BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara demokrasi.Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini.Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya.Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln.Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi daerah.Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik dalam dan luar negeri, serta tantangan persaingan global.Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas dan nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proposional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.Itu semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran masyarakat, pemerataan, keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan Otonomi di daerah didasarkan pada isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Menurut Hukum Tata Pemerintahan Negara atau Hukum Administrasi Negara Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan daerah untuk menjalankan pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan, pertanggungjawaban Hukum dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi di daerah untuk terciptanya pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Otonomi daerah sebagai suatu kebijakan Desentralisasi ini diberlakukan dikarenakan Otonomi Daerah diharapkan dapat menjadi solusi terhadap problema ketimpangan pusat dan daerah, disintegrasi nasional, serta minimnya penyaluran aspirasi masyarakat local. Otonomi merupakan solusi terpenting untuk menepis disintegrasi.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004).
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi.Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal.Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government).
Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi. Oleh karena itu, perlu diketahui berbagai masalah dan isu-isu apa dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) dan bagaimana solusi untuk memecahkan masalah tersebut.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sistem serta peran demokrasi dan partai politik?
2. Bagaimana tentang pemilu umum di Indonesia?
3. Apa permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)?
4. Apa solusi permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)?
1.3. TUJUAN
1. Dapat mengetahui sistem serta peran demokrasi dan partai politik
2. Mengetahui tentang pemilu umum di Indonesia?
3. Mengetahui permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)
4. Dapat mengetahui solusi permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah berhubungan erat dengan demokrasi.Demokrasi yang memberikan kedaulatan berada ditangan rakyat. Istilah deokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata (dêmos) “rakyat” dan (Kratos) “kekuasaan”. Demokrasi muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kotaYunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering disebut Pilkada, merupakan perkara wajib yang harus dilaksanakan setelah periode untuk menjabat habis sebagaimana dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pilkada sendiri adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.Sebelum dilangsungkannya Pilkada tersebut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat yang ditentukan pada Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004. Dalam hal ini yang disebut sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
1. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi
2. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten
3. Walikota dan wakil walikota untuk kota
Pada awalnya pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Ketika diundangkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Dalam undang-undang ini, Pilkada belum ditetapkan dilakukan dengan pemilihan umum (pemilu).Hingga Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 22 tahun 2007) diundangkan pada tahun 2007 berlaku.Pilkada diberlakukan yang kemudian disebut “pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah”.Setelah UU No. 22 tahun 2007 diundangkan, Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarakan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Namun dalam penyelenggaraannya terdapat spesialisasi dalam Pilkada.Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Penyelenggaraan Pilkada dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.Pilkada diselenggarakan dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.Keanggotaan dari Panwaslu terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004. Keanggotaan tersebut diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD sesuai Pasal 57 ayat (5) UU No. 32 tahun 2004.
Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.Hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004.Namun ketentuan ini diubah dengan UU No. 12 tahun 2008 yang menyatakan bahwa “peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.Sedangkan spesialisasi kembali terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal.
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat).Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi.Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal.Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
3.1. DEMOKRASI dan PARTAI POLITIK
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.Sehubungan dengan tersebut, ada yang namanya partai politik.Dimanapartai politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat dan berkumpul yang di jamin oleh konstitusi dan merupakan salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Selain itu,partai politik salah satu wujud kongkrit dari partisipasi masyarakat dalam mengembangkan demokrasi yang tentunya yang diharapkan dapat menjunjung tinggi kebebasan,kesetaraan kebersamaan,kejujuran,sportifitas dan keadilan.Apter (2007 : 201) memberikan 3 (tiga)ciri penting partai politik,yaitu:
1. Peran suatu partai sering berubah apa bila kondisi politik di suatu Negara berubah.
2. Bahwa bentuknya di tentukan sepenuhnya oleh kerangka sosio politik masyarakat partai membutuhkan sebuah kerangka acuan konstitusional atau rezim politik yang cocok dengan fungsi mereka.
