BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemimpin mempunyai kedudukan yang penting dalam sebuah komunitas, kelompok, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemimpin. Suatu komunitas masyarakat, suatu bangsa dan negara tidak aman, maju dan terarah jika tidak adanya seorang pemimpin, maka pemimpin menjadi kunci keberhasilan suatu bangsa maupun suatu negara.
Tatkala allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً ، قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ، قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ (سورة البقرة: 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Pemimpin yang mampu memberi rasa aman,tenteram, mampu mewujudkan keinginan rakyatnya, maka dianggap pemimpin yang berhasil. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya, bangsanya, pemikirannya dipakai meskipun telah pemimpin itu tidak lagi bersama mereka. Segala perintahnya dilakukan, rakyat membelanya tanpa diminta terlebih dahulu. pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang disukai rakyatnya dan disegani lawannya.
Figur kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah Rasulullah dan khulafaur rashidin. Rasulullah sebagai pemimpin merupakan anugrah tersendiri, atau semacam keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw. Karena pada dasarnya Rasulullah adalah utusan terakhir untuk seluruh umat manusia yang secara juga pemimpin umat manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ayat dan Hadist tentang Pemimpin
Saat menonton TV atau membaca Koran tak jarang kita temuai aksi demonstrasi yang marak terjadi di kota-kota besar maupun daerah lainnya di Indonesia. Akibatnya laju kendaraan menjadi terhambat dan jalan-jalan menjadi macet. hal tersebut bukan merupakan pemandangan yang asing lagi. tahukah kita bahwa salah satu penyebab aksi demonstrasi karena adanya rasa tidak puas masyarakat pada keputusan/kebijakan pemerintah (pemimpin). Lalu dalam islam apakah hal ini mubah (dibolehkan)? hal ini tentunya terkait interaksi dengan pemimpin.
Dalam kehidupan bernegara, Islam juga telah mengatur dan mengajarkan pada umatnya. bagaimana yang dipimpin berakhlak dengan baik kepada pemimpin, bagaimana pemimpin berakhlak kepada orang yang dipimpinnya. Semuanya dijelaskan dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits, yang disertai dengan contoh dari Rasulullah, sahabat, tabiin, tabit tabiin serta para ulama hingga sekarang.
Islam mengatur bagaimana seharusnya hubungan di antara rakyat dengan penguasa, agar berjalan dengan harmoni sehingga terbentuk sebuah susunan/jalinan masyarakat yang diidam-idamkan. Tujuan mulia ini akan terwujid jika hubungan rakyat dan penguasa terjalin dengan sangat baik. Dalil-dalil yang menerangkan usul yang agung ini di antaranya firma Allah s.w.t.;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisihan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Surah an-Nisa [4]: 59)
Rasulullah saw. juga bersabda;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ ، قَالَ : حَدَّثَنِي نَافِعٌ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ صَبَّاحٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَ
Ibn umar r.a berkata: bersabda nabi SAW. : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.. (HR. Bukhari, 4/2955, an-Nasai, 7/4206, Ibnu Majah, 4/2864, Abu Daud 2/2628 )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyatakan: “Ulil Amri mencakupi dua golongan, yaitu ulama dan penguasa.” (Majmu’ Fatawa, 5/240)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullah menyatakan: “Hadis ini menunjukkan wajibnya taat kepada penguasa, hal itu berlaku dalam perkara yang bukan maksiat. Hikmah taat kepada penguasa adalah agar menjaga persatuan kesatuan, hingga menhindari perpecahan dan kehancuran.” (Fathul Bari, 13/112)
