Kebijakan Penataan Ruang Terhadap Konsep Pertanahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan SDA ataupun SDM yang berlimpah, salah satu yang paling mencolok adalah SDA yang berlimpah termasuk dibagian tanah yang juga berhubungan dengan tata kelola ruang yang memiliki fungsinya masing-masing. Namun dikarenakan penataan ruang yang kurang baik menyebabkan penataan ruang yang ada di Indonesia tidak sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tertulis bahwa yang dimaksud dengan Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya dari ketiga proses ini maka dapat ditetapkan bagaimana penyelenggaraan penataan ruang yang juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) tertulis bahwa Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Dari yang tertulis di dalam Undang-undang dapat diketahui bahwa penyelenggaraan tata ruang memiliki beberapa tahap yang harus dijalankan. 

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Penataan Ruang berdasarkan Undang-Undang dan Pendapat Para ahli.
2. Bagaimana Kebijakan Penataan Ruang di Indonesia.
3. Bagaimana Konsep Pertanahan yang ada di Indonesia.
4. Apa Hubungan Kebijakan Penataan Ruang dengan Konsep Pertanahan.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penjelasan penataan ruang sesuai dengan Undang-Undang dan pendapat Para ahli.
2. Untuk mengetahui kebijakan penataan ruang yang diterapkan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui konsep pertanahan yang digunakan di Indonesia.
4. Untuk mengetahui hubungan antara kebijakan penataan ruang dengan konsep pertanahan yang ada di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penataan Ruang
a. Pengertian Ruang dan Tata Ruang
Berbicara mengenai penataan ruang erat kaitannya mengenai ruang dan tata ruang.
1. Ruang
Dalam kontek tata ruang dan penataan ruang, ruang dapat dipahami sebagai wadah, konsep dan penekana tertentu. Ruang sebagai wadah, juga dikenal dengan ruimte (Belanda), space (Inggris), raum (Jerman), dan spatium (Latin) yang mula-mula diartikan sebagai bidang datar (planum-planologi) yang dalam perkembangannya kemudian mempunyai dimensi tiga dan memiliki arti tempat tinggal (dwelling house) yang harus ditata sebaik-baiknya demi kebahagian, kesejahteraan, dan kelestarian umat manusia. Ruang sebagai pengertian (conseptio) terdiri dari unsur bumi, air, dan udara, mempunyai tiga dimensi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang tertulis bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Kebijakan Penataan Ruang Terhadap Konsep Pertanahan

Menurut D.A.Tisnaamidjaja, yang dimaksud dengan pengertian ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”. Sedangkan menurut Karmono Mangunsukarjo, ruang adalah wadah kehidupam manusia beserta sumber-sumber daya alam yang terkandung didalamnya, meliputi bumi, air, dan udara sebagai satu kesatuan. wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Adapun Sugandhy memberikan pengertian sebagai sumber daya alam, ruang adalah wujud fisik lingkungan disekitar kita dalam dimensi geografis dan geometris baik horizontal maupun vertikal yang meliputi, darata. Lautan, dan udara beserta isinya. 

2. Tata Ruang
Tata Ruang dengan penekanan pada kata “tata “adalah pengaturan susunan ruang suatu wilayah/ daerah (kawasan) sehingga tercipta persyaratan yang bermanfaat secara ekonomi, sosial budaya, dan politik, serta menguntungkan bagi perkembangan masyarakat wilayah tersebut. Tata ruang dapat pula diartikan sebagai wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

b. Pengertian Penataan Ruang
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang tertulis bahwa Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dari pengertian penataan ruang yang berikan oleh uu tersebut, maka tampak bahwa terdapat tiga proses atau tahapan dalam penataan ruang, yaitu tahapan perencanaan, tahapan pemanfaatan dan serta pengendalian terhadap pemanfaatan ruang tersebut. 

B. Kebijakan Penataan Ruang Di Indonesia
Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan ketertiban ini, merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat teratur: di samping itu tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat pada zamannya.Kebijakan penataan ruang ditentukan oleh Pemerintah dengan maksud sebagai acuan dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia terhadap jangka waktu tertentu. Kebijakan (dahulu biasa disebut “kebijaksanaan” nasional (GBHN) 1973-1978-Tap MPR No. IV/MPR/1973; GBHN 1978- 1983. Tap MPR No. IV/MPR/1978; GBHN 1983-1988-Tap MPR No. II/MPR/1983 hingga dan terakhir dengan GBHN 1999-2004, Tap. MPRNo. IV/MPR/1999) mengenai penataan ruang atau perencanaan tata ruang (TR) diinergrasikan kedalam kebijaksanaan nasional tentang sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA dan LH). Ini dapat dimaklumi, oleh karena “ruang” sebagai wadah juga sekaligus juga merupakan SDA.