3. Sebagai subkelompok di dalam sistem dengan sarana-sarana mereka sendiri untuk menghasilkan kekuasaan.
Secara umum partai politik dapat di definisikan sebagi suatu kelompok yang terorganisir yang memiliki tujuan yang sama,baik untuk mempengaruhi,merebut maupun mempertahankan kekuasaanya yang bertujuan untuk memperoleh jabatan-jabatan politik di pemerintahan. berikut ini akan di sampaikan beberapa pengertian partai politik menurut pandangan beberapa ahli politik.Budiarjo (1991) mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir anggota-anggotanya mempunyai orientasi,nilai-nilai dan cita-cita yang sama,di mana tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan berbuat kedudukan politik,biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan program-programnya.
Kemudian bagaimana dengan pengertian partai politik di Indonesia? berdasarkan ketentuan pasal 1 undang-undang No.31 Tahun 2002,tentang partai politik,maka partai politik adalah organisasi yang di bentuk oleh sekelompok warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaankehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kehendak anggota,masyarakat,bangsa,dan Negara melalui pemilihan umum.
1. Dalam ketentuan pasal 202 ayat (1) UU No.10 tahun 2008,tentang pemilu anggota DPR,DPD,DPRD,provinsi dan DPRD kabupaten/kota,menyebutkan:partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang atas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 % (dutia koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk di ikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR,kemudian pasal 203 ayat (1) nya menyebutkan partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagai mana dimaksud dalam pasal 202 ayat (1) tidak di ikutsertakan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.oleh karena itu memperebutkan simpati dan dukungan dari rakyat menjadi sebuah keharusan apabila partai politik menginginkan tetap eksis.
2. Undang-undang No.31 tahun 202,lembaran Negara RI tahun 2002 nomor: 138, tambahan LNRI nomor : 4251,yang mengatur tentang partai politik pada pemilihan umum 2004.
Ada beberapa fungsi partai politik yang di kemukakan oleh para ahli. Fungsi- fungsi tersebut adalah sarana komunikasi politik,sarana sosialisasi politik,sarana rekruitmen politik,pengelolaan konflik,dan fungsi artikulasi dan agregrasi kepentingan.yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah partai politik kita sudah menjalankan peran dan fungsinya secara optimal?jawabanya adalah belum karena partai politik terkadang hanya melakukan komunikasi politik misalnya,hanya di lakukan pada saat menjelang pemilu atau pada saat kampanye saja,padahal semestinya komunikasi partai politik dengan konstituennya perlu dilakukan secara intens untuk melakukan fungsi artikulasi dan sekaligus agregasi kepentingan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat-konstituennya.begitu juga dengan pengelolaan konflik.dalam kasus tertentu justru partai di anggap gagal mengelola konflik,tertama konflik yang di sebabkan oleh perebutan-perebutan jabatan-jabatan penting di partai maupun jabatan-jabatan publik lainya,misalnya konflik perebutan tiket pencalonan mejadi calon kepala daerah dan wa kil kepala daerah di beberapa tempat.
Fungsi yang paling menonjol yang di lakukan oleh partai politik adalah fungsi sarana rekrutmen politik-yaitu rekruitmen untuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintah,DPR,DPRD,dan jabatan-jabatan publik lainya di daerah.seentara itu,di sisi yang lain proses rekruetmen kader atau kaderisasi di partai politik kurang berjalan secara sehat dan dinamis,tertama fnomena ini terjadi di erareformasi,di mana begitu banyak partai politikdalam melakukan rekrutmen kader mengandalakan kekerabatan-nepotisme,bahkan ada sebagaian kalangan yang mengatakan sudah masuk dalam lingkaran dinastik politik,yaitu jabatan-jabatan strategis di paratai politik di wariskan kepada anak,istri,menantu dan keponakannya,bahkan fenomena ini juga sudah terjadi pada penentuan jabatan-jabatan publik di daerah,di mana suaminya tidak bisa lagi maju lagi menjadi bupatai atau walikota karna terganjal aturan sudah dua periode menjabat,kemudian di gantikan oleh istrinya.hal ini menjadi salah satu kelemahan proses rekrutmen partai politik kita.
