BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi yang ada di Indonesia sudah merajalela dan mengalami perkembangan dari masa kemasa. Bicara tentang korupsi seakan tiada habisnya, bagai jamur yang tumbuh di musim hujan. Itu terjadi karena adanya wewenang dan kekuasaan yang besar tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Untuk mendapatkan kekuasaan, para pejabat atau calon-calon pejabat banyak yang melakukan korupsi dan berlomba-lomba menikmati harta Negara dengan semaunya sendiri. Entah dari skala yang terkecil sampai skala yang terbesar.
Lemahnya hukum di Indonesia yang kurang tegas menyebabkan para koruptor tiada henti melakukan tindakan korupsi. Demi mendapatkan kekuasaan yang di inginkan para pejabat itu rela menyuap. Belum tuntas kasus A, bermunculan kasus B, kasus C dan sebagainya. Penyelesaian kasus yang lama dapat menyita waktu, tenaga dan biaya. Korupsi seperti parasit dalam pemerintahan yang merusak moral para pejabat.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini masih terus bergulir, walaupun berbagai strategi telah dilakukan, tetapi perbuatan korupsi masih tetap saja merebak di berbagai sektor kehidupan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, salah satu penyebabnya adalah korupsi yang telah merasuk ke seluruh lini kehidupan yang diibaratkan seperti jamur di musim penghujan, tidak saja di birokrasi atau pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk BUMN.
Begitu membudayanya tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia membuat masyarakat tidak sadar bahwa korban yang paling dirugikan sebenarnya adalah rakyat. Yakni kita semua. Runtuhnya nilazi-nilai, macam macam norma, etika, moral, budaya dan religi di suatu wilayah memang sangat berpengaruh pada perkembangan tipikor. Bahkan sering kali perilaku kita mengarah ke korup tanpa kita mengerti bahwa tindakan tersebut masuk dalam delik pidana korupsi. Keterbatasan pemahaman mengenai korupsi telah membentuk image bahwa korupsi di negara kita sulit untuk dicegah ataupun diberantas. dan kita selalu beranggapan bahwa masalah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah. pernyataan seperti itu adalah salah besar. Justru masyarakat seharusnya berperan penting ketika kita semua mau turut serta terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantasannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
2. Apa faktor–faktor penyebab korupsi?
3. Apa hukuman yang diperoleh dari tindak pidana korupsi?
4. Bagaimana upaya penanggulangan korupsi?
5. Bagaimana peran serta masyarakat dan pemerintah dalam menanggulangi korupsi?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi korupsi.
2. Untuk mengetahui faktor–faktor penyebab korupsi.
3. Untuk mengetahui hukuman yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
4. Untuk mengetahui upaya penanggulangan korupsi.
5. Untuk mengetahui peran serta masyarakat dan pemerintah dalam penanggulangan korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Menurut Ibnu Santoso dalam buku Memburu Tikus-tikus Otonom, korupsi adalah sebuah tindakan yang salah serta merugikan baik orang lain maupun negara. Dari segi semantik, kata korupsi berasal dari bahasa inggris ‘Corrupt’, dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu Com yang berarti bersama-sama dan Rumpere yang berarti pecah atau jebol.
Istilah ini juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Pada praktiknya, korupsi dapat dilihat sebagai penerimaan uang yang berhubungan dengan jabatan tanpa tercatat dalam administrasi. Berdasarkan Transperency international, korupsi adalah perilaku pejabat publik, atau pemain politik, atau para Pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau golongan yang ada hubungan kedekatan dengan dirinya. Ia melakukan tindakan tersebut dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik atau wewenang yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
2.2 Faktor – Faktor Penyebab Korupsi
Faktor Internal Dan Eksternal Penyebab Korupsi
Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat dirinci menjadi:
Aspek Perilaku Individu
Sifat tamak/rakus manusia. Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
Moral yang kurang kuat. Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
Gaya hidup yang konsumtif. Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseorang konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits atau sifat pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku.
Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena:
Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.
Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
Aspek ekonomi
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
Aspek Politis :
Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.
Aspek Organisasi
Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
Tidak adanya kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
Kurang memadainya sistem akuntabilitas. Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
Kelemahan sistim pengendalian manajemen. Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
Lemahnya pengawasan. Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas.
2.3 Hukuman Yang Diperoleh Dari Tindak Pidana Korupsi.
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi penguasa. Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan politik itu, yaitu mengendalikan tingkah laku masyarakat yang secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat mau untuk tunduk kepada negara. Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sebenarnya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan para sang penguasa sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Dengan demikian dampak dari korupsi korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik, dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan, korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum, dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Oleh sebab itu korupsi masih banyak terjadi dikarenakan memiliki banyak celah antara lain korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literatur ekonomi-politik, sering dibandingkan dengan praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (tidak diketahui oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun ekonomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu.
Upaya pemberantasan korupsi telah mulai direalisasikan dalam kerangka yuridis pada masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasan pergantian Undang-Undang Korupsi dari UU No. 3 Tahun 1971 menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum UU No. 31 Tahun 1999.
Maka dari itu pemerintah sudah membuat undang-undang pidana tentang korupsi, dan undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni:
1) Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2) Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3) Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Maka dari itu pasal untuk pidana kurungan bagi para pelaku korupsi adalah sebagai berikut:
• Pasal 28
Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a, b, c, d, e dan ayat (2) Undang-undang ini, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/ atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah. Selain dari pada itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini.
• Pasal 29
Barang siapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 5 (lima)juta rupiah.
• Pasal 30
Barang siapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22 Undang-undang ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 5 (lima) juta rupiah.
• Pasal 31
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan 19 Undang-undang ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) juta rupiah.
