengalaman yang universal dan yang dalam banyak  kesempatan merupakan harapan bagi  kesejahteraan manusia.


Globalisasi Serta Tantangan dan Ancamannya Bagi Indonesia


Koentjaraningrat (1923-1999), modernisasi merupakan usaha penyesuaian hidup dengan konstelasi dunia sekarang ini. Hal itu berarti bahwa untuk  mencapai tingkat modern harus berpedoman kepada dunia sekitar yang mengalami kemajuan. Modernisasi yang telah dilandasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya bersifat fisik material saja, melainkan lebih jauh daripada itu, yaitu dilandasi oleh sikap mental yang mendalam.

Manusia yang telah mengalami modernisasi, terungkap pada sikap mentalnya yang maju, berpikir rasional,berjiwa wiraswasta, berorientasi ke masa depan, dan seterusnya.

Schorrl (1980), mengatakan bahwa modernisasi adalah proses penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam semua segi kehidupan manusia dengan tingkat yang berbeda-beda, tetapi tujuan utamanya untuk  mencari taraf hidup yang lebih  baik dan nyaman dalam  arti yang seluas-luasnya, sepanjang masih dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.

Smith (1973), modernisasi adalah proses yang dilandasi dengan seperangkat rencana dan kebijaksanaan yang disadari untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan masyarakat yang kontemporer yang menurut penilaian lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu.



Syarat-syarat Modernisasi
Modernisasi tidak sama dengan reformasi yang menekankan pada faktor rehabilitasi, modernisasi bersifat preventif, dan kontraktif agar proses tersebut tidak mengarah pada angan-angan. Modernisasi dapat terwujud melalui beberapa syarat, yaitu:

Cara berfikir ilmiah yang institutionalized dalam kelas penguasa maupun masyarakat. Hal ini menghendaki sistem pendidikan dana pengajaran yang terencana dengan 
Sistem administrasi negara yang baik yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu atau lembaga tertentu.

Penciptaan iklim yang baik dan teratur dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat komunikasi massa.hal ini harus dilakukan tahap demi tahap, karena banyak sangkut pautnya dengan sistem kepercayaan. Tingkat organisasi yang tinggi, di satu pihak disiplin tinggi bagi pihak lain di pihak pengurangan kepercayaan. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaannya.


Ciri-ciri modernisasi
Moidernisasi merupakan salah satu modal kehidupan yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:


  • Kebutuhan materi dan ajang persaingan kebutuhan manusia.
  • Kemajuan teknologi dan industrialisasi, individualisasi, sekularisasi, diferensiasi, dan akulturasi.
  • Modernisasi banyak memberikan kemudahan bagi manusia.
  • Berkat jasanya, hampir semua keinginan manusia terpenuhi.
  • Modernisasi juga memberikan melahirkan teori baru.
  • Mekanisme masyarakat berubah menuju prinsip dan logika ekonomi serta orientasi kebendaan yang berlebihan.
  • Kehidupan seseorang perhatian religiusnya dicurahkan untuk bekerja dan menumpuk kekayaan.



Peradaban Indonesia di Tengah Modernisasi dan Globalisasi
Arus modernisasi dan globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan sulit untuk dikendalikan, terutama  karena begitu  cepatnya informasi yang masuk keseluruh belahan dunia. Hal ini membawa pengaruh bagi seluruh  bangsa didunia, termasuk didalamnya bangsa indonesia. Dengan perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi, maka dunia menjadi sempit,ruang dan waktu menjadi sangat relatif, dan  dalam banyak  hal batas-batas negara sering menjadi kabur bahkan mulai tidak relavan. Dinding pembatas antar bangsa menjadi semakin terbuka bahkan mulai hanyut oleh arus perubahan. Oleh karena itu, indonesia menghadapi kewajiban ganda, disatu pihak melestarikan warisan budaya bangsa dan dipihak lain membangun kebudayaan nasional yang modern.

Tujuan akhir dari kedua usaha atau kewajiban ini adalah masyarakat modern yang tipikal indonesia, masyarkat yang tidak hanya mampu membangun dirinya sederajat dengan bangsa lain, tetapi juga tangguh menghadapi tantangan  kemerosotan mutu lingkungaan hidup akibat arus ilmu dan teknologi modern maupun menghadapi tren global yang membawa daya tarik kuat kearah pola hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa (Indra Siswarini, 2006:16).