Adapun yang berkaitan dengan sistem kepartian,secara umum terdaptat 3 (tiga) sistem kepartaian yaitu sistem satu partai,sistem dua partai dan,sistem multi partai.sistem satu partai ialah sistem politik dalam suatu Negara yang hanya di kuasai hanya satu partai dominan,dalam sistem ini mungkin dapat partai-partai lain,namun kekuatanya tidak signifikan dan hanya ada satu partai yang menguasai pemerintahan.sistem satu partai merupakan salah satu ciri Negara otokrasi,model partai tunggal terdapat di berbagai Negara seperti Negara-negara afrika (mai,pantai gading) dan Negara-negara eropa timur sebelum keruntuhan komunisme soviet dan di cina.
Sedangakan sistem dua partai adalah sistem politik suatu Negara yang memiliki dua partai utama (major party) dengan kemunkinan adanya partai politik lain,namun tidak signifikan.hanya terdapat dua partai polit yang kuatannya dua partai politik utama terkait dengan sistem dan latar belakang sosial Negara tertentu.contoh Negara yang menerapkan sistem ini adalah Inggris.
Sistem multi partai adalah suatu sistem politik dimana dalam suatu Negara tidak terdapat suatu partai politik tertentu yang mungkin menjadi mayoritas absolute untuk menguasai lembaga perwakilan,atau membentuk pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain.sistem multi partai memiliki kelebihan tertutama bagi Negara yang memiliki heterogen dalam masyarakatnya.namun,sistem ini di pandang memiliki kelemahan dari sisi pemerintahan yang di hasilkan yaitu,cenderung tidak stabil karena tidak ada partai yang dominan khususnya pada sistem pemerinthan parlementer.sistem ini berkembang di Belanda,Prancis,Swedia,dan Indonesia.sistem multi partai biasanya di perkuat dengan sistem perwakilan berimbang yang member kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai kecil.
Sementara itu sistem kepartaian kita yang menerapkan sistem multi partai yang kita terapkan sejak digulirkannya reformasi yaitu multi pemilu 1999,meskipun kita juga sebelumnya pernah menerapkannya yaitu pada pemilu pertama pada tahun 1995.kelemahan dari sistem multi partai ini terletak pada stabilitas politk dan stabilitas pemerintahan,apa lagi kita menerapkan sistem presidensial.sistem kepartaian multi partai hanya ideal apa bila di terapkan pada sistem parlementer.sedangka ketidak cocokan sistem multipartai dengan sistem presidensialisme dapat mengacu pada studi yang di lakukan oleh Mainwaring (1993) yang menunjukkan,dari seluruh demokrasi di dunia.hanya Chile yang mampu mngawinkan secara setabil presidensialisme dengan sistem multipartai.menurut Mainwaring penggabungan presidensialisme dengan multi partai berpotensi menyebabkan deadlock instabilitas pemerintahan (Tanuwidjaja,2008).hal ini sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh Linz Dan Velenzuela(1994),yang berpendapat bahwa sistem presidensial yang di terapkandi atas struktur politik multi partai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antar lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil (Hanta Yuada,2010).
Namun demikian bukan berarti kita lebih setuju dengan sistem kepartaian yang di terapkan di era orde baru yang menerapkan sistem dua partai dan satu golongan melalui fusi partai-partai politik yang sudah ada pada saat itu akan tetapi yang paling realistis adalah kita menerapkan sistem multi partai sederhana yaitu penyederhanaan partai bertahap melalui penerapan electoral threshold dan parliamentarythreshold,sehingga eksistensi paratai politik akan di tenetukan keberlangsungannya oleh rakyat melalui pemilihan umum.
