Akibat Lain dari Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama.Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, undang-undang memberikan pada si istri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya.Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan persetujuan itu di dalam suatu akta notaris, yang harus diumumkan seperti yang ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.

Akad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah.Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam perkawinan.Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik.Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa.

Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan.Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup, dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.

Munculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang:
1. Akibat perkawinan terhadap suami istri
2. Akibat perkawinan terhadap harta 
3. Akibat perkawinan terhadap anak



BAB II
PEMBAHASAN

A. Akibat Hukum Perkawinan
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. 
1. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 UU No.1 Tahun 1947). 
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) UU No.1 Tahun 1947). 
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2 UU No.1 Tahun 1947). 
d. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. 
e. Suami-istri wajib tinggal bersama dalam arti suami harus menerima istri, istri tidak harus ikut di tempat suami kalau keadaannya tidak memungkinkan, suami harus memenuhi kebutuhan istri (Pasal 104 KUHPerdata)
f. Adanya kewajiban suami-istri untuk saling setia, tolong menolong, bantu-membantu dan apabila dilanggar dapat menimbulkan pisah meja dan ranjang dan dapat mengajukan perceraian (Pasal 103 KUHPerdata).
g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. 
h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.  

Akibat Lain dari Perkawinan

2. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
a. Timbul harta bawaan dan harta bersama. 
Yang dimaksud  harta / barang  bawaan adalah segala perabot rumah tangga yang dipersiapkan oleh isteri dan keluarga, sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya. Dalam hal barang / harta bawaan antara suami dan istri, pada dasarnya tidak ada percampuran antara keduanya karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri  dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga dengan harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau istri sudah memiliki harta benda.Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta keluarganya atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta benda yang telah ada sebelum  perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak akan berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Masing-masing berhak menggunakan untuk keperluan apa saja.
Kedua suami isteri itu menurut pasal 89 dan 90 Inpres nomor 1 tahun 1991 wajib bertanggung jawab memelihara dan melindungi harta isteri atau harta suaminya serta harta milik bersama. Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing jika terjadi kematian salah satu diantaranya maka yang hidup selama menjadi ahli waris dari si mati.Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka kembali sebagai mana adanya sebelumnya.Kalau keduanya meninggal maka ahli waris mereka adalah anak-anaknya.

Sebenarnya yang bertanggung jawab secara hukum untuk menyediakan peralatan rumah tangga, seperti tempat tidur, perabot dapur dan sebagainya adalah suami.Sekalipun mahar yang diterimanya lebih besar daripada pembelian alat rumah tangga tersebut.Hal ini karena mahar menjadi hak perempuan sepenuhnya dan merupakan hak mutlak istri. Berbeda dengan pendapat golongan Maliki  yang mengatakan bahwa mahar bukan mutlak bagi istri.

Oleh karena itu, ia tidak berhak membelanjakan untuk kepentingan dirinya. Akan tetapi bagi perempuan yang miskin, ia boleh mengambil sedikit darinya dengan cara-cara yang baik
b. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 
c. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).  

3. Akibat Perkawinan Terhadap Anak
a. Kedudukan anak 
1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42) 
2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja. 

b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak 
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45). 
2) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendaknya yang baik. 
3) Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46). 

c. Kekuasaan orang tua 
1) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua. 
2) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan. 
3) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. 
4) Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin 
5) Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila: 
a) ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak 
b) Ia berkelakuan buruk sekali 
6) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya. 
7) Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah: 
a) Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 
8) Isi kekuasaan orang tua adalah: 
a) Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya. 
b) Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan. 
9) Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya. Kekuasaan orang tua berakhir apabila: 
a) Anak itu dewasa 
b) Anak itu kawin 
c) Kekuasaan orang tua dicabut.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sejak terjadi perkawinan, timbullah hubungan hukum antara suami-istri.Hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami-istri.Hak dan kewajiban diatur dalam Pasal 30 sampai dengan 34 UU No.1/1974.

Harta kekayaan antara suami istri terbagi dua macam yaitu harta bawaan dan harta bersama.Harta bawaan adalah harta milik pribadi yang dibawah oleh masing-masing antara suami istri.Harta harta bersama adalah harta yang diperoleh selama suami-istri berkeluarga.

Dengan demikian, pernikahan tidak dianggap selesai dengan hanya ter-jadinya akad nikah, itu sejalan dengan peru-bahan dan perkembangan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga di Indonesia khususnya dan di dunia muslim pada umumnya.

B.     Saran
Dalam makalah yang pemakalah rintis ini mungkin masih banyak kekurangan.Untuk itu kritikan dan saran sangat kami harapkan dari pembaca demi kebaikan makalah ini.Semoga dengan bertambahnya ilmu mengenai akibat perkawinan, diharapkan bekal yang ada diterapkan, diexplore, dan digunakan dengan baik dalam bermasyarakat.Sehingga tercipta ketaatan terhadap kaidah-kaidah yang ada.



DAFTAR PUSTAKA

Salim, 2003, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).Sinar Grafika;Jakarta.

Saptaningrum, Indriaswari Dyah. 2000. Sejarah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Aso-siasi Perempuan untuk Keadilan.

SlametAbidin dan Aminuddin. 1999. Fiqh Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari'ah Komponen MKDK, (Bandung : CV Pustaka Setia

Sultan Hamengku Buwono X. 2007.Catatan Seorang Raja Tentang Peradilan Agama, dalam Varia Peradilan: Majalah Hukum. Tahun ke-XII, No. 262 September Tahun 2007.

Supriatna ,dkk. 2009. Fiqh Munakahat II Dilaengkapi dengan UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Teras.

Zainuddin Ali, 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika




*Sumber: https://www.academia.edu/35515330/MAKALAH_AKIBAT_AKIBAT_LAIN_DARI_PERKAWINAN


Tag : Lainnya
0 Komentar untuk "Akibat Lain dari Perkawinan"

Back To Top