Pertanyaannya, mampukah kita membangun bangsa ditengah-tengah modernisasi dan globalisasi dalam  arus yang semakin kuat? Jika jawaban “ya”, maka kita  akan mampu menjadi negara maju yang masih berjati diri indonesia. Jika “tidak”, maka selamanya kita akan menjadi bangsa yang terjajah. Salah satu  yang bisa menjawab “ya” adalah  peranan lembaga  pendidikan untuk terus menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi tanpa menghilangkan jati diri indonesia melalui pelestarian nilai-nilai dan  moral bangsa indonesia.  



Globalisasi Kebudayaan
Globalisasi kebudayaan adalah proses dimana informasi, komoditas dan gambaran yang telah diproduksi di salah satu  dunia masuk kedalam sebuah aliran global yang cenderung menipiskan perbedaan-perbedaan kebudayaan antara bangsa-bangsa, wilayah-wilayah dan individu. Ini terkadang digambarkan sebagai proses  McDonaldisasi (proses dimana komoditas-komoditas global dan praktik-praktik perdagangan dan pemasaran yang terkait  dengan industri makanan cepat-saji menjadi mendominasi sektor-sektor ekonomi). Didorong, sebagian, oleh pertumbuhan perusahaan-perusahaan transnasional dan munculnya komoditas-komoditas global, globalisasi kebudayaan juga didorong oleh apa yang disebut ‘revolusi informasi’, penyebaran teknologi informasi dan internet, dan perusahaan-perusahaan media global. Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, kebudayaan meloloskan dan sekaligus membatasi kekuatan-kekuatan globalisasi. Disamping penyebaran film-film hollywood, sepatu olahraga  nike,dan rumah kopi Starbucks, penjualan barang-barang ke seluruh dunia memerlukan kepekaan terhadap kebudayaan dan praktik sosial pribumi.



Globalisasi Politik
Globalisasi politik  terlihat pada semakin pentingnya peran organisasi-organisasi internasional. Meraka adalah organisasi-organisasi yang bersifat transnasional dimana wilayah kerja mereka mencakup area internasional yang mencakup beberapa negara. Kebanyakan organisasi semacam itu muncul pada periode pasca 1945: contohnya termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, NATO, komunitas ekonomi eropa dan berbagai penerusnya, dewan ekonomi dan uni eropa dan berbagai penerusnya, Dewan Ekonomi Eropa, dan Uni Eropa, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), organisasi kerja sama dan pengembangan ekonomi (OECD) dan organisasi perdagangan dunia (WTO). Ketika mereka menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip intergovermentalisme organisasi-organisasi internasional  menyediakan sebuah mekanisme yang memungkinkan negara-negara, paling tidak dalam teori, untuk melakukan aksi bersama tanpa mengorbankan kedaulatan nasional. Badan-badan supranasional, disisi lain, mampu memaksakan kehendak mereka pada negara-negara nasional. Penekanan antar-negara dari globalisasi politik memisahkannya  dari konsep-konsep globalisasi ekonomi dan kebudayaan, yang memperlihatkan  peran dari pelaku-pelaku non negara dan berbasis-pasar. Lebih lanjut, sejauh ini merefleksikan sebuah komitmen  idealis pada internasionalisme dan sebagian bentuk pemerintahan-dunia, globalisasi politik masih jauh tertinggal dibelakang globalisasi  ekonomi dan kebudayaan. Sementara sebuah negara global masih  merupakan prospek yang sangat jauh, masyarakat sipil global, yang berbasis pada aktivitas-aktivitas dari perusahaan-perusahaan transnasioanal (TNCs), Organisasi-organisasi non-pemerintahan (NGOs) dan kelompok-kelompok pengaruh internasional, telah menjadi realitas.     