3.2. PEMILIHAN UMUM
Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil (free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang di terapkan oleh suatu negara, seringkali menggunakan pemilu sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang di bangunnya.Sistem demokrasi liberal, sistem komunis, sistem otoriter atau sistem otorier atau semi otoriter sebagaimana yang banyak diterapkan dibeberapa negara dunia ketiga, hampir semuanya telah melakukan pemilu secara periodik.Pemilihan umum telah menjadi bagian universal dari kehidupan masyarakat politik internasional.Oleh karena itu, bisa di pahami jika banyak ilmuwan politik yang menggunakan pemilu sebagai tolak ukur pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Hal ini seperti yang di kemukakan oleh Ranney, “no free election, no democracy”.
Pemilihan umum merupakan mekanisme dimana rakyat bisa menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas dalam menentukan pemimpin nasional, sehingga dalam konteks ini sebenarnya tercermin tanggung jawab warga pilihan negara. Oleh karena itu, rakyat harus mengerti benar bahwa apapun pilihannya hal itu mesti di dasari oleh alasan yang kuat, rasional dan kritis (rasional voter) ,bukan sekedar pembebekan politik-asal ikut dan asal pilih (emotional voter), tentunya harus menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena meskipun hanya satu suara, maka pilihan rakyat tersebut sangat berarti dan memiliki implikasi besar yakni dapat menentukan arah nasib bangsa selama lima tahun mendatang, sehingga kalau salah pilih, maka tentunya rakyat juga yang akan dirugikan.
Ada beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi kehidupan demokrasi di suatu negara, khususnya di negara-negara dunia ketiga.Pertama, melalui pemilu kemungkinan suatu komunitas politik melakukan trasfer kekuasaan secara damai.Sejaran mencatat, tidak jarang peralihan kekuasaan yang dilakukan di luar sarana pemilu menyebabkan terjadinya kekacauan dan pertumpahan darah. Beberapa negara yang melakukan transfer kekuasaan melalui kudeta biasanya (cendrung) menyebabkan adanya kudet pada transfer kekuasaan berikutnya. Dalam perspektif kehidupan polotik modern, jalan satu-satunya yang paling mungkin adalah melalui pemilihan umum yang bebas dan adil.
Kedua,melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik. Diakui atau tidak, sistem demokrasi menuntut adanya kebebasan menyuarakan kepentingan dan konflik secara terbuka.Bahkan, przeworski menctat, demokrasi itu sendiri merupakan hasil kontigen dari konflik. Persoalannya adalah bagaimana agar konflik-konflik itu-khususnya yag berkaitan dengan konflik untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dapat diselesaikan melalui lembaga-lembaga demokrasi yang ada? oleh karena itu bagi robert dahl, demokrasi poliarki (berskala besar) memiliki dau dimensi partisipasi politik (warga negar) yang keduanya saling tergantung serta kontestasi (elit).
Adapun fungsi dari pemilihan umum menurut Arbi sanit, minimal ada 4 (empat) fungsi pemilihan umum, yaitu sarana legitimasi polotik, perwakilan politik, sirkulasi elit politik, dan sarana pendidikan politik. Dalam realitas sarana legitimasi politik, perwakilan politik, dan sirkulasi elit politik. Sedangkan fungsi yang terakhir yaitu sebagai sarana pendidikan politik kurang begitu di perankan secara maksimal oleh partai politik.
Untuk itu menurut Eep Saifullah Fatah, menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam fungsi asasinya sebagai wahana pembentuk representative government yang jujur, bersih, bebas, adil, dan kompetitif. Dengan fungsi representative governmentitu, maka sistem pemilihan umum harus memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi, yakni kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur. Demokrasi merupakan sebuah konsep yang bersifat universal, tetapi ketika demokrasi hendak di implementasikan, maka kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa karakteristik sosial masyarakat akan mewarnai implementasi nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal tersebut.
