BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan salah satu agama yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Masuknya Islam di Indonesia yang secara damai membuat masyarakat menerima Islam meskipun sebelumnya telah berkembang berbagai kebudayaan dan aneka ritual yang bersifat lokal. Masyarakat Jawa sendiri merupakan masyarakat yang sudah memiliki bermacam-macam budaya yang bahkan berkembang sebelum kedatangan Islam. Pasca Islam masuk, tidak serta merta menggeser keberadaan budaya lokal.
Selain itu upaya islamisasi yang dilakukan oleh para tokoh Islam di Indonesia pada masa awal sengaja menggunakan pendekatan budaya sebagai sarana dakwah. Hal ini membuat adanya kontak antara kebudayaan dan ritual lokal dengan budaya Islam. Sebagian besar dari kontak yang terjadi akan menimbulkan proses akulturasi, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi asimilasi atau pun sinkretisme. Proses akulturasi antara budaya Islam dengan kebudayaan lokal terutama ritual menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas karena keduanya saling menyatu dan diterima baik oleh masyarakat.
Adapun aspek kemasyarakatan nya seperti adanya hukum adat merupakan bentuk adaptasi tersebut. Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan membahas tentang interelasi nilai islam dan nilai jawa dalam tradisi, upacara, dan sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Interelasi Nilai Islam dan Nilai Jawa pada Tradisi dan Upacara Adat
Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari berbagai ritual keagamaan. Ritual ini telah ada sejak sebelum kedatangan Islam di Indonesia. masyarakat Jawa memiliki kepercayaan terhadap keberadaan roh halus pada setiap benda (animisme). Orang Jawa mempercayai keberadaan roh baik dan roh jahat di berbagai tempat. Roh jahat dipercaya akan mengganggu manusia setiap saat, dan baru berhenti ketika diberikan sesaji. Pemberian sesaji harus dilakukan melalui serangkaian upacara. Sesaji dipersembahkan kepada roh yang biasanya bermukim di pohon beringin, kuburan-kuburan, atau tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Pemberian sesaji dilakukan dalam bentuk upacara. Upacara juga dilakukan untuk meminta berkah dari roh baik. untuk melestarikan upacara pemujaan itu, masyarakat membuat patung dari batu sebagai tempat-tempat pemujaan nenek moyang.
Mereka juga membuat bunyi-bunyian, tari-tarian, dan bayang-bayang nenek moyang sebagai penyempurna jalannya upacara. Hal ini bertujuan agar roh nenek moyang berkenan menerima permohonan keselamatan yang mereka minta. Salah satu upacara yang dianut oleh masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan atau wilujengan merupakan salah satu upacara pokok dari hampir seluruh ritus dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya.
Slametan ini biasanya dilakukan di salah satu rumah yang memiliki hajat tertentu, dengan mengundang keluarga dan tetangga terutama yang laki-laki. Slametan seringkali diadakan pada malam hari. Slametan dilakukan untuk memperingati beberapa hal seperti kelahiran, pernikahan, dan juga kematian. Upacara dalam masyarakat Jawa beragam jenisnya yang meliputi upacara tingkeban, nyepasar/kekah, sunatan/selam, perkawinan, hingga kematian.
Upacara Tingkeban yang dilakukan ketika kandungan berusia 7 bulan, maka dari itu, orang Jawa juga sering menyebut tingkeban dengan slametan mitoni. Dalam upacara ini biasanya dihidangkan 7 buah nasi tumpeng dengan 7 macam lauk-pauk dan 7 macam wadah dengan warna yang berbeda-beda pula. Setiap hidangan memiliki makna yang melambangkan kelahiran yang cepat dan selamat.
Upacara slametan ini biasanya diadakan pada hari Setu Wage dalam bulan ketujuh kandungan. Hari Setu Wage dipilih karena dianggap sama dengan istilah metu age, atau lekas keluar. Sejak diadakannya upacara mitoni, calon ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan ghaib atau ucapan mantera-mantera.