Globalisasi Ekonomi
Globalisasi  ekonomi tercermin dalam ide bahwa tidak ada ekonomi nasional sekarang ini yang terpisah atau menyendiri: semua ekonomi, sedikit atau banyak telah diserap kedalam sebuah ekonomi global yang salaing terkait. OECD (1995) karenanya mendefenisikan globalisasi sebagai ‘sebuah pergeseran dari sebuah dunia ekonomi-ekonomi nasional yang berbeda-beda menuju sebuah ekonomi global dimana produksi diinternasionalisasi dan modal finanlisial mengalir secara bebas dan instan keseluruh penjuru dunia ’. runtuhnya komunisme memberi dorongan kuat bagi globalisasi ekonomi, dimana ia melancarkan jalan bagi penyerapan, kedalam sistem kapitalis  global, blok negara-negara besar terakhir yang masih tersisa  diluar. Globalisasi ekonomi, dengan demikian juga membantu mempercepat runtuhnya komunisme, dimana hambatan-hambatan perdagangan yang lebih rendah, sebuah  usaha untuk mengendalikan nilai-tukar dan gerakan  modal investasi yang lebih bebas sejak 1980-an telah  membantu  memperlebar kesenjangan ekonomi antara barat kapitalis dan timur komunis yang stagnan. Salah satu implikasi penting dari globalisasi ekonomi adalah berkurangnya kapasitas pemerintahan-pemerintahan nasional untuk mengatur dan mengelola ekonomi-ekonomi mereka dan, terutama, untuk menolak restrukturisasi mereka selaras dengan garis-garis pasar bebas.



ANCAMAN GLOBALISASI BAGI KEBUDAYAAN



3.1. Ancaman globalisasi

Gambaran umum tentang globalisasi adalah bahwa ia merupakan sebuah proses yang bersifat top-down yaitu pembentukan sebuah sistem global tunggal yang menjejakkan kaki-kakinnya diseluruh belahan dunia. Dalam pandangan  ini, globalisasi terkait dengan Homogenisasi, dimana keragaman kebudayaan, sosial,ekonomi dan politik dihancurkan disebuah dunia dimana kita  semua menyaksikan program-program televisi yang sama, memakan makanan yang sama, membeli komoditas-komoditas  yang sama, mendukung  bintang-bintang olahraga yang sama dan  mengikuti gaya-gaya antik dari selebritis-selebritis yang sama. Akan tetapi, globalisasi sering kali berjalan beriringan dengan lokalisasi, regionalisasi, dan multikulturalisme. Ini terjadi karena  beragam alasan.

Pertama, menurunnya kemampuan negara-nasional untuk  mengorganisasikan kehidupan ekonomi dan politik dalam sebuah cara yang bermakna menyebabkan kekuasaan menjadi tersedot kebawah, atau sebaliknya, tergencet keatas. Maka kesetiaan-kesetiaan yang didasarkan  pada  nasionalisme kebangsaan dan politik  menjadi sirna, dan banyak digantikan oleh kesetiaan-kesetiaan yang terkait dengan komunitas atau wilayah lokal, atau identitas keagamaan dan etnis. Fundamentalisme keagamaan, dapat karenanya, dilihat sebagai sebuah respon terhadap globalisasi.

Kedua, ketakutan atau ancaman akan homoginesasi, khususnya ketika ia dipahamisebagai suatu bentuk imperialisme, yang mendorong munculnya perlawanan kebudayaan dan politik. Ini dapat membawa pada kemunculan-kembali ketertarikan pada bahasa-bahasa yang telah mengalami penurunan dan  kebudayaan-kebudayaan minoritas, dan juga serangan balik terhadap globalisasi, paling jelas melalui  munculnya gerakan-gerakan ‘anti-kapitalis’ dan anti perdagangan bebas.

Ketiga, dari pada sekedar menghasilkan sebuah kebudayaan tunggal global, globalisasi dalam sebagian cara telah membentuk pola-pola keragaman sosial dan kebudayaan yang lebih kompleks di negara-negara berkembang maupun negara maju. Di negara-negara berkembang, barang-barang dan gambaran-gambaran konsumen Barat telah diserap  kedalam praktik-praktik kebudayaan yang lebih tradisional melalui sebuah proses Indigenisasi (proses melalui barang-barang dan praktik-praktik asing diserap dengan diadaptasikan pada kebutuhan-kebutuhan dan keadaan-keadaan lokal) atau  pribuminisasi. Negara-negara maju, juga  tidak bisa  lepas dari  dampak  yang  lebih luas dari pertukaran kebudayaan, sebagai balasan bagi Coca-cola, McDonald dan MTV, dan semakin dipengaruhi oleh agama-agama non Barat; praktik-praktik pengobatan dan terapi; dan  kesenian, music dan kesustraan.