Islam sangat memuliakan penguasa, ini dikarenakan beratnya tugas yang mereka tanggung/pikul. Tidak boleh bagi siapa pun untuk merendahkan penguasa, baik itu dengan celaan, ghibah (umpatan) atau yang selainnya. Rasulullah saw. melarang keras sikap merendah-rendahkan penguasa, Beliau bersabda;
حدثنا بندار حدثنا ابو داود حدثنا حميد بن مهران عن سعد بن أوس عن زياد بن كسيب العدوي قال كنت مع أبي بكرة تحت منبر ابن عامر وهو يخطب وعليه ثياب رقاق فقال أبو بلال : أنظروا إلى أميرنا يلبس ثياب الفساق فقال أبو بكرة اسكت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من أهان سلطان الله في الأرض أهانه الله(رواه الترمذي)
قال أبو عيسى هذا حديث غريب قال الشيخ الألباني : صحي
Ziyad bin Kusaib al-Adawi berkata: “Aku pernah bersama Abu Bakrah duduk di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian tipis. Abu Bilal berkata: ‘Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik!’ Abu Bakrah berkata: “Diamlah! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menghina penguasa Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya.” )HR. Tirmidzi, 4/2224 Abu Isa berkata hadits ini adalah hadits yang ghorib, Syekh Albani menshahihkanya(
Sahl bin Abdullah at-Tustari yang telah berkata: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan para ulama. Apabila mereka mengagungkan dua golongan ini, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila mereka merendahkannya, bererti mereka telah menghancurkan dunia dan akhirat mereka sendiri.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)
Larangan mencela penguasa bukan hanya karena memelihara kehormatan kepada mereka semata, akan tetapi demi membendung dan mencegah kerusakan/keburukan yang besar. Tidak mustahil bahwa diawali dengan soal cela-mencela akan berakhir dengan pemberontakan. lantas bagaimana cara yang syar’i dalam mengingkari kemungkaran penguasa jika terdapat pemimpin yang zalim? pemimpin yang mementingkan kehidupan pribadi daripada kehidupan rakyat? Sedangkan di dalam islam ada kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar (Surah Ali Imran [3]: 104)
Hal yang perlu dipahami dengan baik yaitu tidak terburu-buru mengikuti nafsu amar ma’ruf nahi mungkar yang akan menghasilkan kepada kerusakan yang lebih parah disebabkan kaedah yang salah dan menjauhi Sunnah. Rasulullah saw. bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ ، عَنِ الْجَعْدِ أَبِي عُثْمَانَ ، حَدَّثَنِي أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ قَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang ia benci dari penguasanya maka hendaklah ia bersabar. Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah walau sejengkal maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah. (HR. Bukhari, 9/7054)
Di hadis lain Nabi saw. bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya akan ada setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka sendiri, perkara-perkara yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Hendaklah kalian menunaikan kewajiban kalian dan mintalah hakmu kepada Allah. (HR. Bukhari 13/5, Muslim 3/1472)
Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullah berkata: “Adapun taat kepada penguasa tetap wajib sekalipun mereka zalim, karena keluar dari ketaatan terhadap mereka akan menimbulkan keburukan yang banyak melebihi kezaliman mereka. Bahkan sabar di atas kezaliman penguasa adalah penghapus dosa, melipat gandakan pahala, karena tidaklah Allah menimpakan hal itu kecuali karena keburukan perbuatan kita sendiri. Balasan itu setimpal dengan perbuatan. Wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh meminta ampun kepada Allah, taubat dan memperbaiki diri. Maka apabila rakyat ingin membebaskan diri dari kezaliman penguasa hendaklah mereka mengawali dengan meninggalkan perbuatan zalim pada diri mereka sendiri.” (Syarah al-Aqidah at-Thohawiyyah, 2/542).