Upacara tingkeban jawa pra islam diakulturasikan dengan tradisi islam. Dalam tradisi santri, upacara tingkeban ini seperti yang dilakukan di daerah Bagelen dibacakan nyanyian perjanjen dengan alat musik tamburin kecil. Nyanyian ini dibawakan oleh empat orang dan di hadapan mereka duduk sekitar 12 orang yang turut menyanyi. Nyanyian perjanjen ini sesungguhnya merupakan riwayat Nabi Muhammad yang bersumber dari kitab Barzanji.
Upacara kelahiran. Ketika bayi lahir, dukun bayi akan memotong tali pusar bayi dengan menggunakan pisau yang terbuat dari bambu (welat), sambil menggumamkan mantera-mantera. Setelah itu dukun bayi akan memandikan bayi dan memberikan minum berupa ramuan yang terbuat dari madu, sari sunthi, dan daun kelor.
Dukun bayi juga akan menaruh ari-ari pada bejana tanah liat. Untuk anak laki-laki, ari-ari dalam bejana dapat dibuang ke kali atau dikubur di bagian belakang rumah, sementara untuk anak perempuan, ari-arinya dapat dikubur di depan rumah bagian kanan. Dalam bejana biasanya juga disertai dengan benda perlambang seperti sehelai kertas yang bertuliskan aksara Jawa yang ditulis dengan jarum atau canthing.
Sedangkan adat islam pelakasanaan upacara kelahiran dilakukan pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut, pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasar. Karena itu slametan pada upacara ini disebut dengan korban aqiqah yang diucapkan dalam lidah Jawa kekah, ditandai dengan penyembelihan hewan akikah berupa kambing dua ekor bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.
Selanjutnya tradisi islam ada upacara sunatan yang dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Namun pada usia anak itu dikhitan, pada berbagai masyarakat pelaksanaannya berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya antara usia empat dampai delapan tahun, dan juga antara usia 12 sampai 14 tahun. Pelaksanaan khitan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang islam. karena itu seringkali sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelamaken, yang mengandung makna mengislamkan (ngislamaken).
Upacara perkawinan. Dalam upacara ini disediakan sesaji bojawali. Bagi pengantin yang keduanya berstatus bujang (jejaka dan perawan) menyediakan sesaji yang memiliki makna antara lain daun sirih, pisang sanggan, dan tumpeng tulung. Untuk pengantin yang sudah berkeluarga (misalnya duda atau janda) menggunakan sesaji pancareksajati yang di dalamnya juga berisi sesaji dengan makna tertentu. Upacara perkawinan dalam masyarakat Jawa terdiri dari berbagai rangkaian acara mulai dari lamaran, pasok tukon, liru kalpika, siraman, midadareni, dan panggih.
Upacara perkawinan, dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syariat islam yakni akad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni pada tahap sebelum aqad nikah, tahap akad nikah, dan tahap sesudah akad nikah (ngundhuh manten, resepsi pengantin).
Upacara kematian. Pada upacara kematian akan diadakan slametan mulai dari surtanah, telung dinane, pitung dinane, patang puluh dinane, satus dinane, setahun, rong tahun, lan nyewu (hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun dan ke-1000). Dalam upacara slametan kematian ini terdapat sesaji lengkap mulai dari tumpeng, ingkung, sega gulung dan jajan.
Upacara kematian, upacara untuk orang-orang yang meninggal setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari, merupakan budaya lokal yang berlaku di Jawa, upacara tersebut disebut “selamatan” dari kata Islam dan salam, yakni kedamaian atau kesejahteraan. Upacara ini kemudian disebut tahlilan dari kata tahlil, yakni lafal la ilaha illa Allah secara bersama-sama. Tahlilan kirim doa kepada leluhur terkadang dilakukan oleh keluarga secara bersama-sama pada saat-saat ziarah kubur, khususnya pada waktu menjelang bulan Ramadhan. Upacara ziarah kubur ini disebut upacara nyadran.
C. Pengertian Sastra
Menurut Teeuw sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Jamil bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari akar kata 'sas' yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk. Akhiran 'tra' menunjuk pada alat, sarana sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk , buku intruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra). Su artinya baik, indah. Sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah . Sedangkan sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.Istilah sastra dalam bahasa inggris juga dikenal sebagai literatur yang menunjuk pada karya tulis atau karya yang dicetak.