Kemudian untuk menilai sebuah proses pemilu, maka scra konseptual terdapat dua mekanisme yang bisa dilakukan untuk menciptakan dan sekaligus menilai pemilihan umum yang bebas dan adil. Pertama, electoral law10 yaitu sistem pemilihan dan perangkat peraturan yang merata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil pemilu. Atau oleh kalangan ilmuan politik hal itu dikategorikan sebagai sistem pemilihan (electroral sistem)yaitu bagaimana menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilihan kedala suatu lembaga perwakilan rakyat secra adil. Kedua, electroral process yaitu menjalankan pemilihan umum sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi, mulai dari tahap pencalonan, kampaye, proses pemunggutan suara dan perhitungan suara, pembagian kursi dan penentuan calon terpilih.
Dalam struktur pemilu menurutnya terdiri atas tiga substruktur, yakni rakyat, parpol dan pengusha. Mekanisme pertama yaitu electroral system merupakan intervening variabel terhadap upaya untuk menciptakan sebuah Pemilu yang demokratis, jujur dan adil serta berkualitas. Karena itu mustahil menciptakan pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan berkualitas, tanpa terlebih dahulu melakukan pembenahan terhadap perangkat hukum terkait dengan partai politik, dan pemilihan umum yang di dalamnya memiliki sistem pemilu, mekanisme pencalonan, kampanye, tata cara pemungutan dan perhitungan suara serta sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi selama proses tahapan pemilu dan penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Sedangkan mekanisme kedua yaitu elektoral proses, harus di letakkan sebagai dependent variable. Karena hal itu menentukan sebuah proses pemilu tersebut berkualitas atau tidak. Artinya dari aspek kualitas proses pemilu misalnya dari sisi penyelenggaraan pemilu : apakah mulai dari KPU Pusat, KPU daerah, sampai dengan PPK, PPS, dan KPPS dapat menjalankan netralitasnya sebagai penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan kecurangan yang akan berdampak menguntungkan ataupun merugikan parpol tertentu atau pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. Apakah mengeluarkan regulasi yang tidak berpihak pada parpol dan pasangan calon tertentu ?Dan apakah menjalankan tugas secara profesional.
Sedangkan dari sisi peserta pemilu dalam hal ini partai politik : apakah tidak melakukan intimidasi ? Apakah tidak melakukan kekerasan ?Apakah melakukan money politics.Apakah telah melakukan rekreutmen politik (caleg) secara demokratis di internal partai dengan menetapkan caleg yang benar-benar dikenal dan di kenal dengan akar rumput di daerah pemilihannya masing-masing.
Pemilihan umum di laksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD.Salain itu pemilihan umum juga untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu tahun 2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi yang menerapkan sistem multi partai, yang di ikuti oleh begitu banyak partai politik di mana sebelumnya (Era Orde Baru) hanya di ikuti oleh dua partai politik dan satu golongan karya. Pemilu di era reformasi ini dapat berjalan relatif dengan baik, jujur, dan adil, meskipun masih juga kita temukan adanya kecurangan, baik kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun kecurangan yang di lakukan oleh partai politik sebagai peserta pemilu.
3.3. PERMASALAHAN PILKADA DAN ISU-ISU PILKADA
1. Daftar Pemilih tidak akurat
a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan
b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat
c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS
d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal
e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara
f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.
2. Proses pencalonan yang bermasalah
a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.
c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.
e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye :
a. Pelanggaran ketentuan masa cuti
b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik
c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA
d. Money politics
e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
f. Kampanye negative
g. Pelanggaran etika dalam kampanye
h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan
4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:
a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara.
b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.
5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon.
b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.
c. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya.
d. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
e. Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.
6. Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi
7. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11. Sistem pemilihan gubernur.