Landasan dasar hukum tata ruang Indonesia mengenai konstitusional didasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang mengatakan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, terdapat salah satu konsep dasar yang terkait yaitu terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang. Menurut ketentuan dalam Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk:  
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.  
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa  
c. Mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Terdapat peraturan perundang-undangan selain UUD 1945, terdapat pula peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan undang-undang tata ruang, diantaranya ialah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang UULH, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang UUPLH, kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH dan Undang-Undang Nomor 24 tentang UUPRL, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang UUPR, UUPR menetapkan mengenai siapa yang berhak untuk mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota. RTRW Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan untuk RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. RTRW ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang disingkat menjadi PPTR. Adapun implikasinya, sesuai dengan keberadaannya sebagai instrumen dalam PPLH, maka peraturan perundang-undangan bidang tata ruang ini dengan sendirinya juga berimplikasi dengan semua peraturan perundangundangan sektoral yang kegiatannya berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Sehingga dapat diurutkan sebagai berikut:
1) Landasan idiilnya yaitu Pancasila 
2) Landasan konstitusionalnya yaitu Pasal 33 UUD 1945 
3) Landasan operasionalnya yaitu: 
a. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok -Pokok Agraria 
b. Undnag-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Land Reform  
c. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman 
d. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
e. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 
f. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 
g. Peraturan Menteri Dalam negeri No. 2 Tahun 1987
h. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah 
i. Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-245 Tanggal 7 Desember 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah.

C. Konsep Pertanahan Indonesia
a) Konsepsi Hukum Pertanahan
1) Rumusan Konsepsi
Hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Ini berarti antara lain bahwa pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi Hukum Adat, yang dirumuskan dengan kata-kata: Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan.
2) Sifat Komunalistik Religius
Sifat komunalistik religious konsepsi Hukum Tanah Nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UU UUPA):
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagi karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Kalau dalam Hukum Adat tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Pernyataan ini menunjukkan sifat Komunalistik konsepsi hukum Tanah Nasional.

Unsur religious konsepsi ini ditunjukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Dalam konsepsi Hukum Adat sifat keagamaan Hak Ulayat masih belum jelas benar, dengan rumusan, bahwa tanah ulayat sebagai tanah bersama adalah “peninggalan nenek moyang” atau sebagi “karunia sesuatu kekuatan yang gaib”. Dengan adanya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka, dalam Hukum Tanah Nasional, tanah yang merupakan tanah bersama Bangsa Indonesia, secara tegas dinyatakan sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sifat religiusnya menjadi jelas benar.

Suasana religius Hukum Tanah Nasional tampak juga dari apa yang dinyatakan dalam Konsederans/Berpendapat dan pasal5, sebagai pesan atau peringatan kepada pembuat Undang-Undang, agar dalam membangun Hukum Tanah Nasional jangan mengabaikan, melalaikan, harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 

b) Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional
1. Asas Nasionalitas
Pasal 1  UUPA yang berbunyi :
1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.
2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2)  pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

2. Asas Hak Menguasai Negara
Pasal 2 UUPA
1) Atas dasara ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasikekuasaan seluruh rakyat. Perkataan “dikuasai” bukan berarti “dimiliki”  akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi.
2) Hak menguasai dari Negara termasud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang  untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hhubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai dari Negara tersebut ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas dasar hak menguasai dari Negara tersebut, Negara dapat memberikantanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha dan lainnya. Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

3. Asas Pengakuan Hak Ulayat
Pasal 3 UUPA yang berbunyi :
“Dengan mengingat etentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Pasal 5 UUPA yang berbunyi: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.  Hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat.
a. Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam
Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum adatlah yang menjadi ahli warisnya.
b. Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan
Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut.Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak Ulayat.
c. Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar
Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya.Cara mendapatkan izin ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai.  
Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraria Nasional akan tetapi dalam pelaksanannya berdasarkan asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika masyarakat hukum adat berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukaknya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian yang baru, transmigrasi dan lainnya.