Berbicara tentang sastra takkan lepas dari fungsi sastra. Fungsi sastra ialah mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Suatu karya sastra diaktakan memiliki keindahan karena sastra yang diungkap melalui prosa, puisi, ataupun drama. Yang terpenting mengenai fungsi karya sastra yaitu memiliki nilai hiburan dan nilai didaktik, dapat juga bernilai hiburan dan mengajarkan pesan moral.
D. Periodisasi Sastra Jawa
Dalam perkembangan sastra Jawa, terdapat beberapa penggolongan hasil karya sastra, diantaranya berdasar kaitannya dengan kurun waktu, yakni sastra Jawa Kuno, Jawa baru dan Jawa modern. Ada pula pembabakan berdasar pada kerajaan, yakni sastra zaman Hindu, zaman Majapahit, zaman Islam, zaman Mataram dan sesudah Mataram. Sedangkan Pigeaud memperinci periodisasi sastra jawa berdasar pengaruh kebudayaan, yaitu:
1. Periode pertama adalah pra-Islam (900-1500M), dimana manuskrip-manuskrip Jawa kuno sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Periode ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Dari perkembangan kebudayaan Jawa ditemukan bukti bahwa kebudayaan Hindu sangat berperan dalam pembentukan sastra Jawa Kuno, mulai dari pengenalan huruf sampai pada sastra keagamaan, seperti Mahabrata dan Ramayana yang mengandung ajaran moral.
2. Periode kedua adalah periode Jawa-Bali. Pada periode ini sastra Jawa berada dalam lingkup pengaruh raja Hindu di Bali. Sastra jawa dipelihara dan dilestarikan di Bali oleh orang-orang Hindu Majapahit yang lari ke Bali karena tidak mau memeluk Islam.
3. Periode ketiga adalah era sastra pesisiran. Daerah-daerah pesisir utara Jawa yang menjadi pusat perdagangan seperti Surabaya, Gresik, Jepara, Demak, Cirebon dan Banten merupakan pusat munculnya sastra Jawa pesisiran.
Periodesasi sastra juga telah dikenalkan pada era walisongo. Walisongo sebagai pelopor dakwah dengan seni dan sastra budaya di Jawa. Walisongo adalah sejumlah guru besar atau ulama' yang berjumlah sembilan yang diberi tugas untuk dakwah islamiyah di wilayah tertentu. Walisongo mencapai sukses besar dalam syiar Islam di tanah Jawa ini. Selain ahli dalam bidang keagamaan, Walisongo juga memasuki ranah-ranah seni dan budaya masyarakat. Mereka gemar dengan kebudayaan dan sastra daerah. Walisongo menciptakan syair-syair atau puisi dan tembang-tembang atau lagu dengan memasukkan ajaran Islam di dalamnya dalam berdakwah.
E. Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Bidang Sastra
Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Mantra dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair. Dalam tradisi jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan . Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya,contohnya:
Wangsalan:
Jenang sela (apu)
Wader kali sesonderan (sepat)
Apuran to
Yen wonten lepat kawula
Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah tembang
Sinom:
Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem wangi
Kayu malang munggen wangan
Sun wota sabudineki
Roning kacang wak mami
Yen tan panggih sira nglayung
oya mijil sing wiyat
Roning pisang leash ing wit
Edanira tan waras dening usada
Parikan:
Tjengkir wungu , wungune ketiban ndaru.
Wis pestimu, kowe pisah karo aku
Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan. Keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat pembangunan moral. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam.
Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini,karena pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum banyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-Islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan dalam perkembangannya pujangga keraton aktif dalam karya sastranya untuk tujuan politik keraton. Sementara itu, kalangan rakyat banyak mengembangkan sastra yang bernuansa religius untuk kepentingan pengenalan ajaran islam. Dan semua karya sastra jawa baru yang sering digunakan pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita, dan Susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang/macapat) dalam menyusun karya -karya sastranya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit.