Hal lain yang diperintahkan dalam Islam jika mendapati penguasa melakukan sesuatu tidak sesuai dengan syariat Islam ialah menasihati secara rahasia dan tidak dengan terang-terangan (dipertontonkan), tidak menyebarkan keburukannya di mimbar-mimbar bebas, di tempat-tempat umum, di pentas ceramah, media-media massa dan cetak, majalah-majalah dan risalah-risalah, demonstrasi, atau apa saja dari cara-cara yang tidak dibenarkan. Jika cara rahasia tidak dapat ditempuh maka hendaklah dengan cara menyindir misalnya jika penguasa korupsi hendaknya hanya menyebutkan keharaman korupsi tanpa menyebutkan identitas secara langsung penguasa tersebut. Rasulullah saw. Bersabda yang artinya: Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya, kemudian bersendirian dengannya. Apabila penguasa itu ingin menerima nasihat, maka itulah yang diinginkan. Apabila tidak, sesungguhnya dia (yang menasihati) telah menunaikan kewajibannya. (HR., Ahmad 3/403, Hakim 3/290, hadis ini disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dhilalil Jannah, hal. 507)
Memberontak terhadap penguasa hukumnya adalah haram walau bagaimanapun keadaan dan keburukan penguasa. Rasulullah saw. bersabda;
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رُزَيْقِ ْنِ حَيَّانَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَ
Sebaik-baiknya penguasa adalah yang kalian mencintainya dan mereka mencintai kalian. Kalian mendo‘akannya dan mereka mendo’akan kalian. Seburuk-buruknya penguasa adalah yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencacinya dan mereka mencaci kalian.” Rosulullah ditanya: “Wahai Rasulullah tidakkah kita memberontak dengan pedang?” beliau menjawab: “Jangan, selama mereka masih menegakkan solat.” Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian mencabut ketaatan dari mereka. (Hadis Riwayat Muslim, 3/1481)
Sungguh sejarah telah mencatat kekejaman seorang yang bernama Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqofi. Dia telah banyak membunuh jiwa, sehingga sahabat yang mulia Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu terbunuh. Bagaimana Sikap para sahabat yang lain, apakah mereka menyusun kekuatan untuk memberontak? Ternyata tidak sama sekali, bahkan mereka tetap menganjurkan untuk mendengar dan taat. Zubair bin Adiy berkata: “Kami mendatangi Anas bin Malik mengeluhkan perihal Hajjaj. Anas menjawab: “Bersabarlah, karena tidaklah datang sebuah zaman kecuali yang setelahnya akan lebih buruk sehingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian, aku mendengar ini dari Nabi kalian.” (HR. Bukhari, 13/20)
Abu Utsman Said bin Ismail berkata: “Nasihatilah penguasa, perbanyakkan mendo’akan kebaikan bagi mereka dengan ucapan, perbuatan dan hukum. Karena apabila mereka baik, rakyat akan baik. Janganlah kalian mendo’akan keburukan dan laknat bagi penguasa, karena keburukan mereka akan bertambah dan bertambah pula musibah bagi kaum muslimin. Do’akanlah mereka agar bertaubat dan meninggalkan keburukan sehingga musibah hilang dari kaum muslimin.” (Su’abul Iman, 13/99)
2.2 Akhlak Terhadap Pemimpin
1. Mendoakan pemimpin
Imam Al-Barahari berkata, “ Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa maka ia adalah pengikut hawa nafsu, dan bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah.” (Syarhus Sunnah, hal. 328)
Imam Ahmad mengatakan, “Saya selalu mendoakan penguasa siang dan malam agar diberikan kelurusan dan taufik, karena saya menganggap itu suatu kewajiban.” (As-Sunna Al-Khallal, hal 82-83)
2. Menghormati dan memuliakannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penguasa adalah naungan Allah di bumi. Barangsiapa yang memuliakannya maka Allah akan memuliakan orang itu, dan barangsiapa yang menghinakannya, maka Allah akan menghinakan orang tersebut.” (HR. Ahmad 5/42, At-Tirmidzi: 2225, As-Shahihah 5/376)
