Cinta dan Ridha

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak tertandingi dan upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan ridha-Nya, kepercayaan yang mereka gantungkan kepada Allah, seperti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan, dan banyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al-Qur`an. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, kasih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati, penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucapan tak berguna.

Seiring dengan penyajian rinci tentang orang beriman model ini, Al-Qur`an juga bertutur mengenai kehidupan orang-orang beriman pada masa dahulu dan bercerita kepada kita bagaimana mereka berdo’a, berperilaku, berbicara, baik di kalangan mereka sendiri maupun dengan orang-orang lain di luar mereka, dan dalam menanggapi berbagai peristiwa. Melalui perumpamaan ini, Allah menarik perhatian kita kepada sikap dan perbuatan yang disenangi-Nya.

Titik pandang sebuah masyarakat yang jauh dari moralitas Al-Qur`an (masyarakat jahiliyah) terhadap tingkah laku yang secara sosial bisa diterima bisa saja berubah, sesuai dengan tahapan waktu, suasana, budaya, peristiwa-peristiwa, dan manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka yang kokoh berpegang pada ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi, waktu, dan tempat. Seseorang yang beriman senantiasa tunduk-patuh kepada perintah dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia mencerminkan akhlaq terpuji.

Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh perilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas perilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada moralitas terpuji yang masih terselubung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Akhlak Terpuji?
2. Apakah pengertian Ridho?
3. Bagaimana Contoh Sikap Ridho?
4. Bagaimanakah Cinta kepada Allah?
5. Bagaimanakah Iman kepada Allah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian Akhlak Terpuji.
2. Untuk mengetahui pengertian Ridho.
3. Untuk mengetahui Contoh Sikap Ridho.
4. Untuk mengetahui Cinta kepada Allah.
5. Untuk mengetahui Iman kepada Allah.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak Terpuji
Berbicara mengenai akhlak tentulah sangat menarik karena hal tersebut bisa membentuk sebuah kepribadian seseorang. nah, kepribadian inilah tercermin dalam tingkah laku perbuatan kita sehari–hari. Menurut bahasa, akhlak merupakan kebiasaan, tingkah laku, budi pekerti yang tertanam sejak lahir sedangkan menurut istilah, akhlak merupakan suatu perbuatan yang mencerminkan tingkah laku perbuatan seseorang baik itu yang buruk maupun yang baik. Akhlak merupakan suatu perilaku yang bisa kita lihat dengan jelas dari diri seseorang karena, akhlak tersebut tercermin dari apa yang dilakukan sehari – hari seperti kebiasaan.

Cinta dan Ridha

Ada dua akhlak yang dimiliki oleh manusia yakni akhlak tercela serta akhlak terpuji. Akhlak tercela merupakan suatu perbuatan yang tidak dianjurkan untuk dilakukan karena hal tersebut bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan akhlak terpuji merupakan sikap yang segala sesuatunya di aplikasikan dengan baik seperti perkataan, perbuatan, maupun tingkah laku. Selain itu, akhlak terpuji ini sesuai dengan apa yang telah dianjurkan agama karena sikap ini mampu memberikan kedamaian baik bagi diri sendiri maupun orang lain. 

B. Ridho
Ridho secara bahasa menerima dengan suka hati, secara istilah diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin. Namun ada pula yang mengartikan, Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya atau Ridho adalah menerima sepenuh hati tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya baik berupa perintah larangan ataupun petunjuk – petunjuk lainnya.

Perilaku yang ditampakkan oleh seorang hamba yang ridho adalah ia tidak membenci apa yang terjadi menimpa dirinya, sehingga terjadi atau tidak terjadi adalah sama saja baginya..
Bahkan bila tingkatan ridho seorang hamba sudah mencapai tingkat tertinggi, ia akan selalu memuji Allah apapun yang Allah berikan kepada dirinya baik nikmat maupun bencana, karena ia percaya apa yang menimpanya semata-mata untuk kebaikan dirinya. Sang hamba secara suka rela dan senang menerima apapun yang diberikan Allah kepada-Nya baik berupa nikmat maupun musibah berupa bencana.

Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.
Bila ditimpa musibah, janganlah kita mengucapkan “celaka!”, atau seruan kasar lainnya. Atau bahkan lebih buruk lagi bila kita memukul-mukulkan anggota tubuh atau mencoba untuk menyakiti diri sendiri.

“Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar pipi (ketika tertimpa musibah), merobek-robek baju atau berdoa dengan doa Jahiliyah (meratapi kematian mayit seraya mengharap-harap celaka).” Menampar pipi atau menyakiti diri sendiri saat terjadi musibah adalah perbuatan yang dilarang, apalagi bila sampai melakukan bunuh diri. Na’udzubillah mindzalik.

Bila seorang muslim ditimpa suatu musibah atau bencana, ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Dan janganlah berkata, “oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu”, tetapi katakanlah, “ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: “andaikata” dan “jikalau” membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan) setan.” (HR. Muslim).

C. Contoh Sikap Ridha
Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar, sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.

Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah swt. dalam situasi apapun.

Dalam riwayat dikisahkan  sebagai berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau tampak bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt. maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan terhapus amalnya”. 

Selain cerita diatas ada juga seperti ini contoh sikap ridho:
a. Bersyukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah di berikan atau prestasi yang telah di peroleh, sebagai sebuah ungkapan kerelaan hati yang mendalam.
b. Bersabar dalam hati terhadap musibah yang telah menimpa dengan penuh kesadaran bahwa musibah atau bencana tersebut merupakan takdir yang harus diterima dengan penuh lapang dada.
c. Terus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk meraih prestasi yang lebih baik sebagai keridaan sekaligus harapan terhadap ke mahamurahan Allah SWT.
d. Menerima dengan penuh kerelan setiap takdir yang Allah tentukan sebagai bagian dari keimanan kepada-Nya dan keyakinan bahwa dibalik setiap takdir baik atau buruk selalu tersimpan rahasia dan hikmah yang amat berharga.
e. Berfikir positif terhadap setiap hasil usaha yang maksimal atau prestasi kerja yang optimal dengan semangat evaluasi dengan semangat evaluasi untuk memperbaiki diri.

D. Cinta Kepada Allah
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan manusia memiliki cinta. Dengan cinta, kehidupan terasa indah. Dengan cinta, ibadah dan muamalah semakin bermakna. Cinta memilki sejuta makna. Cinta tak peduli usia, waktu, maupun tempat. Dalam ibadah terdapat tiga rukun utama yaitu cinta, takut, dan harap. Bahkan makna ibadah menurut Syaikhul-Islam adalah sesuatu yang mencakup kesempurnaan cinta dan ketundukkan. Banyak umat Nabi Muhammad SAW yang mengaku cinta kepada Allah, namun banyak pula di antara mereka yang tidak merealisasikannya dengan benar.

Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang. Cinta dengan pengertian demikian sudah merupakan fitrah yang dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Bagi seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah SWT. Cinta kepada Allah yaitu hendaknya Allah SWT yang paling dicintai dari semua manusia melebihi dirinya, kedua orang tuanya, dan semua yang dimilikinya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2:165 yang artinya “ Adapun orang orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah".

Mencintai Allah lebih dari segala-galanya tidak lain karena dia menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah yang mengelola dan memelihara semuanya itu. Dengan rahman-Nya Dia menyediakan semua fasilitas yang diperlukan oleh umat manusia jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Dan dengan rahim-Nya Dia menyediakan segala kenikmatan bagi orang-orang yang beriman sampai hari akhir nanti. Allah-lah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ada beberapa hal mendasar yang mengharuskan kita mencintai Allah SWT, di antaranya yaitu:
1. Karena Allah SWT berkata tentang orang-orang yang dicintai-Nya : “Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali-Imran [3]:31) 
2. Karena Allah SWT yang telah menciptakan kita semua dari tidak ada, lalu Dia menyempurnakan penciptaan kita dan memberikan anugerah dengan berbagai keutamaan melebihi orang-orang yang diberi keutamaan, di antaranya dengan kenikmatan Islam. Allah SWT pun memberikan rezeki yang teramat banyak kepada kita tanpa kita meminta-Nya dan Dialah yang memiliki surga sebagai balasan  amal-amal, sebagai pemberian dan keutamaan, ini merupakan keutamaan yang awal dan akhir.
3. Rasulullah SAW berdoa agar mencintai Allah SWT. Dan beliau adalah teladan kita, jika demikian halnya maka kitapun harus mencari cinta Allah SWT sebagai wujud itibak dan peneladanan kita kepada beliau : “Ya Allah, aku memohon cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu dan cinta terhadap amalan yang akan mendekatkanku kepada cinta-Mu”. HR. Al-Tirmidzi.

Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta utama. Sedangkan cinta kepada ibu bapak, anak-anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus berada dibawah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaan cinta itu harus pula sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya. Apabila cinta menengah diangkat melebihi cinta utama maka cintanya jatuh menjadi hina, tidak ada nilainya. Inilah yang disebut cinta paling rendah.

Abdullah Nashih ‘Ulwan menyebut tiga tingkatan cinta itu dengan istilah:
1. Al-mahabbah al-ula (Cinta Utama)
2. Al-mahabbah al-wustha (Cinta Menengah)
3. Al-mahabbah al-adna (Cinta paling Rendah) 

Sebagai ilustrasi bagaimana cinta menengah bisa jatuh menjadi cinta paling rendah dapat dikemukakan dua contoh sebagai berikut:
Pertama, berdagang termasuk perwujudan dari cinta harta benda (Al-mahabbah al-wustha). Tapi apabila seseorang dalam berdagang tidak lagi memperdulikan halal dan haram, meghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan, atau dengan bahasa lain tidak lagi mengindahkan aturan Allah dan Rasul-Nya, maka cinta terhadap harta benda seperti itu yang semula temasuk Al-mahabbah al-wustha jatuh menjadi Al-mahabbah al-adna karena melebihi Al-mahabbah al-ula.

Kedua, termasuk dalam pengertian cinta kepada ibu bapak (abaukum) adalah cinta kepada nenek moyang. Dan slah satu bentuk cinta kepada nenek moyang adalah melestarikan tradisi yang diwarisi dari mereka secara turun temurun. Diantara tradisi tersebut ada yang mengandung unsur syirik, atau yang melanggar syariah islam. Bila seorang muslim tetap saja melakukannya, dengan alasan sudah menjadi tradisi maka cinta kepada nenek moyang, yang semula temasuk Al-mahabbah al-wustha jatuh menjadi Al-mahabbah al-adna karena melebihi Al-mahabbah al-ula.

Ketahuilah, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua, sesungguhnya segala sesuatu  itu memiliki tanda, demikian pula halnya kecintaan Allah kepada hambanya pun memiliki tanda-tanda di antaranya:
1. Ber-itibak (mengikuti) kepada Rasulullah SAW. Hal ini merupakan sebuah kewajiban bagi kita sebagai Umat Rasulullah SAW. Siapa saja yang paling mengikuti syariat Rasulullah SAW maka dia adalah orang yang paling taat kepada Allah SWT dan paling mendapatkan cinta dan ampunan dari-Nya.
2. Banyak mengamalkan amalan-amalan sunnah seperti shalat Sunnah, Puasa Sunnah, Haji Sunnah, Sedekah Sunnah dll. Sebagaimana dalam hadist qudsi Allah SWT berfirman : “Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan Sunnah sampai Aku mencintainya”. HR. Bukhari
3. Penerimaan penduduk bumi terhadapnya dan mereka mencintainya. Hal ini di karenakan apabila Allah SWT mencintai seorang hamba maka Allah memerintahkan kepada Malaikat Jibril untuk meletakkan penerimaan terhadapnya di muka bumi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Jika Allah mencintai seorang hamba maka Allah menyeru kepada Malaikat Jibril bahwasanya Allah mencintai fulan (seseorang) maka cintailah dia ‘lalu Malaikat Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit ‘Sesungguhnya Allah mencintai-nya, kemudian diletakkan penerimaan kepadanya pada seluruh penghuni bumi.” HR. Bukhari.

