Sistem distrik sering dipakai di negara yang mempunyai sistem dwi-partai seperti Inggris, India, Malaysia, dan Amerika Serikat. Sistem proporsional sering diselenggar dalam negara multi-partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda, dan Indonesia. Dalam sistem distrik karena hanya dibutuhkan pluralitas suara untuk membentuk suatu pemerintahan, dan bukan mayoritas dapat terjadi bahwa partai yang menang dengan hanya memperoleh pluralitas dapat membentuk kabinet bernama minority government. Ciri khas dari sistem distrik yaitu teradi kesenjangan suara yang diperoleh oleh setiap partai lantaran suara partai kecil sering hilang lantaran tidak menjadi juara pertama di suatu distrik. Keadaan ini berpengaruh di kehidupan plural.
2.2 Keuntungan dan Kelebihan Dua Sistem
A. Keuntungan Sistem Distrik.
Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai – partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap istrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai – partai untuk menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang – kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accord.
Fragmentasi partai dan kecendrungan membentuk partai baru akan terbendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpiih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengqan demikian si wakil akan lebih cenderung akan memperjuangkan kepentingan distriknya. Lagi pula kedudukanya terhadap pimpinan partai akan lebih independen, karena faktor kepribadian seseorang merupakan faktor penting dalam kemenangan dia dan partai.
Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena memlalui distorsi efek dapat meraih suara dari pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak mengendalikan parlemen.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas nasional.
Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
B. Kelemahan Sistem Distrik
Sistem ini kurang memerhatikan kepentingan partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini bearti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
C. Keuntungan Sistem Proporsional
Sistem proporsional dianggap representatif, karena jumlah kursi partai daalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dengan pemilihan umum.
Sistem proporsional diangap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena praktis tanpa ada distorsi, yqaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted. Akibatnya, semua golongan daam masyarakat, termasuk yang kecil pun, memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen. Rasa keadilan masyarakat banyak terpenuhi.
D. Kelemahan Sistem Proporsional
Selama ini kurang mendorong partai untuk berintefrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan. Sistem ini umumnya dianggap berakibat menambah jumlah partai.
Sistemi ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru untuk pada memperoleh beberapa kursi di parlemen melalui pemilihan umum. Jadi, kurang menggalang bahwa ada peluang bagi partai baru.
Sistem proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui sitem daftar karena pemimpin partai menentukan daftar calon.
Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatanya dengan konstituenya. Pertama, karena wilayahnya lebih besar, sehingga sukar untuk dikenal orang banyak. Kedua, karena peran parta idalam meraih kemenangan lebih besar ketimbang kepribadian seseorang. Dengan demikian si wakil akan lebih terdorong untuk memerhatikan partai serta masalah umum ketimbang kepentingan distrik.
Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen, yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai yang terbesar terpaksa berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas.
2.3 Gabungan Sistem Distrik dan Sistem Proporsional
Dari uraian tadi, jelaslah bahwa kedua sistem umum memiliki segi positif dan negatif. Maka dari itu beberapa negara mencoba mengambil beberapa ciri dari sistem pemilihan umum yang lain. Singapura yang menetapan sistem distrik murni dalam pemilu 1991 menentukan bahwa sejumlah distrik diwakili 4 orang dan minimal ada 1 orang yang mewakili minoritas. Di Jerman karena banyak sekali partai pada saat itu mereka menerapkan bahwa setengah dari parlemen diisi wakil dari sistem distrik dan proporsional. Dan untuk mengurangi jumlah partai mereka menetapkan electoral threshold. Electoral threshold merupakan ambang batas suara untuk mendapatkan kursi dalam parlemen.
2.4 Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
A. Zaman Demokrasi Parlementer (1945 – 1958)
Sebenarnya pemilu sudah direncakan bulan oktober 1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu – satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Konstituante. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
Pemilihan umum diselenggarakan dengan baik, pemilihan dilakukan secara demokratis; tidak ada pembatasan partai, dan usaha mengintervensi partai, terutama antara Masyumi dan PNI. Pemilu menghasilkan 27 partai dan 257 kursi. Namun stabilitas tidak terwujud. Kabinet saat itu ternyata tidak kompak dalam menghadapi persoalan dengan konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Febuari 1957. Akhirnya banyak partai yang koalisi tidak menyetujuinya. Dengan pembubaran Konstituante maka berakhirnya zaman Demokrasi Parlementer
B. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
Sesudah mencabut Maklumat November 1945 tentang kebebasan mendirikan partai, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh partai ini adalah Masyumi, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, dan Partai Islam Perti.