Sahl bin Abdullah At-Tusturi berkata, “ Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka memuliakan penguasa dan ulama, karena jika dua orang ini dimuliakan maka akan baik dunia dan akhirat mereka, dan jika keduanya diremehkan maka akan rusak dunia dan akhirat mereka.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi 5/260)
Thawus mengatakan, “Termasuk sunnah, memuliakan empat orang: orang alim, orang yang sudah tua, penguasa dan kedua orang tua.” (Syarhus sunnah, Al-Baghawi 13/41)
3. Mendengar dan taat
Perintah untuk menaati pemimpin sangat banyak, sekalipun pemimpin tersebut sewenang-wenang, Diantaranya hadis Abdullah bin Ummar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat tatkala senang maupun benci. Jika disuruh kepada maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat.” (Muttafaq ‘Alaih)
Umar bin Khattab mengatakan, “Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan pemimpin, dan tidak ada pemimpin kecuali harus ditaati.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 1/62)
4. Menasehati dan meluruskan pemimpin dengan rahasia
Etika ini hendaknya diperhatikan bagi yang ingin menasihati pemimpin, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin maka janganlah ia memulai dengan terang-terangan, namun hendaknya ia ambil tangannya, kemudian bicara empat mata. Jika diterima maka itulah (yang diharapkan), jika tidak maka ia telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/303. Ath-Thabrani 17/367, dishahihkan oleh Al-Albani)
Imam Malik mengatakan, “ Merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang telah diberikan Ilmu oleh Allah dan pemahaman untuk menemui penguasa, menyuruh mereka dengan kebaikan, mencegahnya dari kemungkaran, dan menasehatinya. Sebab, seorang alim menemui penguasa hany untuk menasehatinya, dan jika itu telah dilakukan maka termasuk keutamaan di atas keutamaan.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah fi Bayani Haqqi ar-Ra’i war Ra’iyyah, hal. 66).
Tapi janganlah ia menceritakan kepada khalayak bahwa ia telah menasehati pemimpin, karena itu termasuk ciri-ciri riya’ dan lemahnya iman. (A-Riyadhun Nadhirah 49-50)
5. Membantunya
Rakyat wajib membantu pemimpinnnya dalam kebaikan, sekalipun haknya dikurangi. Karena menolongnya akan membuat agama dan kaum muslimin menjadi kuat, lebih-lebih kalau ada sebagian rakyat yang ingin meneror dan memberontak kepadanya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi kalian, ingin mematahkan kekuatan kalian atau memecah belah kalian, sedangkan kalian mempunyai pemimpin, maka bunuhlah.” (HR. Muslim: 1852)
6. Banyak beristighfar tatkala diberikan pemimpin tidak baik
Ketahuilah, bahwa urusan kekuasaan, kedudukan, dan kerajaan adalah milik Allah. (QS. Ali Imran: 26) Allah juga menyebutkan, bahwa keadaan rakyat itulah yang menentukan siapa pemimpin mereka. Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nur: 55).
Rahasia dari semua itu, bahwa baik atau tidaknya pemimpin, tergantung sejauh mana rakyatnya berpegang kepada syariat Islam. Muhammad Haqqi menjelaskan dalam tafsirnya, “Jika kalian adalah ahli ketaatan, maka kalian akan dipimpin oleh orang yang penuh rahmat. Jika kalian adalah ahli maksiat, kalian akan dipimpin oleh orang yang suka menindas.”
Kondisi rakyat yang rusak agama dan akhlaknya sangat berpengaruh kepada keadaan penguasanya. Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk memberitahukan orang-orang tentang Lailatul Qadar, kemudian ada dua muslim bertengkar. Nabi bersabda, “’Saya keluar untuk memberitahukan tentang Lailatul Qadar, kemudian si fulan dan fulan bertengkar. Dan ilmu tentang itu sudah diangkat, dan bisa jadi itu baik bagi kalian.” (HR. Al-Bukhori: 1919).