3.2. Bangkitnya globalisasi neoliberal

Tidak ada yang baru tentang proses globalisasi ekonomi. Pengembangan struktur-struktur ekonomi lintas batas dan lintas negara telah  menjadi ciri sentral dari imperialisme dan, dapat diargumenkan, bahwa titik-tinggi globalisasi ekonomi telah mulai tercapai pada akhir abad ke-19 dengan berlangsungnya persaingan  negara-negara eropa untuk  membangun koloni-koloni diafrika  dan asia. Akan  tetapi bentuk-bentuk globalisasi lama, terkadang dipandang sebagai proto globalisasi, biasanya membangun organisasi-organisasi transnasional di balik proyek-proyek politik ekspansionis.tanpa memandang penyebaran dan keberhasilan mereka,inperium-inperium tidak pernah berhasil menghapus batasan-batasan wilayah; mereka hanya sebatas mengatur wilayah-wilayah tersebut menurut kepentingan kekuasaan-kekuasaan politik yang dominan,sering kali membentuk batasan-batasan baru antara dunia yang  ‘berperadaban’ dan dunia ‘barbarian’. Dalam kasus fenomena globalisasi masa kini, kontra dengan itu, jaringan  saling keterkaitan dan saing ketergantungan ekonomi telah  begitu meluas sehingga memungkinkan, untuk pertama kalinya, untuk melihat ekonomi dunia sebagai  sebuah entitas global tunggal. Ini adalah pengertian  dimana kehidupan ekonomi telah  menjadi ‘tak-terbatas’.

Satu perbedaan lebih lanjut adalah bahwa globalisasi diperiode modern telah berjalan beriringan dengan kemajuan neoliberalisme, sehingga kedua kekuatan tersebut biasa dianggap sebagai bagian dari fenomena yang sama yang lebih besar: globalisai neoliberal. Mengapa globalisasi ekonomi dan neoliberalisme terkait begitu erat? Ini dapat dilihat terjadi karena beberapa alasan. Terutama, pesaingan  internasional yang semakin ketat mendorong  pemerintahan-pemerintahan untuk  melakukan deregulasi ekonomi dan penurunan tingkat pajak dengan harapan dapat menarik investasi dan mencegah pindahnya pindahnya perusahaan-perusahaan transnasional. Tekanan yang kuat bagi penurunan belanja publik, dan terutama anggaran-anggaran kesejahteraan, dengan fakta bahwa, dalam sebuah konteks persaingan global yang semakin meninggi, pengendalian inflasi telah menggantikan pemeliharaan tingkat pekerjaaan penuh sebagai tujuan kebijakan ekonomi.

Tekanan-tekanan semacam itu, bersama dengan bangkitnya kembali tingkat pertumbuhan dan produktivitas dari ekonomi AS dan keinerja yang relatif terus maju dari model-model kapitalisme nasional lain, terutama dijepang, dan dijerman, berarti bahwa pada akhir 1990-an neoliberalisme tampak menjadi ideologi yang dominan dari ekonomi dunia ‘baru’. Hanya sedikit negara, seperti  misalnya cina, yang mampu menghadapi globalisasi neoliberal dengan cara mereka sendiri, membatasi keterlibatan mereka dalam kompetisi dengan, misalnya mempertahankan tingkat pertukaran mereka  yang rendah.

Pemebentukan  kembali ekonomi yang selaras dengan garis-garis neoliberal juga didorong oleh konversi, selama 1990-an, dari lembaga-lembaga pengatur ekonomi global, khususnya bank dunia dan dana Moneter Internasional (IMF), menuju ide-ide dari apa yang selama 1990-an kemudian disebut dengan ‘Konsensus Wasingshington’. Ini mendorong negara-negara berkembang dan, setelah runtuhnya komunisme, negara-negara transisi, untuk menjalankan kebijakan-kebijakan seperti perdagangan bebas, liberalisasi pasar modal, tingkat pertukaran yang fleksibel, anggaran-anggaran yang seimbang, dan sebagainya. Kemajuan globalisasi neoliberal bertepatan  tidak hanya dengan tiga dekade pertumbuhan di  AS dan peningkatan ekonominya yang baru pada 1990-an, tetapi juga tiga dekade pertumbuhan ekonomi dalam dunia. Ini mendorong para pendukung neoliberalisme untuk berargumen bahwa model pertumbuhannya  telah jelas memperlihatkan keunggulannya atas ortodoksi keynesian lama, yang bagaimanapun, telah menurun sejak keluarnya AS dari sistem  tingkat pertukaran tetap Bretton Wood pada  1971.