Walaupun demikian, warna islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:
1. Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2. Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasehat kepada siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa baru:
1. Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
a. Serat warganya (1784), memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.
b. Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
c. Serat sriyatna, memakai tembang dhandanggula (15 bait),
d. Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur (12bait),
e. Serat paliatma (1793), memakai tembang mijil (11 bait) dan tembang pucung (11 bait),
f. Serta seloka tama (1799), memakai tembang mijil (31 bait),
g. Serat dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula (12 bait), tembangkinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait),
h. Tembang triparma, memakai tembang dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
i. Serat wedhatama, memakai tembang pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur(14 bait) dan sinom (18 bait).
2. Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
a. Serat katalida, memakai tembang sinom (2 bait)
b. Serat sabjati, memakai tembang megathruh (19 bait)
c. Serat sandhatama, memakai tembang gambuh (22 bait)
d. Serat wedharaga, memakai tembang gambuh (38 bait)
3. Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :
a.Sastra wulangeh, yang memakai tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi(16 bait), gambuh (17bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh(17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait).
Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru diantaranya:
1. Masalah Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan implementasi, bagi setiap umat islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki prajurit sangat diperlukan dalam menghadapi era globalisasi yang akan membentuk moral manusia, yang akan melahirkan generasi yang handal dan memiliki kemampuan daya saing tinggi.
2. Mendekatkan diri pada Tuhan, dalam SeranayaKawara, dengan implementasi, mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila selalu mendekatkan diri kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya.
3. Memiliki moral yang baik, dalam serat Selokatama, dengan implementasi, setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah, karena dengan perilaku tersebut seseorang akan terhindar dari perilaku yang jahat.
Dalam sastra jawa yang dipakai adalah satra pujangga keraton surakarta yang memiliki mentrum Islam, yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana, dhandhanggula, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh. Maksud dari keterkaitan antara Islam dan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral.
Pada zaman kontemporer karya-karya Jawa Islami sulit ditemukan karena kebanyakan pembuat puisi masih enggan membuat puisi yang islami. kebanyakan mereka membuat karya-karya sastra yang nJawani dari pada islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang njawani.Tetapi walaupun demikian, masih ada penyair yang mengungkapkan ide-idenya lewat tembang macapat dengan warna Islami. Diantara contohnya adalah Tembang Pocung “Bektiya Mring Pangeran”, dan Tembang Gambuh “Bektiyo Marang Wong Tuwamu”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang memiliki berbagai ritual keagamaan yang bervariasi. Ritual keagamaan ini bahkan sudah ada sejak berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan akan adanya roh menjadikan masyarakat Jawa melakukan ritual demi mengusir gangguan roh jahat.
Selain itu ritual yang dilakukan oleh orang Jawa juga bertujuan untuk mengharap berkah dari nenek moyang mereka. Ritual atau upacara keagamaan di Jawa yang berkembang sebelum kedatangan Islam antara lain, tingkeban, upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian. Secara keseluruhan ritual tersebut mengandung makna-makna tertentu. Pasca kedatangan Islam, ritual-ritual tersebut mulai mengalami akulturasi dengan budaya Islam. Kedatangan Islam mewarnai ritual-ritual lokal Jawa sehingga keduanya dapat menyatu dan menjadi kebudayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa.
Proses akulturasi antara budaya Islam dan ritual masyarakat Jawa ini tidak serta merta terjadi secara instan, tetapi diperlukan proses panjang yang akhirnya membuat masyarakat Jawa lambat laun menerima keberadaan budaya Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Anasom, dkk. 2004. Merumuskan Interelasi Islam–Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Jamil, Abdul. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Tjadrasasmita, Uka. 2006. Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI.
http://asa-2009.blogspot.com/2012/02/interrelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html (diakses pada 14 Mei 2019)
http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html. (diakses pada 14 Mei 2019)
https://wawasansejarah.com/akulturasi-budaya-islam-dan-ritual-jawa (diakses pada 15 Mei 2019)
http://nellybunny.blogspot.com/2012/06/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html. (diakses pada 14 Mei 2019)
*Sumber: https://www.academia.edu/40410598/Interelasi_Budaya_Jawa_Tradisi_dan_Sastra_
0 Komentar untuk "Interelasi Budaya Jawa Tradisi dan Sastra"