Cinta merupakan amalan hati yang bisa menjadi sebuah ibadah atau justru kemaksiatan. Oleh karena itu, para ulama membagi cinta menjadi beberapa macam :
1. Ibadah yaitu cinta yang merupakan bagian dari sebuah ibadah yang agung yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah SWT. Hal ini adalah mencintai Allah SWT dan mencintai semua yang dicintai-Nya. Dalilnya adalah : Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintainya kepada Allah. (QS. Al-Baqarah [2] : 165)
2. Syirik yaitu cinta kepada selain Allah SWT yang disertai ketundukan dan pengagungan terhadap yang dicintainya yang hal tersebut tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah SWT semata. Dalilnya adalah firman Allah SWT : “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah ; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah [2] : 165).
3. Kemaksiatan yakni seperti kecintaan kepada kemaksiatan-kemaksiatan, cinta kepada bidah dan pelakunya serta cinta kepada perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT : “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nur [24] : 19).
4. Cinta Tabiat, seperti kecintaan kepada kedua orang tua, kepada anak-anaknya, keluarganya dll. Yang hal ini merupakan tabiat setiap manusia. Maka hal ini dibolehkan oleh Allah SWT. Allah berfirman : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia , dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga). QS. Ali Imran [3] : 14).

E. Iman Kepada Allah
Iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.

Rukun Iman yang di pahami oleh kaum muslim secara umum meliputi iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada Nabi, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada qada’ dan qadar Allah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Iman kepada Allah.
Patuh dan taat kepada ajaran dan hukum-hukum Allah.
2. Iman kepada malaikat-malaikat Allah.
Mengetahui dan percaya akan keberadaan kekuasaan dan kebesaran Allah di alam semesta.
3. Iman kepada kitab-kitab Allah.
Melaksanakan ajaran kitab-kitab Allah hanif. Salah satu kitab Allah adalah Al-Qur'an. Al-Qur'an memuat tiga kitab Allah sebelumnya, yaitu kitab kitab Zabur, Taurat, dan Injil.
4. Iman kepada rasul-rasul Allah.
Mencontoh perjuangan para Nabi dan Rasul dalam menyebarkan dan menjalankan kebenaran yang disertai kesabaran.
5. Iman kepada hari kiamat.
Faham bahwa setiap perbuatan akan ada pembalasan.
6. Iman kepada Qada dan Qadar.
Paham pada keputusan serta kepastian yang ditentukan Allah pada alam semesta.

Dan imam secara umum di pahami sebagai sesuatu keyakinan yang di benarkan dalam hati, di ikrarkan dengan lisan dan di buktikan dengan amal perbuatan yang di dasari niat yang tulus dan ikhlas dan selalu mengikuti petunjuk Allah SWT serta sunnah nabi Muhammad SAW. Dalam Al-qur’an terdapat sejumlah ayat yang menunjukkan kata–kata iman, di antaranya terdapat pada firman Allah QS. AL-Baqarah 2:165, yang artinya “ adapun orang – orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah“.

Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136) Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Cinta kepada Allah SWT itu bersumber dari iman. Semakin tebal iman seseorang semakin tinggi cintanya kepada Allah. Bahkan bila disebutkan nama Allah hatinya akan bergetar. Sejalan dengan cinta, seorang muslim haruslah dapat bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan ataupun petunjuk-petunjuk lainnya. Manusia akan melaksanakan semua perintah, meninggalkan semua larangan dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk-Nya juga dengan segala senang hati. Manusia dapat ridha karena mencintai Allah, dan yakin bahwa Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Maha Mengetahui segala-galanya, Yang Maha Bijaksana tentulah tidak akan membuat suatu aturan yang tidak sesuai atau akan merugikan umat manusia makhluk ciptaan-Nya.

Dengan keyakinan seperti itu dia juga akan rela menerima segala qadha dan qadar Allah terhadap dirinya. Manusia akan bersyukur atas segala kenikmatan, dan akan bersabar atas segala cobaan. Demikianlah sikap cinta dan ridha kepada Allah SWT. Dengan cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dan dengan ridha kita mengharapkan cinta-Nya.




DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Drs. H.Yunahar, Lc., MA. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI). 2002
Mahfud, Rois. Al-Islam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2011
Khalid, Amru. Berakhlak Seindah Rasulullah. Semarang: Pustaka Nuun. 2007
Azra, Prof. Dr. Azyumardi, Dkk. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam. 2002
Faridh, Ahmad, Pembersih Jiwa, Bandung: Pustaka, 1990





*Sumber: https://www.academia.edu/12017465/makalah_cinta_dan_ridha


Tag : Agama, Lainnya
0 Komentar untuk "Cinta dan Ridha"

Back To Top