4. Asas Tanah mempunyai Fungsi Sosial
Pasal 6 UUPA yang berbunyi :”Semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah  harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

5. Asas Perlindungan
Pasal 9 (1) jo. pasal 21 ayat 1 UUPA: “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2”. Yaitu bahwa orang perseorangan atau badan hukum dapat mempunyai hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun usahanya.

Pasal11 (2) UUPA:”Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah”.
a. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing.
b. pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
c. Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas.
d. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2).
e. Dasar pertimbangan melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya.
f. Boleh hak lain, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).
g. Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
h. Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mem- punyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma- syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik.
i. Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2).
j. Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.

6. Asas Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan
Pasal 9 (2):”Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Pasal 11 (20):”Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat diamana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah”.

Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasita, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah. Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria.

Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian harus didasarkan atas kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli swasta. Dan tidak hanya monopoli swasta, tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak.

7. Asas Tanah untuk Pertanian
Pasal 10 (1) UUPA: “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak ats tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan tau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Pasal 12 UUPA
1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.

Pasal 13 UUPA yang berbunyi:
1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.
Pelaksanaan asas tersebut menjadi dasar hampir diseluruh dunia yang menyelenggaarakan landreform.Yaitu tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara efektif oleh pemiliknya sendiri.

8. Asas Tata Guna Tanah
Pasal 7 UUPA yang berbunyi :”Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara dalam bidang agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persedian bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara.
a. Rencana umum (National Planning)
b. Rencana yang meliputi seluruh  wilayah Indonesia, kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus.
c. Rencana khusus (Regional Planning)
d. Perencanaan atas bagian per bagian wilayah di Indonesia atau dapat dikatakan rencana per daerahnya.
Asas ini merupakan hal yang baru dengan tujuan setiap jengkal tanah dipergunakan se efisien mungkin dengan memperhatikan asas Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang (LOSS) untuk penggunaan tanh di pedesaan, sedangkan asas Aman, Tertib, Lancar dan Sehat (ATLAS) untuk penggunaan tanah di perkotaan.

D. Hubungan Kebijakan Penataan Ruang dengan Konsep Pertanahan
Integrasi urusan agraria-pertanahan dengan penataan ruang dalam satu kementerian bukanlah ahistoris, melainkan telah mendasarkan pada amanat konstitusi dan relevan dengan kebijakan politik pemerintahan saat ini.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang agraria-pertanahan dan penataan ruang selama ini merupakan urusan yang terpisah meski satu sama lain sangat terkait. Regulasi yang mengaturnya, kebijakan politik yang menaunginya, dan kelembagaan yang menanganinya juga berbeda. Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla mengintegrasikan keduanya dalam satu kementerian, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Meski demikian, hampir dua tahun kementerian ini terbentuk, kebijakan dan bentuk integrasi kedua urusan ini belum menampakkan wujudnya. Atau jangan jangan salah satu pertimbangan pergantian menteri ATR/BPN ini adalah kegagalan atau belum berhasilnya mengintegrasikan kedua urusan dalam satu kementerian.

Urgensi integrasi Penyatuan bidang keagrariaan, tata ruang, dan pertanahan dapat dibaca sebagai upaya menata kelembagaan yang berlandaskan pada konstitusi dan regulasi dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam, visi dan misi pemerintah, serta kebutuhan dalam menjalankan tugas pemerintahan di bidang keagrariaan-pertanahan dan tata ruang. Pengintegrasian BPN dengan Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional merupakan perubahan paradigma dalam melihat sumber daya agraria.

Jika awalnya agraria-pertanahan dipahami sebagai persil persil tanah, melalui kelembagaan yang baru dipahami sebagai kondisi, status, dan fungsi hubungan antarpersil yang membentuk sebuah poligon yang saling memengaruhi yang kemudian disebut sebagai ruang. Sumber daya agraria dengan matra utama tanah merupakan ruang hidup bagi penduduk. Untuk itu, pengaturan penguasaan dan pemilikan atas agraria-tanah harus selaras dan serasi dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang.

Berkaitan dengan konsep ruang dan agraria, ternyata "agraria" dalam UUPA hakikatnya sama dengan pengertian "ruang" dalam UU Penataan Ruang (Hutagalung, 2015). Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara konstitusi yang inheren dengan makna ruang dalam UU Penataan Ruang.