Inti dari model pertumbuhan neoliberal adalah pasar-pasar finansial dan proses ‘finansialisasi’. Ini dimungkinkan oleh  ekspansi besar-besaran pada sektor finansial dari ekonomi, yang menjelaskan meningkatnya pengaruh dari  Wall Street, City of London, Frankfurt, singapura dan  lain.dalam proses tersebut, kapitalisme berubah menjadi ‘kapitalisme turbu’, yang mengambil manfaat dari aliran-aliran uang yang sangat meluas yang sedang mencari muara dalam investasi yang semakin meningkat dan  konsumsi yang lebih tinggi. Meskipun proses ini melibatkan  sebuah pertumbuhan yang cukup besar dan utang negara dan sering kali swasta, ini dianggap akan tetap  stabil terkait dengan landasan pertumbuhan yang disokong oleh utang tersebut. Ciri-ciri penting dari model pertumbuhan neoliberal diantaranya adalah keyakinana yang kuat pada pasar-pasar terbuka dan liberalisasi perdagangan, yang mendorong, setelah 1995, pembentukan WTO, dan sebuah pergeseran pada banyak ekonomi maju dari bidang manufaktur semakin banyak  diekspor kenegara-negara berkembang dimana tenaga kerja dan biaya-biaya lainnya lebih rendah.

3.3. Modernitas dan konsekuensi-konsekuensinya menurut Anthony Giddens

Analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah pandangannya mengenai modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani. Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorinya mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional.

Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tidak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai. Di sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan. Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.

Giddens juga melihat modernitas sekarang sebagai “juggernaut” (panser raksasa) yang lepas kontrol.

“kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tidak bermanfaat; adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kita pun takkan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh dengan bahaya”.

Istilah “juggernaut” (panser raksasa) digunakan Giddens untuk menggambarkan kehidupan modern sebagai sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway world). Citra panser raksasa dimaksudkan Giddens untuk menerangkan bahwa mekanisme modern jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang mengemudikannya. Modernitas dalam bentuk juggernaut sangatlah dinamis, dia adalah dunia yang terus berputar dengan besarnya peningkatan percepatan, cakupan, dan besarnya perubahan dari sistem-sistem yang mendahuluinya. Giddens menambahkan bahwa juggernaut tidak mengikuti alur tunggal. Terlebih lagi dia bukan hanya satu melainkan tersusun dari beberapa bagian yang saling berkonflik dan kontradiktif. Jadi, giddens mengatakan kepada kita bahwa ia tidak menawarkan satu teori besar yang telah usang atau paling tidak bukan satu narasi besar yang sederhana dan satu arah. Gagasan tentang juggernaut sangat cocok dengan teori strukturasi khususnya dengan titik tekan yang diarahkan pada teori ruang dan waktu.

Giddens mendefinisikan modernitas berdasarkan empat institusi dasar. Pertama adalah kapitalisme, yang biasanya dicirikan oleh produksi komoditas kepemilikan modal pribadi, buruh upahan yang tidak memilki hak milik dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri ini. Yang kedua adalah industrialisme, yang terdiri dari penggunaan sumber kekuasaan tak bernyawa dan mesin untuk memproduksi barang. Idustrialisme tidak tebatas pada tempat kerja, dan ia mempengaruhi setting-setting lain, seperti transportasi, komunikasi, dan kehidupan rumah tangga. Yang ketiga adalah kapasitas pengawasan yang merujuk pada supervisi aktivitas penduduk diranah politik. Yang keempat adalah dimensi institusional modernitas yaitu kekuatan militer atau kontrol atas sarana kekerasan termasuk industrialisasi perang.

Keempat institusi dasar diatas menurut Giddens saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah/ancaman yang ditimbulkan. Sebenarnya Giddens tidak secara spesifik menjelaskan mana dari empat “institusi” yang paling menonjol atau paling berperan besar. Kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknologi. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.