C. Masalah Golput
Bahasan mengenai masa Demokrasi Pancasila tidak akan lengkap jika tidak membahasa golput. Pada pemilu 1977 ada gerakan generasi muda, terutama mahasiswa, untuk memboikot pemilihan umum karena dianggap tidak memenuhi syarat demokratis. Dari gerakan itu muncul gerakan tidak mengunjungi TPS atau sering diberi nama Golput (Golongan Putih). Secara teoritis Golput tidak termauk suara tidak sah. Tidak menggunakan hak pilih perlu disadari bahwa sering kali tidak menggunakan hak pilih disebut Goput. Mungkin orang tersebut dalam perjalanan, sakit yang tidak bisa diganggu. Tetapi tidak dipungkiri ini semakin tahun tingkat tidak memilih semakin tinggi. Gerakan golput menunjukkan kelemahan dari rezim otoriter Orde Baru.
D. Zaman Demokrasi Pancasila (1965 – 1998)
Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar dikalangan masyarkat untuk dapat mendirikan suatu sistem politik yang demokratis dan stqabil .salah satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum, pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru. Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai – partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih suatu distrik.
Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan – kebijakanya, terutama di bidang ekonomi. Jika menijau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara. Kedua, ketentuan di dalam UUD 1946 bahwa DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja.
Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi. Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini. Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan konstituenya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai menjadi tiga telah terjadi penyemputan dalam kesempatan untuk memilih menurut selera dan pendapat masing – masing sehingga dapat dipertanyakan apakah si pemilih benar – benar mencerminkan, kecendrungan, atau ada pertimbangan lain yang menjadi pedomanya.
Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde dan hal itu patut dihargai. Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasasi kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara partai – partai mengelompokkan partai – partai dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritural (PPP), Gerakan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pemilihan umum tahun 1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkanya.
E. Evaluasi Partai Politik 1945 – 1998 dan Rekomendasi
Partai politik di Indonesia yang telah berdiri sejak masa kolonial telah menjalani beberapa fase perkembangan sesuai dengan rezim yang membentuknya sudah banyak sekali perkembangan dari masa kolonial sampai ke pemerintahan Presiden Soeharto. Berikut ini merupakan usulan penyederhanaan partai politik dalam rangka membangun sistem multi-partai yang kuat dan demokratis.
Mengurangi jumlah partai politik untuk meningkatkan stabilitas politik.
Terbatasnya jumlah partai akan mempermudah partai untuk mencapai mayoritas (50%+1).
Terbatasnya jumlah partai akan mengurangi fragmentasi dan kecendrungan sentrifigural dan partai – partai.
Partai – partai kecil sebaiknya bergabung atau kerja sama memperoleh kursi dalam parlemen.
Membatasi jumlah partai misalnya dengan menentukan beberapa syarat. Salah satu syaratnya adalah bahwa partai yang memperoleh suara kurang dari ketentuan tidak diberi kursi dalam DPR, sekalipun di luar DPR partai itu eksis.
Banyak kalangan masyarakat tidak menyetujui penggabungan partai – partai menjadi tiga partai yang diadakan di zaman Orde Baru karena adanya unsur paksaan di dalamnya.
Massa mengambang dalam zaman Orde Baru dianggap tidak fair dan perlu dihapuskan.
F. Zaman Reformasi
Seperti di bidang – bidang lain. Reformasi membawa beberapa perubahan – perubahan yang fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melalui MPR. Ketiga, diadakanya pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakanya “electoral threshold”, yaitu ketentuan bahwa untuk pemilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal ketentuan kursi anggota legislatif pusat.
2.7 Rangkuman Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Secara ringkas pemilu di Indonesia sejak tahun 1955 sampai tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Tahun
Pemilihan Umum
|
Sistem
Pemilihan Umum 1955 – 2004
|
1955
|
Menggunakan
Sistem Proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan
jumlah penduduk. Setiap 300.000 penduduk diwakili 1 anggota DPR. Menggunakan
Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar Bebas. Pemilih dapat memberikan
suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar dan juga diberikan kepada
partai. Suara yang diberikan kepada calon akan diperhitungkan sebagai
perolehan calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai
akan diberikat kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang secara peorangan,
tanpa melalui partai, juga dapat menjadi peserta pemilu.