Dari seseorang yang pernah ikut shalat Shubuh bersama Rasulullah, lalu beliau ragu-ragu pada suatu ayat. Setelah salam beliau bersabda, “Sesunguhnya telah dirancukan kepadaku Al-Quran, karena ada beberapa orang di antara kalian yang ikut shalat bersama kita tidak menyempurnakan wudhunya.” (HR. Ahmad: 15914, dihasankan oleh Al-Albani dalam shahih At-Targhib: 222)
Perhatikanlah, bagaimana Nabi dilupakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala suatu ilmu yang sangat agung, yaitu tentang Lailatul Qadar gara-gara ada sahabat yang bertengkar, beliaupun kacau bacaannya sebab makmumnya ada yang tidak menyempurnakan wudhu. Bagiamana lagi jika rakyat akidahnya rusak, ibadahnya jauh dari sunnah, kemudian rakyat ingin pemimpin yang shalih?! Bukankah bani Israil diubah menjadi kera ketika dipimpin oleh manusia terbaik (Nabi Musa) dan belum dikutuk tatkala dipimpin oleh Fir’aun? Di satu sisi, itulah hukuman bagi mereka. Sedangkan bagi rakyat yang shalih itu termasuk dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)
Jika mereka bersabar maka itu akan menghapus dosa yang telah lalu. Al-Baji (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa: 615) mengatakan, “Terkadang sekelompok orang melakukan perbuatan dosa yang hukumannya akan merembes di dunia kepada orang lain yang tidak melakukan dosa tersebut. Adapun di akhirat, seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menolak keburukan dengan keburukan yang lebih besar menurut ijma muslimin, (sesungguhnya) hal itu tidak dibolehkan. Dan jika terdapat kelompok yang ingin mengganti penguasa yang melakukan kekufuran nyata (itu) dan mereka memiliki kemampuan untuk melengserkannya, kemudian dapat menggantikannya dengan penguasa yang shalih dan baik tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar atas kaum muslimin, dan tidak menimbulkan keburukan yang lebih besar dari keburukan penguasa itu sendiri, maka, tidaklah mengapa melakukan pemberontakan. Sedangkan apabila pemberontakan itu akan mengakibatkan kerusakan yang besar, (menyebabkan) hilangnya rasa aman serta kezhaliman terhadap orang lain, (menimbulkan) pembunuhan terhadap orang yang tidak berhak untuk dibunuh dan berakibat menimbulkan kerusakan lain yang lebih besar, maka tidak dibolehkan melakukan pemberontakan. Akan tetapi wajib untuk bersabar, mendengar, taat dalam kebaikan, menasihati penguasa, mendoakan kebaikan bagi mereka, bersungguh-sungguh dalam mengurangi keburukan dan meminimalkan keburukan, dan (juga) memperbanyak kebaikan. Demikian inilah jalan dan cara yang benar yang wajib ditempuh. Dalam cara ini terdapat maslahat (kebaikan) bagi kaum muslimin secara umum. Juga cara inilah yang bisa meminimalkan keburukan dan memperbanyak kebaikan, juga bisa memelihara rasa aman dan keselamatan kaum muslimin dari keburukan yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Ustadz Abu Bakar dalam Majalah Al-Mawaddah, Vol. 79, Muharram 1436 H
Al-Qurtubi, Syamsuddin, al-Jami’ liahkam al-Qur’an: Tafsir al-Qurtubi, Kairo: Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964.
Baihaqi, Abu Bakar Al, Su’abul Iman, India: Dar as-Salafi di Mumbai, 2003, edisi Dr. Abd al-‘Ali Abd al-Hamid hamid.
Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al, al-Jami’ as-Shahi, Kairo: Dar as-Sya’bi, 1987.
Daud Sulaiman bin al-Asy’atsi as-sijistany, Abu, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tth, edisi Shalahuddin al-Bani
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qura’an Terjemah dan Penjelasan Ayat Ahkam, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002.
Hajar al-‘Asqalani, ibnu, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, edisi Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-Asqalani as-Syafi’i.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Ttp, Maktabah Abu al-Ma’aty, Tth.
Nasa’i, Ahmad bin Syuaib Abu Abd ar-Rahman An, al-Mujtaby min as-Sunan, Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah,1986, edisi Abd al-Fattah Abu Gadah.
Taimiyah al-Harani, ibnu, al-Fatawa al-Kubra, Ttp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987, edisi Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha dan Musthafa Abd al-Qadir ‘Atha.
Tirmidzi as-Salamy, At, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidz, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, Tth, edisi Ahmad Muhammad Syakir Dll.
*Sumber: https://www.academia.edu/35348519/Makalah_Akhlak_terhadap_Pemimpin_docx
0 Komentar untuk "Akhlak Terhadap Pemimpin"