Dalam perspektif land management, terintegrasinya land tenure, land use, land value, dan land development yang didukung dengan land information infrastructures dan dibingkai melalui land policy yang tepat merupakan prasyarat terwujudnya pembangunan berkesinambungan (Enemark, et al, 2005). Dalam konteks ini, terintegrasinya agraria-pertanahan dengan tata ruang adalah prakondisi menuju pembangunan berkelanjutan.
Instrumen integrasi Urusan keagrariaan-pertanahan yang meliputi pengukuran dan pemetaan kadastral, penatagunaan tanah, pengaturan hubungan hukum subyek dan obyek hak, penguatan hak dan pemberdayaan masyarakat, land reform, pendaftaran tanah hingga penyelesaian sengketa dan konflik selama ini "hanya" memperhatikan dan mempertimbangkan tata ruang.

Sementara itu, penyelenggaraan penataan ruang, baik pada level perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang, masih menafikan aspek-aspek keagrariaan-pertanahan, terutama penguasaan dan pemilikan tanah.

Makna yang inheren antara 'agraria' dan 'ruang' merupakan entry point integrasi pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure) dengan penggunaan dan pemanfaatan ruangnya. Titik masuk ini perlu diakselerasi melalui beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan urusan agraria-pertanahan dan tata ruang.

Pertama, one map policy. Kebijakan satu peta multiguna mesti berupa informasi geospasial dasar yang berbasiskan persil-persil tanah (parcel based). Informasi spasial dan tekstual berkenaan bidang-bidang tanah mampu mengumpan terintegrasinya urusan agraria-pertanahan dengan tata ruang untuk berbagai keperluan pembangunan.

Kedua, neraca penatagunaan tanah, yakni perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan RTRW. Neraca ini meliputi neraca perubahan, neraca kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW, dan prioritas ketersediaan tanah. Instrumen ini sangat representatif untuk digunakan dalam berbagai urusan pembangunan wilayah yang mensyaratkan terintegrasinya urusan agraria-pertanahan dan tata ruang.

Ketiga, konsolidasi tanah, merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang sekaligus berperan dalam penataan kawasan. Apabila ini diimplementasikan, secara otomatis konten pertanahan dan tata ruang akan terintegrasi mengingat penataan kawasan ini berbasiskan pada informasi spasial dan tekstual bidang-bidang tanah.

Ketiga instrumen di atas dapat dioperasionalisasikan dan dipatuhi oleh pemerintah dan pemerintah daerah (yang mempunyai otoritas dalam penataan ruang) jika dibingkai dalam regulasi setingkat peraturan presiden. Dalam hal ini Kementerian ATR/BPN akan secara apik memerankan dua kakinya, satu kaki untuk urusan pertanahan yang dioperasionalisasikan oleh Kanwil BPN dan Kantor Petanahan dan satu kaki untuk urusan tata ruang yang menjadi otoritas pemerintah daerah.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Penataan Ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan tata ruang. Adapun yang menjadi landasan atau kebijakan hukum mengenai penataan ruang di Indonesia yaitu dimulai dari Pancasila, Pasal 33 Ayat (3) UUD RI 1945, Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok -Pokok Agraria, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964, Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988, Peraturan Menteri Dalam negeri No. 2 Tahun 1987, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-245 Tanggal 7 Desember 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah.

Penataan Ruang erat kaitan dengan Tanah sebagai mana yang diatur dalam UU Pokok Agraria dan pengaturan mengenai penguasan atas tanah yang dimanfaatkan untuk kebahagian, kesejahteraan, dan kelestarian manusia dalam menjalankan hidupnya. Serta hubungan antara kebijakan penataan ruang dengan konsep pertanahan merupakan suatu yang sangat erat, karena sama-sama diamanatkan dalam Pembukaan UUD RI 1945 mengenai tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Budi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan
Santoso, Urip. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana
Wahid, Yunus. 2016. Pengantar Hukum Tata Ruang. Jakarta :PRENADAMEDIA GROUP.
Undang- Undang Dasar RI  Tahun 1945.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
http://asdarfh.wordpress.com/hukum-adat-dalam-hukum-tanah-nasional/
http://santeiy.blogspot.com/2011/10/hukum-agraria-konsepsi-dan-prinsip.html




*Sumber: https://www.academia.edu/38443665/MAKALAH_PENATAAN_RUANG


Tag : Lainnya, Tata Ruang
0 Komentar untuk "Kebijakan Penataan Ruang Terhadap Konsep Pertanahan"

Back To Top