12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
3.4. Solusi Permasalahan Pilkada dan Isu – Isu Pilkada
1. Daftar Pemilih tidak akurat.
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan. Berdasarkan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
2. Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik.
Dalam permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat.Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, kedepan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
3. Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
4. Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral
a. KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten. Padahal pengambil-alihan baru dapat dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan Pilkada.
b. KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
c. Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.
Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.
6. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final.Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.
7. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi penggabungan Pilkada:
1. Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 X
a. Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di seluruh Indonesia.
c. Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.
2. Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun 2013 dan tahun 2015.
a. Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi sedikit kurang optimal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh Indonesia.
c. Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.
3. Pilkada dilaksanakan secara bersamaan di masing-masing wilayah provinsi 1X sesuai jadwalnya.
a. Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda.
c. Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.
4. Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan.
a. Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah daerah masih berjalan normal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c. Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.
8. Sistem pemilihan gubernur.
Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas sistem pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasarkan:
1. Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2. Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3. Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui sistem perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1. Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan sistem pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2. Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3. Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4. Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5. Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6. Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1. Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan.Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2. Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1. Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2. Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
9. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah.Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan.Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa sistem demokrasi pada umumnya dan sistem pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari sistem hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani sistem tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari sistem hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
BAB III
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.
Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun perbaikan data pemilih.
2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Masa kampanye yang lebih memadai.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum member! waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena tidak semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu pengumuman hasil penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta Pilkada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS.Untuk itu perlu pengaturan yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.
5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu perlu penambahan kriteria sikap mental dimaksud dalam sistem seleksi anggota penyelenggara pemilu.
6. Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah membatasi kewenangan pengadilan/mahkamah dalam sengketa Pilkada hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan pelaksanaan Pilkada.
Putusan MK Nomor 072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
1) Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab kepada DPRD",
2) Pasal 66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD",
3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4) Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK Nomor No 22/PUU-VII/2009 membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah substansi yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur lagi.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dalam pemberian suara sudah tidak lagi mencoblos tapi menconteng serta penggunaan KTP juga sebagai kartu pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus aktif.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi biaya didapat alternatif yang memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan".
11. Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung sudah dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif jika pemilihannya dilakukan melalui sistem perwakilan.
12. Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.
Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan dengan kepala daerah, pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsi.Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik menjadikan kedua belah saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.Berkenaan dengan tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
4.2. Saran
1. Untuk itu merupakan kewajiban kita bersama untuk melakukan pengawasan, khususnya lebih mengefektifkan fungsi-fungsi pengawasan yang di lakukan oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), mulai dari pusat sampai di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa serta lembaga-lembaga pemantauan pemilu, sehingga pemilu benar-benar berkualitas baik dari sisi proses maupun outputnya. Hal ini akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang benar- benar aspiratif dan kapabel serta dapat mendapatkan pemimpin nasional yang peka terhadap realitas kehidupan rakyatnya.
2. Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari 5 tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
4.3. Kritik
1. Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau institusi perlu memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.
2. Susunan pemerintahan daerah akan menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka. Demikian pula, susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah diharapkan menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di tingkat nasional.
3. Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan sistem demokrasi, khususnya pemahaman “legal system” di atas, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah henti (the endless effort). Demokrasi sebagai sistem politik harus didukung oleh sistem hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan banyak tergantung pada kualtias perundang-undangannya; kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Margono. 2012. Pendidikan Pancasila: Topik Aktual Kenegaraan dan Kebangsaan. Malang: UM PRES
Sofyan, Sarfan. 2013. Permasalahan dan Solusi Pemilukada, (online), (http://agusstynchezt.blogspot.com/2013/03/makalah-otonomi-daerah-dan.html) diakses November 2016
*Sumber: https://www.academia.edu/30079875/PROBLEMATIKA_PEMILIHAN_KEPALA_DAERAH_makalah_HAD_docx
0 Komentar untuk "Problematika Pemilihan Kepala Daerah"