• Pasal 32
Pelanggaran Pasal 220, 231, 421,422, 429 dan Pasal 430 K.U.H.P. dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 4 (empat)juta rupiah.
• Pasal 33
Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman yang tersebut dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang ini adalah kejahatan.
• Pasal 34
Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam K.U.H.P. maka sebagai hukuman tambahan adalah:
a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan;
b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan tak berwujud yang termaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan,akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini.
c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.
• Pasal 35
(1) Perampasan barang-barang bukan kepunyaan si terhukum tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga dengan iktikad baik akan terganggu.
(2) Jika didalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga barang-barang pihak ketiga yang mempunyai iktikad baik, maka mereka ini dapat mengajukan surat keberatan terhadap perampasan barang-barangnya kepada Pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman Hakim.
Dari kasus diatas masalah korupsi sudah di atur oleh undang-undang Negara Indonesia. Namun kasus korupsi tidak ada habisnya. Jadi sebaiknya untuk para jaksa sebaiknya dengan tegas dan cepat dalam menuntaskan kasus tindak pidana korupsi. Dengan adanya pasal-pasal tentang pidana korupsi lebih bisa untuk membuat politik yang jujur dan terbuka keapada rakyat sehingga dapat mengurai penyebab korupsi.
2.4 Upaya Penanggulangan Korupsi
Perbuatan Korupsi tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja dan seakan menjadi sebuah fenomena di negeri ini, kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan seakan-akan perbuatan korupsi itu sah-sah saja dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
Disini ada beberapa upaya atau jalan untuk Penanggulangan Korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah dalam menanggulangi korupsi adalah sebagai berikut:
a. Membenarkan transaksi yang dulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur yang baru yang mendasarkan bagaimana keputusan itu dibuat.
c. Melakukan perubahan atau perombakan organisasi yang dapat mempermudah masalah pengawasan atau monitoring dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi (perputaran) penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman dengan sanksi yang berat.
e. Korupsi adalah masalah nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan sekecil mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka jalan untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur atau susunan organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku pelakunya dengan sanksi yang berat sehingga timbul efek jera bagi pelaku.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penanggulangan Korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadaan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus ditingkatkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula jangan sampai ada istilah di negeri ini Hukum seperti mata pisau, tajam kebawah tumpul keatas, artinya bila yang berbuat rakyat kecil maka seakan-akan hukum berdiri dengan tegak dan sebaliknya yang berbuat pejabat tinggi hukum seakan tidak berdaya.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya perbuatan korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan perbuatan korupsi adalah sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau golongan.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan mulai dari diri sendiri, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi yang tegas dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindakan korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah tidak seperti sekarang yang pegawai negeri seringkali ikut menjadi Tim sukses bagi pasangan tertentu sehingga suatu saat jika pasangan yang diusungnya terpilih makai pegawai negeri tersebut mendapat tempat yang diinginkannya, kasus semacam ini tidak boleh dinegeri ini karena pegawai negeri sebagai aparatur pemerintah harus netral.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur dan berwibawa.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi
korupsi, perlu sanksi malu bagi para Koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi seperti yang pernah disiarkan oleh Statsiun Tv beberapa bulan yang lalu karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi malah banyak penjara yang seperti Hotel dengan fasilitas yang serba lengkap.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah :
a. Preventif.
1) Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi atau golongan dan milik perusahaan atau milik Negara.
2) Mengusahakan perbaikan penghasilan (pendapatan/gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3) Menumbuh kembangakan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya raya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan bangsa.
4) Bahwa teladan atau contoh dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5) Menumbuh kembangkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan apabila mental para pejabat tidak kuat dan apabila didukung oleh kesempatan melakukan tindakan korupsi.
6) Hal yang tidak kalah pentingnya yaitu bagaimana menumbuh kembangankan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif.
5 Peran Serta Masyarakat Dan Pemerintah Dalam Menanggulangi Korupsi
Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut:
1) Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2) Mendorong pemerintah melakukan reformasi publik sektor dengan mewujudkan good governance.
3) Membangun kepercayaan masyarakat.
4) Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5) Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di indonesia:
Bentuk – bentuk peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
1) Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi
2) Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4) Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak hukum waktu paling lama 30 hari
5) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6) Penghargaan pemerintah kepada masyarakat
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Upaya pemberantasan korupsi telah mulai direalisasikan dalam kerangka yuridis pada masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasan pergantian Undang-Undang Korupsi dari UU No. 3 Tahun 1971 menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum UU No. 31 Tahun 1999.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi
korupsi, perlu sanksi malu bagi para Koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi seperti yang pernah disiarkan oleh Statsiun Tv bebrapa bulan yang lalu karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi malah banyak penjara yang seperti Hotel dengan fasilitas yang serba lengkap.
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://putrawangi.livejournal.com/853.html
2. https://4tmaj4.wordpress.com/2012/04/10/hukuman-korupsi/
3. http://j2ng.blogspot.nl/2013/02/makalah-upaya-pemberantasan-korupsi-di.html
4. http://andicvantastic.blogspot.nl/2015/08/makalah-pendidikan-anti-korupsi-dan.html
5. http://www.kompasiana.com/depina/upaya-menanggulangi-korupsi-di-indonesia_5852bd67b07e61292f17f5f5
6. https://krirhmn.blogspot.co.id/2014/06/peran-pemerintah-dalam-memberantas.html
7. http://guruppkn.com/penyebab-korupsi-dan-cara-mengatasinya
*Sumber: https://www.academia.edu/35401440/Makalah_anti_korupsi
0 Komentar untuk "Upaya Pemberantasan Korupsi"