Calon yang
dipilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih
Daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai BPPD, suara
yang diberikan kepada partai akan menentukan. Calon dengan nomor urut teratas
akan diberi oleh suara partai, namun proritas diberikan kepada calon yang
memperoleh suara melampaui setengah BPPD.
Kursi
yang tidak habis dalam pembagian di daerah pemilihan akan dibagi di tingkat
pusat dengan menjumlahkan sisa – sisa suara dari daerah – daerah pemilihan
yang tidak terkonversi menjadi kursi.
|
Tahun
Pemilihan Umum
|
Sistem
Pemilihan Umum 1955 – 2004
|
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
|
Menggunakan Sistem Proporsional dengqan Stelsel Daftar Tertutup.
Pemilih memberikan suara hanya kepada partai, dan partai akan memberikan
suaranya kepada calon dengan nomor urut terbatas. Suara akan diberikan kepada
calon teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1 kursi. Untuk pemilihan
umum anggota DPR Daerah, pemilihanya adalah wilayah provinsi; sedangkan untuk
DPRD I, daerah adalah pemilihanya adalah satu provinsi yang bersangkutan; dan
untuk DPRD II daerah pemilihanya wilayah Dati II yang bersangkutan. Namun ada
sedikit warna Sistem Distrik di dalamnya, karena setiap kabutapaten diberi
jatah 1 kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut.
Pada
pemilihan umum tahun – tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000
penduduk.
|
2004
|
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga
legislatif, yaitu DPD ( Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilihan umum
anggota DPD menggunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak (4 kursi
untuk setiap provinsi). Daerah pemilihanya adalah wilayah provinsi.
Pesertanya adala individu. Karena setiap provinsi atau daerah pemilihan
mempunyai jatah 4 kursi, dan suara dari kontestan yang kalah tidak bisa
dipindahkan atau diahlikan, maka sistem yang digunakan di sini dapat disebut
Sistem Distrik dengan wakil banyak.
Untuk
pemilihan anggota DPR dan DPD digunakan Sistem Proporsional dengan Stelsel
Daftar Terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung
kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini pemilih memberikan suaranya kepada
partai, alon yang ebrada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk
terpiliha karena suara yang diberikan kepad apartai menjadi hak calon yang
berada di urutan terataws. Jadi ada kemiripan pada Pemilu 1955 dan 2004.
Bedanya, pada Pemilu 1955 prioritas untuk memberikan suara partai kepada
calon yang mencukupi.
|
Tahun
Pemilihan Umum
|
Sistem
Pemilihan Umum 1995 – 2004
|
|
Ada warna
Sistem Distrik dalam perhitungan perolehan kursi DPR dan DPRD pada Pemilihan
umum 2004, yaitu suara perolehan suatu partai di sebua daerah pemilihan yang
tidak cukup untuk satu BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) tidak bisa ditambahkan
ke perolehan partai di daerah pemilihan lain, misalnya untuk ditambahkan agar
cukup untuk satu kursi. Ini adalah ciri sistem distrik, bukan sistem proporsional.
Dari sudut
pandang gender, Pemilihan Umum 2004 secarqa tegas memberi peluang lebih besar
secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU No. 12/2003 menyatakan
bahwa setiap partai politik dapat mengajikan calon anggota DPR dan DPRD dengan
memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang – kurangnya 30% untuk setiap
daerah pemilihan. Ini adalah sebuah kemajuan yang lain lagi yang ada pada
Pemilihan Umum 2004.
Juga ada
paya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah partai melalui cara
yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi partai – partai yang
akan menjadi peserta pemilihan umum. Ada sejumlah syarat, baik administratif
maupun substansial, yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk bisa menjadi
peserta pemilihan umum, antara lain ditentukanya electoral treshold dengan memperoleh sekurang – kurangnya 3%
jumlah kursis anggota badan legislatif pusat, memperoleh sekurang – kurangnya
4% jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar sekurang – kurangnya di
setengah jumlah provinsi di Indonesia; atau memperoleh sekurang – kurangnya
4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/kota di Indonesia. Untuk pemilihan presiden
dan wakil presiden, memperoleh sekurang – kurangnya 3% jumlah kursi dalam
badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.
|
0 Komentar untuk "Sistem Pemilihan Umum"