Giddens langsung menunjuk tiga akibat yang sekaligus mencirikan dunia modern: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan “status baru”. Jika orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskan, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain. Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau karena tidak cocok.

Modernitas menurut Giddens erat juga kaitannya dengan ruang dan waktu. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak secara fisik makin lama makin besar peluangnya. Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”, artinya “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat peristiwa itu.    


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Modernisasi dimulai di italia abad ke-15 dan tersebar kesebagian besar dunia barat dalam lima abad berikutnya. Kini gejala modernisasi telah menjalar pengaruhnya keseluruh dunia. Manifesto proses modernisasi pertama kali terlihat diinggris dengan meletusnya revolusi industri pada abad ke-18, yang mengubah cara  produksi tradisional ke modern. Arus modernisasi dan globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan sulit untuk dikendalikan, terutama  karena begitu  cepatnya informasi yang masuk keseluruh belahan dunia. Hal ini membawa pengaruh bagi seluruh  bangsa didunia, termasuk didalamnya bangsa indonesia.

Globalisasi kebudayaan adalah proses dimana informasi, komoditas dan gambaran yang telah diproduksi di salah satu  dunia masuk kedalam sebuah aliran global yang cendeung menipiskan perbedaan-perbedaan kebudayaan antara bangsa-bangsa, wilayah-wilayah dan individu. Globalisasi politik  terlihat pada semakin pentingnya peran organisasi-organisasi internasional. Globalisasi  ekonomi tercermin dalam ide bahwa tidak ada ekonomi nasional sekarang ini yang terpisah atau menyendiri: semua ekonomi, sedikit atau banyak telah diserap kedalam sebuah ekonomi global yang salaing terkait. Giddens mendefinisikan modernitas berdasarkan empat institusi dasar. Pertama adalah kapitalisme, yang biasanya dicirikan oleh produksi komoditas kepemilikan modal pribadi, buruh upahan yang tidak memilki hak milik dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri ini.

Saran
Tidak ada satu negarapun yang terlepas dari pengaruh globalisasi maupun modernisasi termasuk indonesia hal tersebut karena tidak ada suatu negara yang menutup diri dari negara lain. Proses masuknya globalisasi kesuatu negara yang notabene masih dalam kategori masih berkembang memang ada dampak negatif dan positif, untuk  mencapai suatu negara yang mampu menahan arusnya globalisasi maka harus adannya sistem proteksi agar pengaruh asing yang masuk dapat ditanggap dan direspon dengan cermat. indonesia khususnnya belum  mampu dalam memproteksi sehingga masyarakat cenderung  menerima semua unsur-unsur globalisasi dan modernisasi yang belum tentu baik. Tentunya harapan kita kedepan pemerintah harus memperkuat sistem proteksi agar negara kita tidak menjadi negara “jajahan” oleh negara maju, dan kualitas sumber  daya manusia harus diprioritaskan demi mencapai perubahan kearah yang lebih baik di sektor ekonomi, politik, hukum, sosial budaya. Tentunya sebagai bangsa indonesia dan generasi muda harus optimis menghadapi persaingan dalam era globalisasi.     



DAFTAR PUSTAKA 

Andrew Heywood “POLITIK” edisi ke-4 terjemahan, Politics 4th edition by Andrew Heywood, 1997,2002,2007,2013: ahli bahasa Ahmad Lintang Lazuardi hal. 244-252: pustaka belajar Celaban Timur UH III/548 Yogyakarta.
Elly M.Setiadi,Kama A.Hakam, Ridwan Effendi “Ilmu Sosial Budaya Dasar” edisi ke-3. Hal. 59-62. Kencana Prenadamedia Group.2006: Jakarta.
Poloma, Margaret. M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo.
Giddens,A. 1984. The Constitution of Society-Teori Struktural untuk Analisis Sosial.






*Sumber: https://www.kompasiana.com/rickoricardo/568fad91e8afbda609b8569b/makalah-globalisasi-dan-ancaman-terhadap-kebudayaan?page=all

Tag : PKn
0 Komentar untuk "Globalisasi Serta Tantangan dan Ancamannya Bagi Indonesia"

Back To Top